Pendengar Pertama • 76

668 170 9
                                    

Penjaga di depan ruangan Kayla selalu tanpa ekspresi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penjaga di depan ruangan Kayla selalu tanpa ekspresi. Bibirnya seperti garis lurus, matanya menatap tegas ke depan, tubuhnya tegap dan siaga. Namun, ketika Marshal datang dengan gitar siang itu, Marshal bisa melihat kilatan rasa penasaran pada matanya.

Sayangnya, Marshal tidak berniat memberitahu ia akan melakukan apa.

Begitu pintu ditutup, Marshal refleks mengembuskan napas lega. Ruangan ini seperti ruangan paling aman, juga ruangan paling nyaman bagi Marshal untuk menjadi dirinya sendiri. Bukan seorang anak yang teguh pada pilihan, bukan anak dari keluarga Hadinata yang punya status terpandang, bukan seorang anak yang mesti kelihatan sempurna.

Marshal bisa mengeluhkan hal sekecil lupa menaruh ponsel di saku kanan dan bukannya kiri, sampai makanan yang terlalu pedas untuk lidahnya. Kayla punya kemampuan itu dan Marshal berharap ia bisa menjadi seseorang yang membuat Kayla tidak perlu berpura-pura juga.

Sementara gitar ada di pangkuannya, Marshal mengecek ponselnya sekali lagi. Masih ada beberapa jam sebelum penampilan yang disebutkan Musa, penentu karir musiknya ke depan. Apakah Marshal bisa menyanyi karena ia suka atau karena ia harus.

Waktu SMP, Kayla ada praktik seni budaya memainkan alat musik. Pilihan paling mudah adalah seruling dan pianika. Kayla datang kepadanya dengan pianika pinjaman, tidak yakin permainannya akan mendapat nilai lebih dari kriteria atau tidak.

Marshal tidak akan bohong kalau ia senang Kayla datang padanya. Ia merasa kemampuannya diakui. Lagi, ia tidak pernah berdiri di depan kelas dan bermain musik, setidaknya pada saat itu. Kala sekolah menengah atas, Marshal memainkan piano dan berhasil membuat teman-teman sekelasnya terpukau.

"Mau bawain lagu apa?"

"Ibu kita Kartini," kata gadis itu. "Yang gampang-gampang aja."

"Kirain mau cicak-cicak di dinding." Marshal setengah bercanda, ingat permintaan Kayla dulu.

"Nggak itu juga."

Keduanya berada di ruangan musik di rumah Marshal. Awalnya, Kayla merasa terintimidasi dengan alat-alat musik itu. Rasanya seperti akan ditertawakan, gara-gara permainannya standar. Akan tetapi, Marshal bilang kalau alat-alat musik itu tertawa, ia juga akan berlari keluar ruangan.

Kayla mencoba mencerna kalimat Marshal dan tertawa tiga detik kemudian.

"Not angkanya udah hafal, 'kan?"

Kayla mengangguk, rambut gelapnya yang diikat bergoyang. "Udah."

"Coba main."

Kayla berdeham, tangan kirinya memegang pianika pada bagian yang memang disediakan, jari-jari tangan kanannya bersiap-siap. Lalu, Kayla mulai bermain pianika seperti yang diminta Marshal. Hanya saja, Kayla baru bermain sebentar ketika Marshal sudah menghentikannya.

"Kenapa?" Kayla bertanya-tanya.

"Tiup pianikanya jangan keras-keras nafsu begitu, pelan-pelan sesuai notnya. Kalau terus-terusan nggak berhenti, nanti bikin lo engap sendiri." Marshal berujar. "Inget juga lo ini lagi main alat musik, bukan lagi niup kuah bakso yang terlalu panas."

Analogi Marshal membuat kening Kayla mengerut. Meski begitu, dia menurut saja. "Oke."

"Coba ulang."

Kayla meregangkan jemarinya, kemudian kembali menempatkan bagian pianika untuk ditiup di bibir. Sekejap kemudian, dia bermain lagi. Tidak ada yang salah, tidak ada juga yang istimewa. Begitu lagunya selesai, Kayla menaikkan kedua alisnya. "Gimana?"

"Napas lo masih harus diatur." Marshal berkomentar. "Cara jari lo nekan masih kurang tepat."

"Harusnya gimana?" Kayla menatap jari-jarinya sendiri.

"Lo nekan semua tuts pianika cuma pakai telunjuk, jadinya kayak ibu-ibu ngetik SMS di ponsel. Kalau lagunya cepat, nggak bakal keburu." Marshal melambaikan tangan, meminta Kayla mendekat. Gadis itu menurut, mendekatkan bagian tuts pianika ke Marshal.

"Jadi semua jari harus dipake?"

"Iya. Jempol buat tuts satu, telunjuk tuts dua, jari tengah tuts tiga, jari manis tuts empat, terus kelingking tuts lima." Marshal mempraktikkannya langsung, Kayla meniup pianikanya dan terdengar bunyi yang lebih halus. "Selain bunyinya nggak kasar, biar yang main nggak capek juga."

Kayla mengusap tengkuknya. "Oke, gue coba lagi, ya."

Di depan Kayla yang terbaring sekarang, Marshal membentuk senyum kecil. Mulutnya membuka, mulai bercerita. Tentang ayahnya, tentang mengapa ia datang bersama gitar dan dirinya yang siap menggunakan suara emasnya.

"Menurut lo, gue bakal berhasil nggak?"

Marshal memosisikan jarinya, bersiap untuk memetik gitar. "Sebelum malam nanti gue nyanyi di depan banyak orang, lo harus jadi orang pertama dengar. Lagu ini ... tentang lo. Judulnya Merindukan Matahari. Jangan diejek ya, kalau cheesy."

Tawa gugup keluar dari mulut Marshal, padahal ia tak pernah merasa ragu bernyanyi di depan orang lain. Ia selalu percaya orang-orang akan suka, orang-orang ingin mendengarnya lagi lain kesempatan.

"Nanti kalau lo bangun, gue bakal nyanyiin lagu ini lagi."

Kalau lo bangun.

Hari itu, Kayla menjadi pendengar pertama dari lagunya yang bahkan Musa saja tak tahu.

***

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram & TikTok: @princekendic

Bad Boys Darling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang