Axel benar-benar puas setelah menyebarkan skandal milik keluarga Tan. Di negeri ini, perihal romansa dan hal-hal berbau mistis selalu jadi topik pembicaraan hangat. Axel tidak menyesal, meski Baskara memaki-maki dan mengatakan akan membawa ini ke jalur hukum. Axel tak takut. Dia tidak akan bisa, informan dan orang yang buka suara adalah orang-orang terdekat selingkuhan ibu dan ayah Noah itu.
Lagi pula, Axel punya Leonardo di belakangnya. Ini adalah kesadaran yang menghilang sejak lama. Ia punya ayah, ia punya seseorang yang mendukung di belakangnya meski tanpa banyak kata.
"Papa ingin melihat gadis itu."
Pikiran Axel dipenuhi banyak hal. Rekaman tangisan sang ibu yang menetap di kepala, Kayla dan lukanya, nasib Noah setelah ini. Kalimat Leonardo membuat perhatiannya teralihkan sejenak. "Untuk apa?"
"Untuk lihat mengapa kamu mau melakukan semua ini."
"Dia tahu soal traumaku."
"Kamu takut dia membocorkan rahasiamu?"
Mobil yang berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah itu memberi kesempatan Axel menarik napas lebih dalam. "Pa, aku nggak akan menunggu bertahun-tahun Kayla bangun dari koma hanya untuk itu. Aku juga percaya sama dia."
"Lalu, untuk apa?"
"I fall in love with her, is that enough?"
Leonardo membenarkan posisi dasinya yang terasa miring. "Kadang, cinta saja tidak cukup, Axel."
"Apa lagi yang aku harus lakukan?"
"Perasaan itu selalu berubah, pasti. Toleransi dan keteguhan yang membuatnya tetap ada. Kamu menunggunya sampai sekarang bisa dibilang salah satu usaha lainnya. Yang menjadi pembuktian adalah ketika gadis itu bangun nanti. Apa pun alasannya dia bisa mencoba mengakhiri hidupnya sendiri, penerimaan kamu tentang itu bisa meyakinkan dia untuk memilih kamu."
Axel melemparkan pandangan ke luar jendela, pada seorang pejalan kaki yang terburu-buru melewati zebra cross.
"Kamu ingin dia memilih kamu, bukan?"
Jika Axel dihadapkan dengan pertanyaan itu setidaknya beberapa minggu yang lalu, akan dengan yakin ia menjawab ya. Kini, rasanya bukan sebuah prioritas lagi. Jangankan tentang siapa yang akan Kayla pilih, hal pertama yang ingin ia dan tiga laki-laki lainnya lakukan adalah membuat gadis itu percaya setiap orang punya luka dan masa lalu.
"Nggak juga. Siapa pun yang dipilih Kayla nanti, kebahagiaan dia sudah lebih dari cukup."
Axel bisa mendengar Leonardo mendengus. Bukan meremehkan, tetapi disusul satu senyuman. "Kamu sudah besar," ucapnya.
Axel menganggap itu sebuah pujian.
Nirvana benar, di kamar Kayla ada perekam suara yang ditempel tepat di bawah tempat tidur. Bahan lain untuk bila Baskara mencoba menyerangnya, pelanggaran privasi sudah jadi bahasan yang mendapat banyak perhatian di sosial media.
Semoga duka korban seperti Kayla juga, di lingkungan sekitarnya, terutama.
Penjaga bersetelan rapi di depan pintu kamar Kayla menundukkan kepala sebagai tanda hormat ketika Axel dan Leonardo mendekat. Kekosongan yang selalu menyelimuti ruangan itu menerpa Axel kembali. Heningnya, rahasia-rahasia yang kini terungkap, dan skenario khayal dalam kepala Axel.
"Sudah berapa lama?" tanya Leonardo.
"Tiga tahun."
Satu hari, dua minggu, dua belas bulan, tiga tahun, semuanya sama-sama berlalu begitu lama. Axel pernah menatap wajah Kayla semalaman, berharap mata itu akan terbuka. Axel pernah menggenggam tangan Kayla semalaman, berharap tangan itu membelai rambutnya seperti dulu kala.
