Marshal menatap pekarangan rumah kecil di hadapannya. Pada pot-pot kecil kotor yang tak ada tanaman, hanya ada tanah yang sudah mengering. Pada kursi plastik dan sapu ijuk digantungkan pada paku di dinding. Akhir pekan, seharusnya orang-orang ada di rumah. Kecuali Kamila.
Sejak insiden yang menimpa Kayla, wanita itu menyibukkan diri dua puluh empat jam. Bahkan di hari-hari libur. Beralasan memang, lebih ramai. Namun, Marshal tidak bisa menghilangkan rasa khawatir jika ibu Kayla itu kelelahan dan jatuh sakit.
Marshal terlalu banyak melihat kesakitan-kesakitan di sekitarnya. Leandro dan absennya kehadiran orang tua, Noah dengan keluarga pengaturnya, Axel bersama dinding tinggi yang dia bangun.
Marshal mengetuk pintu kayu itu, mendengar suara perempuan kemudian. Kemungkinan Kakak Kayla, kini bekerja dari Senin sampai Jumat sebagai kasir di suatu rumah makan yang cukup ramai dekat alun-alun. Benar saja, kepalanya yang lonjong dan berambut panjang muncul setelah pintu terbuka sedikit.
"Sore." Marshal menyapa. Mungkin, di antara keempat laki-laki yang menunggu Kayla, Marshal adalah yang paling tidak peduli siapa yang dia hadapi. Semuanya sama saja di matanya.
"Sore." Jelas perempuan itu bingung dengan kedatangan Marshal. Jarang sekali empat laki-laki itu datang ke rumah, kecuali bersama Kamila. "Ada sesuatu, Marshal?"
"Om ada?"
"Bapak? Ada. Masuk dulu."
Pintu dibuka lebih lebar, menampakkan ruangan sempit dan penuh perabot. Tidak banyak berubah, kecuali cat dinding yang berubah menjadi putih gading. Dulu, hijau cerah yang sering Marshal temukan di rumah-rumah kecil dan murah. Tirai jendela terlalu panjang, sampai menyapu lantai. Di meja ada baskom kecil, talenan, pisau, dan kacang panjang--baik yang sudah dipotong atau belum.
"Mau minum apa?"
"Apa aja." Marshal membalas cepat. Dia duduk di sofa dan menatap televisi, sadar ruangan ini juga berfungsi sebagai ruang keluarga.
Ayah Kayla muncul dari arah dapur, bersama kausnya yang sedikit basah di beberapa bagian. Kakak Kayla sendiri menghilang setelah kembali membawa pekerjaannya tadi. Kilatan keterkejutan muncul di mata Ayah Kayla, yang kemudian memudar seiring langkahnya mendekat.
"Katanya Nak Marshal mau ketemu saya? Ada apa?" tanyanya setelah mendudukkan diri di sofa, tepat di sebelah Marshal. Akan tetapi, ada jarak di antara keduanya. Bukan hanya soal raga, tetapi juga pikiran dan hati. Marshal tahu dia membatasi diri.
"Apa kabar, Om?" Marshal tak langsung menuju pada topik pembicaraan.
"Baik."
Tepat setelah Ayah Kayla menjawab, kakak Kayla datang bersama dua gelas teh manis. Marshal menahan diri untuk sementara, menunggu sampai hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Usai beberapa saat lamanya, hingga terdengar suara pisau membentur sesuatu yang keras secara berulang-ulang--yang berarti kakak Kayla sudah fokus pada pekerjaannya lagi, Marshal baru membuka mulut, "Akhir pekan begini nggak ada kerjaan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Roman pour AdolescentsWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...