Deretan Lilin • 52

953 233 15
                                    

Malam ini, Axel tidak bersama pacar-nya. Kekasih-kekasih yang kelihatannya sama. Cantik, manja, dan sangat bangga bisa berpacaran dengan anak pewaris televisi swasta di Indonesia. Setelah Axel memutuskan sepihak, mereka akan berderai air mata dan meminta hubungan mereka diperbaiki.

Yang mana Axel tolak mentah-mentah, seperti biasanya.

Langkahnya memasuki pusat perbelanjaan terbesar di kota bersama jaket kulit hitamnya. Axel punya tujuan pasti untuk apa dan ke mana. Di salah satu bagian lantai dasar, ada panggung dan diselenggarakan lomba cover dance yang ditonton banyak sekali orang. Suaranya terdengar jelas ke mana-mana. Beberapa dari mereka sempat mengalihkan pandangan ketika Axel lewat.

Axel tidak punya tujuan jelas, ia hanya ingin menghabiskan waktu dan tenaga sehingga ia bisa kelelahan, akhirnya mengantuk dan langsung tidur begitu membaringkan tubuh. Ia tak ingin berlama-lama menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana.

Axel bisa saja pergi ke klub malam seperti biasanya. Sewa table, membiarkan dirinya larut dalam minuman memabukkan, lalu berakhir di kamar hotel bersama wanita asing di pagi harinya. Namun, rasanya membosankan. Hidupnya yang membosankan.

Area pertama yang ia datangi adalah area clothing premium yang harganya bisa bikin gigit jari untuk sebagian besar orang. Namun, Axel melenggang tanpa ragu. Deretan kemeja dan jas rapi didominasi warna monokrom dipajang di satu sisi. Tidak menarik perhatiannya, sebenarnya. Namun, Axel mengambil salah satunya juga–kemeja lengan pendek warna peach. Segar dan cocok sekali bila dipakai ke pantai.

Axel tidak punya rencana pergi ke pantai dalam waktu dekat.

Dengan kartu kreditnya, benda itu sudah beralih kepemilikan.

Bersama satu kantung kertas belanja, Axel menaiki eskalator. Kepalanya berpikir area apalagi yang perlu ia datangi.

Area yang menjual hampir segala pernak-pernik dan perkakas akhirnya didatangi Axel. Lebih dari sepuluh lorong tampak di depan mata. Axel tidak menghitung, ia asal masuk ke salah satunya.

Semua pajangan tampak di rak. Tanaman-tanaman palsu, jam meja berbagai ukuran dan bentuk, sampai lampu-lampu kecil. Langkah Axel pelan, tetapi pasti.

Sampai akhirnya, Axel terhenti di depan deretan lilin. Yang kurus putih, yang lebar warna-warni, yang wadahnya dari plastik.

Jika tidak dinyalakan, Axel tidak takut. Beda lagi jika nyala apinya menerangi ruangan. Kenangan gelap akan menghampirinya, menarik semua oksigen yang ada dan meninggalkan Axel dalam ketakutan pekat.

Diamnya Axel sebelum tidur biasanya diisi pengulangan memori buruknya. Axel pergi ke sini bukan untuk mengingat kembali dengan cara berbeda. Akan tetapi, kakinya seakan membeku. Matanya terus tertuju pada deretan lilin itu.

Axel kembali bertanya-tanya. Apakah ibunya pernah menjadikan dia entitas yang paling dia sayang?

Kalau ya, tidak mungkin ibunya menyusun rencana bersama kekasihnya gelapnya, juga penjaga Axel untuk menculik anaknya sendiri demi meminta tebusan dalam jumlah sangat besar, 'kan?

Ibunya juga tidak akan memukuli ia di tengah gelap, sebatas diterangi lilin putih temaram yang menjadikan bayang begitu mengerikan, hanya karena ia menangis dan merengek ingin pulang.

Axel menelan ludahnya susah payah. Kamar yang apak, tanpa penerangan akibat mati lampu, ranjang yang keras, bau-bau lain yang asing. Tak ada jendela, satu-satunya akses masuk dan keluar hanya pintu yang sepanjang hari ditutup itu. Axel sendirian, kelaparan dan menunduk di sudut ruangan.

Kehadiran sang ibu awalnya membuat ekspresinya berubah. Ia pikir, dia adalah penyelamat. Axel kira, ibunya akan membawa ia pergi sambil menepuk-nepuk punggungnya, menenangkan.

Tidak terjadi.

Yang ia lihat hanya bayangan perempuan yang sama sekali asing. Axel merasa tidak mengenalinya sama sekali.

Tatapan matanya tidak teduh, malah menusuk. Gerakannya kasar, Axel merindukan usapan dan belaian lembut yang biasa ia terima sebelum tidur.

Axel merengek ia ingin pulang ketika ibunya menaruh lilin beralas piring kaca di area tidak dekat perabotan. Ibunya menyuruh ia diam, masih dengan suara datar.

Lalu, ia mulai menangis dan bibirnya tak berhenti meracau. Pada saat itulah, ibunya berteriak pada Axel. Meminta ia diam.

Napas Axel terasa seperti ditarik seketika. Debar jantungnya menggila. Suhu kamar semakin naik. Tangan ibunya terangkat, Axel kira ia akan dipeluk. Yang datang adalah rasa sakit bertubi-tubi. Di kepala, di tangan, di paha, di sekujur tubuhnya.

Kepalanya penuh dengan teriakan-teriakan orang asing ini–ibunya yang berubah sama sekali karena ketergantungan obat-obatan terlarang.

Axel ditinggalkan bersama dua rasa sakit, fisik dan hatinya. Ia terbaring, menatap satu-satunya sumber cahaya. Axel sudah tidak mampu bergerak. Semua bagian dirinya sakit bahkan hanya karena bergerak sedikit.

Lilin itu semakin kecil, nyalanya makin buram. Kamar sempit itu pun tak cukup diterangi. Bagian gelap meluas. Di dalam kepala Axel, suara-suara saling bersahutan. Jeritan atas rasa sakitnya, teriakan-teriakan tak jelas sang ibu, sunyi di luar.

Tak cukup sekali. Lampu kamar itu tak berfungsi, lilin temaram itu datang lagi. Dan seperti tak puas, semuanya terulang.

Axel disiksa lagi bersama penerangan minim itu. Hingga suatu kali, karena Axel tak mau diam, ibunya melelehkan lilin itu dan membiarkan lelehan panasnya mengenai tangan Axel.

Jeritan Axel terdengar lebih nyaring dari kapanpun.

Saat ditemukan, beberapa kulit Axel melepuh. Tubuhnya penuh luka. Kala digendong sang ayah pergi, bibirnya tetap membisu. Hanya bergetar, terus menangis. Terus air matanya jatuh.

Semua suara untuk jeritan atas ketakutannya sudah habis terpakai.

Kaki Axel rasanya melemas, tangannya segera berpegangan pada rak di depannya. Napasnya tak bisa keluar masuk dengan lancar sampai Axel harus menghirup udara dari mulutnya juga.

Axel berakhir pucat dan menyerahkan lampu meja berbentuk bulat di kasir.

Ketika Axel kembali ke apartemen, ia menyimpan lampu penerangan itu di ruangan yang semula kosong.

Namun, kini penuh dengan puluhan lampu yang tak bisa berhenti dibelinya.

***

—Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram: @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang