Dulu Leandro ingin memiliki ayah, tetapi sekarang tidak lagi.
Dulu pun Leandro menganggap ibunya tak tahu malu, datang pada hari pembagian hasil belajar setiap semester tanpa memedulikan tatapan dan anggapan orang lain. Dia bertepuk tangan paling kencang saat nama Leandro disebut sebagai juara kelas, dia menutup telinga rapat-rapat akan cibiran orang-orang.
Seakan sebuah keharusan, Leandro melakukan hal serupa. Bersikap tidak peduli pada ucapan orang-orang di sekitarnya.
Kini, Leandro hanya memiliki dirinya sendiri.
Maka, saat Marshal terus berbicara soal dirinya yang tak pernah akur dengan Musa, Leandro hanya mengangguk tanpa memberi perhatian lebih.
Marshal tidak bercanda soal dia yang akan membeli makan malam. Segala jenis makanan ada di meja ruang tamu. Dari nasi sampai kudapan-kudapan.
Leandro tidak punya banyak nafsu makan untuk menghabiskannya. Ia ingin langsung tidur setelah selesai bekerja hampir tengah malam.
Jam operasional kafe sebenarnya hanya sampai jam sepuluh malam. Dengan jumlah pegawai yang cukup banyak, kegiatan membersihkan ruangan, alat-alat makan, dan membuat segalanya kembali rapi hanya memakan waktu tiga puluh menit.
Namun, pembeli yang diam di kafe berjam-jam tanpa peduli waktu tutup dan marah bisa diperingatkan mengacaukan segalanya.
"Kakak gue sih, mending. Dia nggak dituntut untuk jadi yang terbaik. Semua harapan dibebankan ke gue. Capek, gue capek."
"Sebenernya, apa standar terbaik orang tua lo?" Leandro bertanya sambil menggigit sosis tusuk bakar yang mulai dingin.
"Gue juga nggak paham!" Marshal menyibak poni dan mendengus keras-keras. "Gue menang Grand Prix di Belarus!"
"Nyokap lo nggak ngasih argumen apa-apa soal tekanan dari Bokap?" Leandro menyandarkan punggung pada sofa.
"Dia selalu nurut. Sama aja." Marshal cemberut. "Gue nggak suka ketika kerja keras tapi nggak dihargai."
"Nggak ada yang suka."
Marshal jadi rakus saat marah. Lebih dari tiga perempat makanan dia yang habiskan. Leandro tidak keberatan, ia sudah sangat kenyang.
"Leandro."
Leandro mengusap muka dan menatap Marshal masam, menunggu pertanyaan.
"Hidup sendiri, terus bebas ngelakuin apa aja enak nggak?"
Enak atau tidak, menyenangkan atau tidak, Leandro tidak bisa mengungkapkan kata yang tepat. Ia tak menyebutnya sebagai sebuah keuntungan.
"Satu-satunya yang bisa lo andalkan adalah diri lo sendiri," jawab Leandro datar. "Lo puas sendiri, hancur sendiri."
Tatap Marshal tertuju pada meja, tetapi sebenarnya kosong. Dia berpikir lama sekali, sampai Leandro hampir tertidur. "Jadi menurut lo, apa yang harus gue lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Novela JuvenilWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...