"Malam ini, kan? Iya gu—fuck!"
Axel menatap tak percaya pada celana jeans yang ia kenakan sekarang. Akibat kuah dari mi instan milik orang yang bertabrakan lengan dengannya tumpah, meninggalkan basah dan panas di bagian paha Axel.
"Astaga!" Cewek itu, yang menabrak Axel memiliki mata bulat sarat emosi. Seakan-akan, dia ingin menelan Axel hidup-hidup. "Hati-hati dong kalo jalan!"
"Lo juga ya!" Axel menunjuk cewek itu dengan telunjuk. Manusia menyebalkan itu hanya setinggi dadanya.
"Makanya kalo jalan itu jangan main ponsel!"
Axel mendenguskan tawa. "Terus lo ngapain bawa-bawa mi cup sambil jalan? Kalo makan itu sambil duduk, bego amat."
"Enak banget ya ngomong bego ke orang lain?"
Kali ini, Axel melipat tangan di dada. "Emang begitu, kan?"
Sedetik kemudian, Axel memelotot dan mulutnya terbuka tanpa sadar kala cewek itu memukul lengannya cukup kuat.
Tidak, bukan karena sakit yang tidak seberapa. Namun, memalukan. Seorang Axel membiarkan dirinya sendiri dipukul seseorang, apalagi perempuan tidak jelas ini?
"Lo nggak tahu siapa gue?!"
Tumpahan kuah dan mi—juga keributan yang diciptakan mereka membuat salah satu petugas minimarket keluar dan melongokkan kepala. Dia masuk kembali, kemungkinan besar untuk mengambil alat untuk membersihkan ulah Axel dan cewek berkaus hitam yang warnanya mulai luntur itu.
"Pentingnya gue tahu siapa lo?!"
"Kurang ajar ya. Gue ini anaknya Leonardo Nathanael tahu!"
Axel sudah akan bersorak tatkala ekspresi cewek menyebalkan di depannya ini berubah. Dahinya mengernyit, matanya menyipit.
Namun, realita memang seringkali jauh dari ekspektasi.
"Terus? Kalo lo anaknya pemilik stasiun televisi swasta gue harus kagum gitu? Yang punya kan bokap lo, nggak usah sombong!"
Ya Tuhan.
Kepala Axel tiba-tiba sakit.
Petugas minimarket datang dan meminta keduanya untuk menyingkir, dia lalu melaksanakan tugasnya tanpa banyak bicara.
"Pokoknya ganti mi gue yang tumpah."
"Ngapain? Lo yang nabrak gue."
"Oh, anaknya orang kaya nggak mampu ganti rugi satu cup mi ya?"
Emosi Axel memuncak hingga ke ubun-ubun, ia menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "DUIT GUE BANYAK! GUE BAHKAN BISA BELI SEMUA MI DI SINI!"
"Ya udah ganti rugi dong! Buruan!"
Axel mendorong pintu minimarket dengan amarah tak terbendung. Ia tak menunggu cewek tadi untuk menyusulnya. Seperti yang dikatakannya tadi, Axel membawa hampir semua varian mi instan cup yang muat pada keranjang belanja kuning yang disediakan.
"Heran ya orang kaya kayak lo ini pada songong semua. Nggak Marshal, nggak lo. Hih."
"Udah gue ganti nggak usah banyak bacot bisa nggak?"
"Kasar amat sama cewek. Sini!"
Axel hampir melempar kantung plastik berisi lebih dari sepuluh mi instan cap. "Nih!"
"Makasih ya, Axelorga Nathanael."
Alis Axel bergerak seakan hendak menyatu. "Dari mana lo tahu nama gue?"
"Gue googling sebentar dong tadi, nyari anak satu-satunya yang ternyata sombong dunia akhirat. Bye!"
"Awas ya kalo ketemu lagi!"
Kasir minimarket sudah memberi gestur agar mereka diam. Namun, Axel mengabaikannya.
Cewek itu berbalik, membuat ikatan rambutnya yang sudah mulai longgar bergoyang. "Panggil aja nama gue Kayla, tiga kali. Nanti juga datang."
"Nggak sudi!"
Mungkin, saat itu Axel bisa berkata demikian.
Meski kini, sebanyak apa pun Axel memanggil nama Kayla, matahari kesayangannya itu tidak pernah datang.
***
Ada yang masih nggak ngerti dengan Style cerita ini?
Tbh, I'm not that Writer yang ngejelasin segala macam ke pembaca. I want pembaca selain terhibur, juga sambil 'mikir', nggak melulu disuapin informasi.
Karena menemukan komentar yang menilai duluan padahal malas berpikir, let me tell you that BOOK ONE alias chapter 1-20 itu alurnya maju mundur.
Kalau teliti, bisa nemu polanya 1-5 untuk tiap tokoh itu seperti apa.
Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan akal untuk berpikir, kan? Masa malas menggunakannya?
Tuh kan malah salty.
Mari menghitung, BOOK ONE tinggal tiga chapter lagi.
—Prince Kendic
Instagram : @princekendic
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Roman pour AdolescentsWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...