Gara-gara menangis di kamar inap Noah, mata Leandro terasa perih kala ia mendudukkan diri di transportasi umum. Secara sengaja, tubuhnya memilih bagian paling pinggir, samping jendela yang menghadap ke trotoar sempit, pejalan kaki yang memilih-milih langkah karena genangan, dan tanaman samping jalan yang seadanya.
Percakapan dengan Nirvana tak berhenti hanya karena tangisan Leandro. Walau dengan itu, Leandro sepenuhnya membisu. Membiarkan dirinya tenggelam dalam memori lagi, bergantung pada sendu itu lagi.
Jawaban Axel dan Marshal hanya terdengar seperti sayup-sayup kalimat terputus di kejauhan. Noah tidur nyenyak sekali, meski keningnya sering membentuk kerutan, melonggar, lalu mengerut kembali. Begitu pun tangannya. Mengepal, membuka, mengepal, membuka. Leandro menduga Noah tengah bermimpi. Bukan mimpi yang menyenangkan, barangkali.
Leandro mencoba mengingat-ingat. Pernahkah ia dan Krisa bepergian bersama? Kadang-kadang untuk hal ini ingatan Leandro tak dapat diandalkan. Di satu sisi, ia rasanya ingat mereka naik transportasi umum menuju sekolah Leandro sewaktu sekolah dasar untuk pengambilan laporan prestasi tahunan. Di sisi lain, Leandro yakin tak yakin yang terjadi ialah ia pergi sendirian lebih dulu dan ibunya menyusul karena terlalu lama bersiap-siap. Leandro tak cukup sabar, Krisa pada akhirnya datang agak terlambat.
Apakah itu dua kejadian berbeda waktu?
Selain itu, pernahkah?
Ah ya, pernah.
Menjelang hari raya, Leandro diajak--lebih tepatnya dipaksa--Krisa berbelanja pakaian baru. Leandro tidak menganggap kain olahan sepenting itu sampai ia harus berdesak-desakan di pusat perbelanjaan. Leandro benci pengap dan tempat penuh orang. Tempat perbelanjaan di tengah manusia pemburu momentum akan jadi neraka.
Leandro tak akan mengerti mengapa wanita, terutama ibunya, punya banyak energi untuk berjalan ke sana-sini, berbicara dengan banyak penjual, menyelipkan diri di antara tubuh-tubuh manusia. Sepanjang waktu, Leandro menekuk muka. Ekspresinya berubah dingin pada suatu kesempatan ia menyandarkan punggung ke dinding, Krisa memintanya menunggu sebentar.
Krisa kembali dengan roti es krim.
Mungkin di pikiran Krisa, Leandro bisa ditenangkan dengan makanan manis.
Mereka sudah selesai berbelanja sebenarnya, menghabiskan waktu berjam-jam. Leandro selalu bilang ya pada pilihan Krisa agar cepat pulang, membuat Krisa sangsi dan memilih pakaian lain. Siklus itu terjadi berulang-ulang.
"Nanti kayaknya bagus bikin foto berdua." Krisa berkata di sela memakan es krim rotinya sendiri. Keduanya sama-sama duduk di kursi halte yang teduh.
"Buat apa?"
"Buat dicetak, lalu dipajang di meja kayak keluarga lain."
Seperti keluarga lain. Lucu.
Dari segala aspek, keluarga kecil Leandro tidak seperti keluarga lain atau standar usang keluarga yang harmonis. Dari jumlah anggota keluarga, latar belakang, pekerjaan, maupun hubungan ibu dan anak. Lagi pula, Leandro tidak pernah memusingkan soal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Genç KurguWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...