Ketika ia dan Kayla berpacaran, mereka lebih kelihatan seperti teman dekat. Itu kalau bahasa cinta Axel berupa sentuhan di sana-sini tidak dihitung. Tangan Axel yang mengusap pipi Kayla, memainkan jemari gadis itu, merangkul pundaknya. Kayla sadar kalau hubungan itu tidak dimulai dengan kasih seperti pasangan pada umumnya. Dia pernah bilang, Axel seperti seorang sepupu yang manja di balik keangkuhan materi dan wajahnya.
Pernahkah dia memandang Axel sebagai seorang kekasih? Axel tidak tahu. Perasaannya sendiri berdiam di pojokan, malu-malu terungkapkan secara lisan. Axel juga tak yakin Kayla mengerti perasaannya yang sudah lebih dari sekadar dua teman.
Axel meletakkan kantung kertas lain di nakas, penerangannya yang lain. Kali ini lampu meja berbentuk tabung yang diukir bentuk awan, cahayanya memendar lewat bagian-bagian yang diukir itu. Bukan yang paling terang, tetapi cahaya kekuningannya hangat dan nyaman.
Sebenarnya, ide pemberian penerangan itu hasil dari pengalamannya sendiri. Baginya, benda-benda itu punya andil dalam trauma dan ketakutannya. Bisa dibilang, benda-benda yang berharga. Mungkin, Kayla akan merasa punya lebih banyak teman, yang percaya padanya. Meski sebatas benda mati yang memendarkan cahaya.
"Pasti banyak yang ingin kamu ungkapkan pada dia, bukan?"
Pertanyaan Leonardo tidak butuh jawaban. Tentu saja, Axel mengangguk.
"Tak mungkin hanya karena dia tahu rahasiamu, kamu bisa jatuh cinta dengan dia." Leonardo melipat tangan di depan dada. "Ceritakan, Papa ingin tahu."
Axel menatap bulu mata lentik Kayla yang saling bertemu, bibirnya yang rapat, dan rambutnya yang gelap. Lalu, Axel menarik sudut bibirnya naik. "Dia mempertemukanku dengan hal-hal baru dan membuatku semakin dekat dengan yang sudah kumiliki.
"Kayla akan langsung bilang kalau aku melakukan sesuatu yang salah. Katanya, orang yang kuat itu yang sanggup bilang maaf." Axel tertawa. "Aku tumbuh bersama teman-teman yang menganggap aku lebih tinggi dari mereka, terlalu takut untuk bilang aku punya salah bahkan ketika aku tahu diriku sendiri salah."
Dulu, Axel dan Kayla berbelanja stroberi untuk es stroberi lagi. Laki-laki sangat menyukainya. Pada satu kesempatan, Axel berjalan mundur dari konter buah-buahan di pusat perbelanjaan dan tanpa sengaja membentur pengunjung lain, seorang laki-laki kurus yang membelalak karena Axel kelihatan akan marah.
"Eh, maaf, ya." Kayla berkata, dia menyikut Axel. "Minta maaf."
"Kan, nggak senga--"
"Minta maaf." Dia memelotot.
"Maaf." Axel akhirnya bersuara.
Memori-memori itu.
"Kayla juga mengerti aku perlu perhatian, tapi nggak berlebihan. Di waktu-waktu aku kambuh, Kayla yang biasanya cerewet jadi tahu kapan dia bisa bicara dan kapan dia cuma ngasih aku tepukan di punggung dan teh panas."
Teh stroberi panas itu memang hanya teh seduh sachet. Axel punya satu lusin di dapur apartemennya, tetapi tak pernah ia seduh. Hanya Kayla yang boleh membuatkannya minuman itu.
"Dan, Kayla nggak pernah judge aku ketika kucerita kadang benci Mama dan ingin terlahir dari ibu yang lain." Sorot Axel melembut. "Orang-orang akan dengan mudah menghakimi aku karena keluargaku nggak sempurna, tapi Kayla bilang kalau nggak semua penghakiman itu perlu diterima. Nggak semua orang punya kemampuan dan pengetahuan cukup untuk bicara."
Axel menatap gadis itu lama sekali.
"Semoga kamu juga berpikir begitu untuk dirimu sendiri, Kay," bisik Axel tanpa suara.
***
—Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram/TikTok: @princekendic
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Ficção AdolescenteWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...