Sejak dulu, Leandro tidak pandai mengingat-ngingat wajah seseorang.
Akan tetapi, ia bisa mengingat nama, atau suatu kejadian dengan tepat. Sesuatu yang berulang-ulang, hingga membentuk satu kata 'biasa'.
Suara sendok yang beradu dengan piring sudah terlampau akrab di telinga Leandro. Lalu, minuman-minuman yang tak sengaja tumpah, atau saus yang terlalu banyak dan mengotori meja.
Leandro tahu, itu merupakan pekerjaannya. Menanyai pesanan, mengantarkan makanan, hingga membersihkan meja. Namun, akan terasa sangat menyebalkan kalau yang melakukan itu adalah orang-orang yang sama.
Mereka jelas masih pelajar. Seragam putih abu-abunya menjadi penanda identitas yang mencolok. Meski Leandro masih SMP, tubuhnya sudah lebih jangkung dari mereka.
Memangnya tidak bisa makan dengan lebih beradab?
Tentu saja Leandro tidak bisa mengutarakan apa yang ada di pikirannya sefrontal itu. Ia bekerja di sini, dan kepuasan pelanggan adalah sebuah prioritas.
Kedai di mana Leandro bekerja tidak bisa dikatakan besar. Luas bangunannya tidak lebih dari ukuran ruangan kelas biasa. Namun, karena letaknya yang berada pada deretan toko-toko yang dekat dengan sekolah, kedai ini menjadi salah satu tempat favorit. Apalagi untuk mereka yang berkantong pas-pasan.
Leandro kenal dengan pemiliknya. Seorang laki-laki setengah baya kurus kering dengan kacamata kotak. Dulu dia adalah tetangganya. Leandro sering kali membantu hal-hal kecil seperti membelikan tabung gas dan sebagainya.
Maka, ketika dia membuka kedai, Leandro meminta pekerjaan dan diterima tanpa pertimbangan lebih lanjut.
"Pesanan." ucap Leandro, menyerahkan kertas-kertas berisi menu dan sebuah pulpen.
Cowok berambut cepak dan alis tebal itu mengalihkan pandangan dari teman ceweknya–kalau tak mau disebut pacar. Dia mengambil kertas-kertas itu. "Kamu mau makan apa, Sayang?"
Tiba-tiba Leandro merasa mual.
Ini adalah tahun terakhirnya di SMP. Itu berarti, tahun depan ia akan masuk SMA. Kadang ia berpikir, apakah kebanyakan murid SMA semenjijikan pasangan di depannya ini?
Usai memberikan kertas pesanan ke sebuah lubang berbentuk kotak yang membatasi dapur dan bagian kedai yang menampung pengunjung, Leandro kembali menghampiri pengunjung yang baru saja duduk di meja sudut.
"Pesanan," ulangnya lagi.
Cewek itu tidak menandai pesanannya seperti pengunjung tadi. Dia malah menatap Leandro lekat-lekat, lalu menunjuknya dengan telunjuk. "Eh, hai!"
Alis tebal Leandro mengerut, seakan hendak menyatu. Dia tidak suka ditunjuk oleh orang yang tidak dikenalnya seperti ini.
"Yang waktu di zebra cross itu kan?" lanjut cewek bermata bulat tadi. "Gue yang ngasih kue itu lho."
Ah.
Leandro kini ingat. Lalu, apa? Memangnya kenapa kalau cewek ini pernah memberinya kue?
"Pesanan."
Mendengar itu, cewek bermata bulat berdecak. Dia memberi tanda dengan gemas. "Milkshake stroberi satu."
Lagi-lagi Leandro tidak berbalik badan setelah memberi jarak di antara mereka. Sampai mengantarkan pesanan kepada cewek itu pun, Leandro tidak membuka mulut lagi.
Leandro tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan. Semua telah direncanakan Tuhan dalam rangkaian takdir.
Sehingga ketika cewek itu memintanya duduk, Leandro bergeming. Bertanya-tanya kepada Tuhan apa yang sebenarnya akan terjadi hari ini.
Tadi pagi, ia kesiangan dan hampir saja terlambat ke sekolah. Lalu, adik-adik kelas yang menyebalkan mengejek dan merendahkannya. Leandro hanya menghadiahi mereka lebam di pipi. Tetapi mereka bertindak seperti sudah didorong ke dalam jurang.
Dan sekarang, cewek tidak jelas memintanya duduk. Katanya, menemaninya menunggu teman yang belum datang.
"Ada kerjaan." Leandro membalas dingin.
"Nama lo siapa? Gue Kayla," tanyanya seakan tidak mendengar ucapan Leandro.
Leandro masih tidak menjawab. Tatapannya menusuk, berharap Kayla akan enggan bersuara lagi.
Nyatanya, Kayla tetap bersikeras. "Nama lo siapa?"
"Leandro."
"Itu nama asli kan?"
Leandro menatap Kayla sebal.
"Ini kali pertama gue ke kedai ini. Jaraknya agak jauh dari rumah. Gue habis liat-liat SMA Nawardhana."
Itu sekolah terdekat dari sini. Yang berisi murid-murid kaya, atau yang pintar-pintar. SMA favorit, dan sang ibu bersikeras kalau ia harus bersekolah ke sana.
Nilai-nilai Leandro bagus. Ia selalu menjadi juara umum seangkatan. Meski begitu, sekolah favorit bukan tujuan utamanya. Ia hanya ingin cepat-cepat menamatkan pendidikan, kuliah, lalu mencari pekerjaan yang memberinya upah yang layak.
"Eh itu temen gue datang, thanks udah mau nemenin ya."
Apanya yang menemani? Leandro hanya berdiri kaku dan menjawab pertanyaan tanpa emosi apa-apa selain kesal dan tidak sabaran.
Leandro pun berlalu pergi.
Saat sore semakin tua dan malam kian menjelang, meja di pojok kosong kembali. Leandro menghampirinya, mengangkat dua buah gelas plastik beserta sedotan yang sudah tandas isinya, dan sepiring kentang goreng yang juga habis ke atas baki.
Selembar post note yang ditempel di meja segera menyita perhatian Leandro. Di sana, tertulis beberapa kalimat yang membuatnya mengedarkan pandangan, memastikan bahwa Kayla masih berada di sekitar kedai atau tidak.
Thanks udah mau nemenin gue tadi. Kata temen gue, lo ganteng.
Tapi, gue lebih lihat lo sebagai orang yang berani sih daripada ganteng.Kayla.
"Nggak jelas." Leandro mencibir.
Walau berkata demikian, nyatanya Leandro mengambil post note itu dan membawanya pulang.
Sampai sekarang, post note itu masih berada pada buku catatan pribadinya.
Leandro sering berharap, di masa depan Kayla akan menuliskan post note seperti itu lagi.
Hanya untuknya.
***
What do you think about this chapter?
Instagram & Twitter : @princekendic
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Ficção AdolescenteWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...