Aku • 73

654 171 7
                                    

Marshal tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa kala melihat ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marshal tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa kala melihat ponselnya. Bukan karena pesan dari Musa yang terus masuk, tetapi postingan dari akun gosip terbesar di negeri ini soal skandal kedua orang tua Noah. Beritanya begitu panas, angka komentarnya sudah hampir sepuluh ribu.

Tawanya mereda, terasa seperti tidak seharusnya. Marshal tahu apa yang terjadi pada Kayla, tahu luka terbesarnya. Pantaskah ia tertawa sekarang? Apakah ia harus seterusnya sedih dan terus meratap sampai Kayla bangun.

Marshal sudah melihat bagaimana murkanya Noah pada Baskara sebelumnya, ia tahu ini tidak akan berjalan baik. Marshal ikut was-was apa yang akan terjadi pada Noah, walau kini Baskara mendapatkan sesuatu yang pantas--lebam-lebam di wajah. Marshal harap Nirvana bisa berperan sebagai kakak untuk laki-laki itu.

Ini adalah akhir pekan, Axel sedang keluar dan Marshal melihat Leonardo menjemputnya. Marshal tidak pernah melihatnya secara langsung, tetapi melihat reaksi Axel, mereka juga tidak seakrab itu. Marshal meninggalkan mobil di parkiran rumah sakit, Musa masih mengamuk dengan semua tingkah bebalnya. Ia juga belum pulang sama sekali. Sang ibu ikut menghubungi, hanya beberapa kali. Milena cuma mengirimkan pesan yang tidak begitu keras, tahu karakter adiknya.

Hanya Musa yang begitu keras kepala.

Marshal menyandarkan punggung di sofa, mendengus karena Musa masih berusaha meneleponnya. Pada satu titik ketika pikirannya tenggelam kembali pada apa yang bisa ia lakukan untuk Kayla, Marshal mengangkat telepon dari Musa. Muak.

"Pulang sekarang, Marshal!"

"Selamat siang, Papa." Jika Musa berusaha jadi dinding batu, Marshal juga bisa.

"Jangan basa-basi. Pulang sekarang, karir kamu tidak bisa menunggu."

"Really? Hal pertama yang Papa utamakan adalah karir?"

"Itu yang paling penting untuk seorang anak laki-laki, Marshal."

Marshal memutar bola matanya malas. "I literally still on high school. Jalanku masih panjang, belum soal aku yang tidak setuju dengan 'jalan karir' yang Papa rencanakan."

"Apa yang salah dengan menyanyi di panggung eksklusif?"

Panggung eksklusif, itu sebutan Musa untuk menyanyi di teater dan acara khusus yang dipenuhi manusia-manusia setengah abad pencinta musik klasik atau opera. Marshal tidak membenci itu, tetapi membatasi diri sama saja membunuh cinta dan rasa terhadap sesuatu yang seharusnya ia nikmati itu.

'Merindukan Matahari', lagu yang ia ciptakan untuk Kayla bukan tipikal lagu yang ia nyanyikan, bukan lagu yang akan mendapat persetujuan Musa. Namun, Marshal sangat menyukainya. Ia hafal setiap bagian di luar kepala. Lirik, nada, rasa. Suatu saat, ia ingin menyanyikannya di depan Kayla, setelah Marshal menemukan cara berbicara dari hatinya. Tentang apa pun yang terjadi, Kayla selalu berarti.

"Aku nggak suka."

"Mengapa tidak bisa suka?"

"Karena Papa memaksa, I guess?"

"Papa yang membangun karir kamu, Marshal."

Here we go. Seperti Marshal memiliki utang jasa paling besar pada ayahnya itu, pada sesuatu yang memang orang tua bisa lakukan dalam mendukung anaknya. Balasan dari jasa itu adalah menjadi bidak penerus dari dinasti musiknya, dalam kedok kecintaan Marshal akan musik.

Musa tidak suka lagu-lagu modern. Penyanyi baru yang membawa lagu cinta selalu menjadi bahan tertawaannya, Musa merasa dia lebih tinggi. Mendengar Marshal menyanyikan lagu serupa adalah hal terakhir yang dia inginkan dalam hidup.

"Jadi ini karir aku atau karir Papa?"

"Apa maksud dari ucapan kamu itu, Marshal?"

Marshal menatap ke arah balkon, sebelum berjalan ke sana. Ia disambut pemandangan kota dan angin yang terus menerjang. "Mari bertaruh, Papa. Aku nggak akan pulang sampai bisa menunjukkan kalau aku bisa tetap disukai dengan lagu yang aku suka."

"Papa tidak pernah bilang kamu tidak boleh pulang--"

"Papa!"

"Pulang dan kita bicarakan ini secara empat mata, Marshal." Musa menaikkan nada bicaranya. "Pulang."

"Let me show my song first on public, then we can talk about it."

"Ok, ok!"

Marshal tanpa sadar menyeringai.

"Akan Papa sediakan tempat dan waktu. Bila orang-orang menyukai lagumu, kamu bisa mencoba. Kalau hasilnya sebaliknya, kembali ke rencana Papa."

"Deal."

"Kapan? Dan sekarang, pulang!"

"Aku belum mau pulang dan menghadapi amarah Papa," kata Marshal jujur. "Amarah Papa selalu memuakkan."

"Saya Papa kamu!"

"Siapa yang bilang Papa bukan ayahku?"

Percakapan ini tidak akan berakhir kalau tidak ada yang mengalah.

"Dan yang terpenting, aku ingin menyanyikan ini di depan seseorang dulu."

"Gadis itu?"

Tentu saja Musa tahu soal Kayla. Kayla tidak pernah menjadi perhatian Musa, dia tidak peduli Marshal suka siapa. Yang terpenting adalah jadwal latihan, tampil, dan rencana-rencana musik lainnya itu.

"Bukan urusan Papa, bye." Marshal mematikan telepon dan langsung memasukkan ponsel ke saku celana.

Ia mencondongkan tubuh, tangannya berpegangan ke pagar balkon.

Banyak permainan piano, lagu-lagu cinta, dan petikan gitar yang ia mainkan untuk Kayla. Gadis itu selalu bertepuk tangan, mengatakan musik memang dunia Marshal. Kayla juga selalu bilang Marshal bisa membuat semua orang terkesima dengan suaranya, jika ia percaya.

Dan, Marshal percaya.

***

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram/TikTok: @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang