Bintang Yang Belum Jatuh • 33

2.5K 347 13
                                    

"Jadi, lo bener-bener serius keluar dari kerjaan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, lo bener-bener serius keluar dari kerjaan?"

Pertanyaan itu menahan langkah Leandro begitu ia membuka pintu kamar rawat Kayla. Ada rasa ingin tahu, sangsi.

"Kalau gue lolos audisi, ya." Seakan Axel bukan sesuatu yang menarik eksistensinya, Leandro menaruh tasnya di sofa dan merenggangkan ototnya yang dirasa tegang dan pegal.

"Kenapa? Gajinya kurang?"

Leandro membuang napas seakan dia sudah lelah dengan semua hal yang ada di dunia. Perlahan, ia melepaskan jaket kulit milik Noah yang masih ada padanya. Tepat setelah keluar dari gedung tempat audisi, ia bertanya kapan bisa mengembalikan setelah dicuci. Namun, Noah mengatakan kalau pakaian-pakaian itu bisa menjadi miliknya.

"Boleh jujur?"

"Kenapa nggak?" Axel menantang.

Rahang Leandro mengeras. Daripada melihat Axel dan meningkatkan amarahnya, lebih baik ia menghadap Kayla saja. Tangannya mencengkeram pinggiran tempat tidur. "Gue capek. Sebanyak apa pun gue bekerja, nggak akan pernah cukup untuk membantu Kayla. Selain kerja di kafe lo, gue juga beberapa kali ngisi artikel di website, guru tutor sesekali, dan jadi pekerja bersih-bersih di taman kota. Apakah cukup buat beberapa hari aja dirawat dia di rumah sakit ini? Sama sekali nggak."

Atas kalimat-kalimat Leandro itu, terlempar dari mulutnya lewat suara-suara serak dan perih, Axel terdiam. Bisu.

"Kalian bisa melakukan itu lebih mudah dari gue. Nggak, gue nggak menganggap hidup kalian serba mudah. Tapi intinya, bangunnya Kayla masih bisa kalian usahakan. Gue? Selama gue nggak punya uang, selama gue nggak punya koneksi, kalau Kayla cuma mengenal gue dan bukan bersama kalian, dia udah nggak ada dari lama."

Suaranya menghilang di akhir, kekuatannya berpindah pada cengkeramannya. "Kalau diterima, meski nominalnya hanya berbeda dikit dari keseluruhan uang yang gue dapat setelah bekerja empat pekerjaan itu--mungkin untuk kalian cuma sebagian kecil dari yang kalian keluarkan. Tapi, gue ingin membantu Kayla. Gue ingin."

Sampai sejauh ini, Axel memandang lurus-lurus, tanpa kata.

"At least, she should stay alive. Even I'm not that lucky guy she choose."

Leandro bukan seseorang yang bisa ditenangkan dengan kontak fisik atau kata-kata. Axel cukup tahu. Sedikit rasa bersalah yang merayap di dadanya membuat dia sadar diri. Untuk malam ini, malam gilirannya, dia memberikannya untuk Leandro dengan langkah-langkahnya meninggalkan ruangan.

***

Tawaran pekerjaan menjadi pelayan kafe milik Axel untuk Leandro bukanlah sesuai kebetulan.

Saat itu, di mana seluruh dunia Axel seakan hanya dipenuhi lilin-lilin berpendar buram--yang menakutkan--empat orang laki-laki berlatar berbeda berbagi rasa panik di rumah sakit. Mungkin hanya dirinya yang punya rencana lain kala itu untuk mengetahui siapa yang lain, atau Marshal, atau Noah juga. Axel tidak tahu. Yang jelas, Leandro tidak pernah peduli dengan orang-orang di luar lingkarannya yang sangat sempit.

Berkat koneksi ayahnya, ia mencari tahu tentang ketiga orang itu. Barangkali ini terdengar picik, tetapi Axel ingin mengetahui seberapa berarti masing-masing orang di mata Kayla. Axel memanfaatkan kebutuhan Leandro untuk pekerjaan yang lebih baik. Ia bisa mengawasi lebih dekat, tahu lebih banyak.

Dan sekarang, Leandro akan melepasnya.

Tak apa. Ia sudah biasa ditinggalkan siapa-siapa.

Bukan hanya Marshal, bukan hanya Noah, bukan karena status sosial mereka. Axel menganggap Leandro sebagai salah satu temannya. Si jenius berkepribadian dingin. Mereka akan tetap bertemu di sekolah, Leandro hanya akan tidak menjadi bawahannya lagi.

Axel berdiri di depan vending machine berisi minuman dingin dan biskuit. Matanya tak memiliki titik tatap pasti.

Bukannya memasukkan koin, Axel justru mengambil ponsel dan menghubungi ayahnya yang super sibuk itu. Sebelumnya, Axel malas menelepon dia karena jarang diangkat, atau sekretarisnya yang membalas. Namun, entah kebetulan atau tidak, kini dia sendiri yang mengangkat.

"Malam, Axelorga."

Ayahnya memang memanggilnya dengan nama itu.

"Papa."

"Ada apa?"

"Papa sibuk?"

"Menurutmu?"

"Ya sudah. Aku tu-"

"Gadismu sudah bangun?"

Keheningan mengisi percakapan itu.

"Gadismu yang itu. Bukan yang selalu kau bawa kencan ke mana-mana."

"Aku tahu."

"Dia akan kecewa kalau tahu."

"Apa?"

"Wanita itu menyukai sesuatu yang loyal, Axelorga. Papa tidak menemukannya di diri kamu."

"Hanya untuk Kayla, aku akan setia."

"Jangan terlalu yakin. Terakhir kali seyakin ini, kamu menjadi fobia terhadap nyala api lilin."

Tangan Axel mengepal, seiring dengan napasnya yang menderu.

"Jangan berlebihan, Axelorga. Apa pun. Jangan terlalu percaya, jangan terlalu sayang, jangan terlalu cinta. Tidak ingat dengan apa yang terjadi di keluarga kita?"

"Kayla nggak akan seperti itu."

Axel tidak sepercaya diri itu Kayla akan memilihnya kelak dia akan memilihnya. Hanya saja, ia cukup percaya Kayla tidak akan menjadi seperti ibunya.

"Pilihanmu untuk berpikir apa saja. Papa hanya mengingatkan. Lebih baik kamu istirahat."

"Ya." Suara Axel kering dan tanpa rasa.

Telepon ditutup. Hingga beberapa saat, Axel tetap berdiri diam di depan vending machine sampai hatinya lebih sedikit nyerinya.

***

—Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram: @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang