Ke manakah Tempat Berpulang • 42

1.6K 333 41
                                    

Trigger warning: adult content–self injury

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Trigger warning: adult content–self injury.
***

Walau ditawari untuk menginap di apartemen Axel atau rumah besar Marshal, Noah menggeleng dan berkeras bermalam di rumah Leandro.

Mungkin karena Noah sudah terlalu lelah. Malam tidak bersahabat, bising lalu lintasnya membuat suara-suara di kepalanya semakin ramai. Semuanya saling berkelahi untuk mengambil alih pikiran Noah sepenuhnya, berlomba berbicara paling keras.

Sakit. Ada gema nyeri di dalam sana.

Saat itu, malam sudah begitu larut ketika Noah berbaring di tempat tidur. Kepalanya terasa seperti akan pecah, karena terlalu banyak menangis. Di luar, hujan mulai turun. Tubuh Noah mengkeret.

Biasanya, ia mudah tertidur. Tangan terlipat di atas meja dan kepala terbenam di sana, ia sudah pergi ke alam mimpi. Begitu pula jika diberi tempat berbaring. Sofa, tempat tidur, hamparan rumput. Apa saja. Namun, malam ini seakan-akan semua pintu menuju kehampaan tidur tertutup rapat-rapat. Tidak ada kunci yang bisa membukanya.

Noah mencoba segala cara. Lelah sering jadi jalan paling cepat. Ia sudah lelah, raga atau jiwanya. Yang ia inginkan sekarang hanya sunyi sebentar. Bukan sunyi selamanya.

Mungkin yang ia butuhkan adalah sunyi yang kedua.

Lampu kamar ini tidak dinyalakan. Noah hanya bisa melihat bayangan-bayangan yang bahkan tak berbentuk. Lemari, meja, tirai. Tak ada yang benar-benar jelas. Noah meraba bekas-bekas sayatan pada pergelangan tangannya. Timbul dan tenggelam, memudar dan menonjol.

Garis-garisnya mencolok sekali. Itulah mengapa Noah sering mengenakan pakaian-pakaian dengan lengan panjang. Ia tak ingin banyak pasang mata itu melihat hasil perbuatannya, luka-lukanya, garis-garis putus asanya.

Noah tak ingin melakukannya lagi, tetapi tak bisa. Tidak ada tempat baru. Baik tangan kanan dan kirinya masih ada bekasnya. Tak rata setiap Noah mengusapnya.

Noah duduk di pinggir ranjang, pikirannya kalut.

Ini bukan kamarnya. Jadi, Noah tidak ada apa yang bisa ia gunakan untuk menyakiti dirinya sendiri. Ia bisa saja membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Akan tetapi, Leandro akan terbangun.

Jauh di dalam sana, hatinya yang sudah tak punya ruang untuk sakit yang baru, Noah tidak ingin menyakitinya sendiri. Noah tidak ingin menambah kesengsaraannya. Noah tidak ingin mati.

Barangkali, itu juga yang dipikirkan Kayla saat mencoba pergi.

Mereka tidak ingin mati. Mereka ingin mengakhiri rasa sakitnya.

Noah beranjak dari tempat tidur. Dalam gelap, langkahnya tertatih. Dibawanya langkah berlawanan dengan pintu. Sampai akhirnya, Noah mencapai tirai. Serat-seratnya kasar. Disibaknya tirai itu dan Noah segera menemukan jendela yang mengarah pada dinding rumah lainnya. Warnanya abu-abu gelap, warna khas dinding semen yang belum tersentuh cat.

Hampa dan dingin. Noah merasa semakin terkekang.

Noah tidak bisa tidur.

Ia keluar dari kamar, masih dihadapkan dengan gelap. Cahaya datang dari dapur, menjamah sedikit bagian ruang depan ini. Dinding-dinding rumah Leandro tipis, suara hujan terdengar keras. Noah jadi penasaran seberapa deras rinainya.

Sebagian besar teras kecil itu basah. Ternyata hujannya memang deras. Pohon-pohon kecil dihujani rintik, daunnya bergerak tak keruan. Udaranya menusuk. Langit sangat gelap.

Menyedihkan ya, jadi hujan. Mereka naik ke langit hanya untuk jatuh. Terus seperti itu.

Tubuh Noah merosot, punggungnya menempel di dinding. Ia memeluk kedua lututnya, memandangi tiap rintik hujan sementara tubuhnya perlahan ikut basah.

Noah ingin jadi hujan saja, meski menyedihkan seperti yang dipikirkannya tadi. Noah ingin jadi tanaman-tanaman hijau, meski bergerak tak keruan seperti yang dilihatnya tadi.

Yang penting tidak menjadi dirinya sendiri.

Noah membenci apa saja yang tertinggal dalam dirinya.

***

I know chapter ini memang terbilang pendek, tapi gue harus mengambil banyak jeda because it's too painful and real for me

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I know chapter ini memang terbilang pendek, tapi gue harus mengambil banyak jeda because it's too painful and real for me. I've been on Noah's side.

Whoever read this chapter, remember, you're precious.

—Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram: @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang