Lima belas menit. Hanya itu waktu yang Axel punya di dalam sana.
Ruangan itu tidak begitu besar. Hanya ada meja, sepasang kursi, dan tanaman sebagai penghias ruangan ala kadarnya di sudut. Dindingnya polos, salah satunya punya kaca lebar yang agak transparan.
Axel tidak datang dengan tangan kosong. Bersamanya, ada kotak makanan berisi makanan juga sebotol air mineral. Rolade, pangsit goreng, kue lapis, dan agar-agar rasa jeruk untuk orang yang akan dikunjunginya kini. Kedua benda kotak itu Axel letakkan di meja, sementara ia duduk menunggu, agak gugup.
Ini adalah kali pertama Axel mengunjunginya lagi setelah sekian lama. Mungkin sudah tiga atau empat tahun. Axel lupa tepatnya mengapa rutinitas pergi ke rumah tahanan ini berhenti. Kemungkinan besar karena larangan ayahnya, menganggap ini tak berguna dan membuang waktu Axel saja. Walau tahu ia berhak, Axel menurut karena diyakinkan.
Pintu terbuka dan wanita yang telah kehilangan sebagian kecantikan masa mudanya datang dan membulatkan mata begitu melihat Axel. Ada keterkejutan sesaat ketika Axel melihat wanita itu. Dia tampak beberapa tahun lebih tua dari umurnya sekarang, hampir empat puluh. Kantung matanya besar dan gelap, bibirnya membentuk satu garis lurus, bahkan terkesan agak turun. Rambutnya tidak begitu rapi, yang kini coba dia rapikan dengan refleks jemari.
"Tidak dilarang ayahmu?"
Alih-alih menjawab pertanyaan wanita yang kini sudah duduk di hadapannya, Axel menggeser tempat makanan juga botol minum ke depan. "Your favorites."
Dia membuka bawaan Axel, tersenyum senang–macam anak-anak, pesona terbesarnya, kecantikan murni dan polos–begitu melihat isinya. "Thank you."
Harusnya Axel memanfaatkan waktu singkat itu sebaik mungkin. Namun, Axel tak benar-benar tahu harus bagaimana. Ia pikir bisa diisi dengan percakapan-percakapan, tetapi lidahnya kelu dibekukan gugup.
"Apa kabar?" tanya Axel kemudian. Suaranya bergetar.
"Baik-baik saja." Wanita itu menjawab. "Sekarang kamu sudah kelas berapa? Atau sudah kuliah?"
"Tahun terakhir SMA."
Wanita itu tidak membalas pandang Axel, yang sudah dia usahakan seberani mungkin. Sejak tadi, membolak-balik makanan dari Axel tanpa ada tanda-tanda mau memakannya.
"Oh, sudah besar ya, kamu."
Lalu, apa lagi?
Axel mencoba menghitung. Seingatnya, hukuman wanita di depannya ini masih berlangsung beberapa tahun lagi. Hampir semua tindakannya dikenakan hukuman dan tak ada yang mau membantu meringankan, termasuk ayah Axel sendiri.
Kepemilikan dan penggunaan narkoba, pemerasan, penculikan.
Dulu, wanita ini adalah aktris paling populer yang pasti dijumpai di layar kaca ataupun media-media cetak. Jadi standar kecantikan wanita, dipuja-puja. Walau berasal dari keluarga tidak beruntung–perceraian digabungkan kemiskinan, wanita ini akhirnya meraih kesuksesan di usia masih terbilang muda.
Dia menikah di usia tepat dua puluh tahun, dengan penerus perusahaan televisi swasta keluarga Nathanael.
Desas-desus soal aktris menikahi penerus perusahaan hanya karena kekayaannya sempat menyebar, jadi perbincangan dari mulut ke mulut. Namun, perlahan hilang juga ketika pasangan itu mengumumkan perihal kehamilan anak pertama mereka.
Semuanya berjalan mulus-mulus saja, seperti cerita dongeng, keluarga yang sempurna. Sampai isu cinta lama dengan aktor lawan main muncul kembali ke permukaan.
"Ayahmu tidak melarang? Atau dia tidak peduli lagi?" Pertanyaan itu keluar lagi.
"Aku nggak bicara apa pun dengan Papa soal kunjungan ini."
"Tentunya karena dia sibuk, 'kan?" Wanita itu akhirnya mendongak. "Media ini, acara ini, penjagaan ini, perayaan itu."
"Ya. Dia memang sibuk."
"Lalu kamu di rumah sama siapa?"
"Aku tinggal sendiri di apartemen."
"Memangnya enak tinggal di apartemen? Kamu harus bolak-balik ke lift, ketemu orang-orang di lobi, tetangga pun berisik."
Axel menghela napas. "Biasa saja."
"Apartemen tetap lebih nyaman dibanding rutan, bukan begitu?"
"Memang."
"Tidak sabar untuk keluar dari sini."
"Memangnya kalau sudah waktunya, mau pergi ke mana?"
"Ke mana saja."
"Dia overdosis, 'kan?"
Ekspresi wanita itu menggelap. "Sudah lama."
Kekasih alias aktor lawan mainnya yang overdosis, tepat sebelum keduanya akan diperiksa.
"Kamu ke sini tidak untuk membahas orang yang overdosis." Wanita itu mengusap lengan kanannya. "Ada apa?"
Axel juga tak tahu. Ia hanya ingin datang. Mungkin untuk melihat bagaimana keadaan wanita ini secara langsung atau mengenyahkan rasa penasarannya.
Apakah wanita itu sebenarnya peduli pada anaknya sendiri atau tidak.
Sepertinya, tidak. Mungkin. Barangkali. Axel tidak punya jawaban pasti.
Dia bahkan tidak bertanya kabar Axel seperti semula ia bertanya.
"Maaf, waktu kalian sudah habis."
Axel berdiri lebih dulu, menepuk debu tak kasar mata di celananya, sekadar mengusir gelisah. "Semoga baik-baik saja." Hanya kalimat singkat itu yang akhirnya keluar dari sekian banyak hal berputar di kepalanya.
Mengapa melakukan itu di hari lalu? Apakah pernah sekali saja Axel berharga di mata wanita itu? Atau sekadar anak dari pernikahan hambarnya?
Axel ingin diyakinkan. Mau berterima kasih juga atas trauma dan ketakutan yang sekarang bercokol kuat dalam dirinya.
Tak pernah ada pula permintaan maaf.
Tanpa melihat lagi ke belakang, Axel keluar dari ruangan. Masih dengan perasaan tak puas.
Mengapa harus Axel yang jadi korban dari semua masalah milik ayah dan ibunya sendiri?
***
B O O K T H R E E, dimulai.
—Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram: @princekendic
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Novela JuvenilWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...