Marshal sudah cukup puas dengan dirinya sendiri.
Dengan balutan kemeja putih dan jas hitam yang telah melekat di tubuhnya sejak sore tadi, ia bersandar pada salah satu dinding. Tangan kirinya menggenggam sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah.
Ya, Marshal kidal.
“Semuanya diharapkan bersiap kembali ke panggung. Penampilan penutupan akan segera dimulai,” seru salah satu dari sekian yang Marshal sebut ‘orang acara’. Ada tanda pengenal yang menggantung di lehernya.
Marshal meletakkan botol di atas meja rias, lalu duduk di depan meja itu. Jelas, dibanding tiga tahun lalu, penampilannya semakin membaik. Gaya rambutnya kini mengikuti gaya sewaktu ia memotong rambut dengan Kayla. Wajahnya semakin bersih dan cerah akibat serangkaian perawatan yang ditetapkan ayahnya.
Mana mungkin Musa mau membiarkan anaknya, yang kini sudah memenangkan berbagai perlombaan baik itu kompetisi piano atau menyanyi tingkat nasional tampak dekil dan urakan.
Penata rias menciptakan keajaiban dengan tangan cekatan dan alat mereka. Pelipis Marshal yang tadinya berkeringat dan mengilap sudah diperbaiki. Angkuh, Marshal mengangkat dagu dan menatap dirinya di cermin.
Kalau Kayla melihat penampilannya yang seperti ini, apakah dia akan menyebutnya tampan?
Pasti. Orang-orang juga menyebutnya begitu.
Marshal mulai memasang earphone seraya berjalan menuju belakang panggung. Malam ini, adalah penutupan acara dari sebuah penggalangan dana bagi yayasan kanker. Yang ia ketahui, yayasan ini dibentuk oleh salah satu artis ibu kota yang teramat terkenal.
Terakhir, memeriksa microphone. Tidak ada kendala. Arkian, ia dan penampil yang lain siap untuk membawakan lagu terakhir.
Seperti biasa, penampilan dari seorang Marshal Hadinata tidak pernah mengecewakan.***
“Sudah gue duga, lo pasti tidur.” Marshal menekan-nekan dahi seorang cowok seumurannya yang masih duduk di bangku penonton dengan mata terpejam.
Awalnya, cowok dengan kening indah dan telinga bertindik itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Matanya tidak terbuka, napasnya tetap teratur. Marshal mendesah. Seharusnya ia meminta Leandro saja yang datang.
Noah memang tidak bisa diharapkan.
Bahkan dalam acara yang jelas berisik seperti tadi pun dia masih bisa tidur.
“Setan.” Marshal mengumpat. Dia menarik rambut Noah yang tersisir rapi ke belakang kuat-kuat.
Rasa sakit menjalar, memberikan sinyal peringatan di dalam kepalanya. Noah membuka mata, mengerjap-ngerjap sebentar dan mengusap muka. “Udah selesai?” tanyanya, parau.
“Dari tadi.” Dia buru-buru meminta Noah berdiri, takut cowok itu akan tertidur lagi.
“Heran gue. Keadaan berisik kayak tadi pun lo bisa tidur.”Noah menahan kuap. “Semua sama aja buat gue. Udah kan? Ayo pulang.”
Tinggi keduanya hampir sama. Hanya berbeda satu atau dua senti yang tidak mencolok. Berjalan beriringan, menuju ke luar gedung.
Parkiran sudah sepi kala mereka menghampiri mobil Noah. Segera setelah masuk ke dalamnya, Noah merogoh tas karton pada dasbor dan mengambil apel. Baginya, buah itu lebih efektif meredakan kantuk dibanding kopi.
Lagipula, dia tidak suka kopi.
Marshal sudah membuka ponsel, melihat-lihat notifikasi dari sosial media. Beberapa penggemar yang tadi datang memotret dirinya saat sedang bernyanyi. Ada di antaranya tampak bagus, sisanya cenderung buram.
“So, whats up?” Noah bertanya. Namun, nada bicaranya cenderung datar.
“Mengagumkan. Seperti biasa,” jawab Marshal jemawa.
Noah mendengus. Ia membelokkan mobil di suatu pertigaan. “Dasar iblis.
“Tapi berwajah malaikat.” Marshal terkekeh. Tidak terdengar menyenangkan di telinga Noah.
“Yah, siapa yang menduga kalau seorang Marshal Hadinata pernah menukar minuman lawan dalam kompetisinya dengan alkohol.”
“Ah, si Jonea.” Marshal mengibaskan tangan. “Lagi pula suara gue lebih bagus dari dia.”
“Lo takut kalah sampe ngelakuin yang kayak gitu?”
Salah satu alis Marshal naik, dia tersenyum culas. “Cuma memastikan tempat untuk pemenang itu menjadi milik gue.”
Noah tidak menyahut.
Hampir tengah malam, dan mobil itu tidak mengarah ke rumah salah satu dari mereka. Kendaraan itu malah berhenti di sebuah kafe yang masih terang benderang meski waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Baik Marshal maupun Noah tidak berniat keluar. Sebab, orang yang mereka tunggu baru saja keluar dengan tas tersampir di bahu kanan.
Leandro menuruni tangga, masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang.
Dia tidak banyak bicara.
“Ok, sekarang kita ganggu waktunya Axel.” Noah melajukan mobilnya kembali.
“Gue lebih suka memanggil dia Orga.” Marshal bergumam.
Di belakang, Leandro hanya bersandar dengan nyaman.
Tak lama kemudian, mereka sampai di bangunan tinggi itu.
Seperti ribuan detik sebelumnya, rumah sakit tetap tampak mengerikan dalam diam bagi mereka bertiga.
***
Leandro dan Marshal sudah menyapa.
Kini, Noah Trenellio Tan yang akan menemani waktumu agar tidak hampa.
But before, I just wanna say thank you, kalian telah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini.
—Prince Kendic
Instagram & Twitter : @princekendic
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boys Darling ✓
Ficção AdolescenteWARNING: ADULT CONTENT (SELESAI, PART LENGKAP) Leandro biasa saja dengan kenyataan bahwa ia anak haram dan tak punya siapa-siapa untuk bergantung. Langit Leandro sudah lama mati sinarnya. Marshal merasa sulit ketika sayapnya dijerat tali kekang. Ma...