Beban Pengakuan • 62

746 196 13
                                    

Jason adalah orang terakhir yang Leandro harap ia temukan di depan rumahnya, di waktu-waktu ia sangat merindukan Krisa seperti hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jason adalah orang terakhir yang Leandro harap ia temukan di depan rumahnya, di waktu-waktu ia sangat merindukan Krisa seperti hari ini

Tubuhnya sudah cukup lelah, jiwanya juga.

Pikiran Leandro memanggil satu per satu ingatan tentang Jason. Soal gelangnya yang lusuh dan kotor, jari kelingkingnya yang terangkat ketika makan, nama Ise yang dia sebut. Leandro juga mencoba mengingat apakah Jason, di umurnya yang matang--yang mana cukup masuk rentang umur sebagai seorang ayah anak remaja--sudah menikah atau tidak.

Tidak, sepertinya. Leandro tak melihat Jason memakai aksesoris lain selain gelang itu.

Leandro mengangguk sopan dalam jarak Jason melihatnya dengan jelas, yang langsung dibalas anggukan serupa. Ekspresinya yang semula datar, lalu dihiasi satu senyuman kecil tidak memberikan Leandro petunjuk tujuan apa laki-laki itu ke sini.

"Halo, Leando."

Jason berdiri tepat di samping pintu mobil menuju kursi pengemudi. Leandro tahu tetangga-tetangganya melihat kedatangan Jason dan bertanya-tanya. Jangankan mereka, Leandro saja tak tahu apa yang akan melengkapi harinya ini.

"Halo."

"Keberatan kalau saya ajak kamu makan malam?"

Untuk apa? Adalah pertanyaan pertama. Leandro berusaha berpikir logis, mengesampingkan dugaan-dugaan pribadi. Apakah Jason mengabarkan model magang keputusan terakhir soal mereka diterima menjadi model tetap atau harus pergi dalam sekian hari lagi?

Mungkin. Mungkin saja, dan Leandro ingin mempercayai kemungkinan yang ini. Kalau ada opsi lain, Leandro berharap itu tidak terjadi.

"Makan malam?" Leandro mengonfirmasi seperti orang linglung.

"Ya."

Leandro kesulitan menemukan alasan untuk menolak. Tidak ada orang di rumah, dia benar-benar sendirian. Lampunya bahkan masih mati, rumahnya gelap gulita. Terlalu mencari-cari rasanya bila ia menolak. Leandro bisa saja memberi alasan ia mesti menjaga temannya yang tengah sakit, yang mana berarti ia harus kembali ke rumah sakit.

"Boleh saya bersiap dulu?" Balasan itu yang akhirnya ia ucapkan.

"Tentu. Maaf bila sebelumnya saya tidak memberitahu kamu."

"Tidak apa-apa."

Tentu saja rumah Leandro tidak punya water heater, ia bergidik selama membersihkan diri. Jason menunggu di ruang depan, dengan teh hangat. Entah keajaiban dari mana Leandro punya teh sachet dan air dalam termos belum sedingin malam. Waktu mandi berlalu sekejap kedipan mata.

Sementara ia mengeringkan rambut di kamar, memandang bayangannya sendiri di cermin. Leandro mengembuskan napas perlahan.

Ia masih kelihatan habis menangis, telinganya yang mudah memerah juga masih sewarna tomat.

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang