(Chapter Tambahan) Sebuah Perspektif

3.7K 183 0
                                    

Reminder : Novel ini di-update versi terbarunya, oleh karena itu kamu mungkin perlu membaca bab sebelumnya atau bab setelah ini yang belum ada tanda repost atau chapter tambahan mungkin tidak nyambung.

^^

Kar, aku mau ke yayasan lagi, kamu ikut nggak?

Nggak bisa, Na. Gue ada kerja kelompok.

Saat ini aku sedang di halte menunggu bus dan teringat pada Sekar, siapa tahu dia mau ikut. Sebetulnya mendadak sekali rencana untuk ke yayasan, alasannya karena dosen mata kuliah terakhir hari ini mengumumkan bahwa beliau tidak akan bisa masuk. Tercetuslah ide ke yayasan, siapa tahu bisa bertemu Teh Laila. Kalau tidak ada pun aku punya alasan untuk bertemu Yasmin.

Aku pernah meminta kepada Mama untuk memberikan adik, rasanya pasti menyenangkan memiliki saudara perempuan dan kami bisa saling sharing tentang masalah-masalah perempuan. Seperti meminjam ikat rambut ketika ikat rambutku susah ditemukan, kurasa semua orang mengalami kehilangan ikat rambutnya kadang-kadang. Bercerita sepanjang malam di atas tempat tidur. Maraton nonton drama di akhir pekan.

Melihat anak-anak di yayasan, aku jadi ingin membawa pulang satu saja dari mereka.

"Eh, lo ngapain di sini?" Sebuah tangan menepuk pundak dan membuatku terkesiap. Ketika menoleh, mulutku hampir terbuka lebar menemukan seseorang yang tak pernah kuharapkan dan bahkan tak terpikirkan berdiri di sana dengan senyumnya yang lebar.

Ia duduk di sampingku, dekat sekali membuat alisku menukik naik. "Sendiri aja?" Aku masih tidak menjawab, tetapi segera membuat jarak ketika berhasil menguasai rasa terkejut.

"Yumna, kan, nama lo? Gue tahu nama lo dari temen lo." Tahu aku menatapnya bingung, dia melanjutkan penjelasannya. "Pipit, temen lo, kan, dia?"

Aku menggeleng-geleng dan mengembuskan napas pendek. Berdiri dari sana dan memilih untuk menunggu di pinggir halte. Galih mengikuti.

"Lo mau ke mana? Gue bawa mobil, itu parkir di sana. Gue anter ya?"

Aku melirik sebuah mobil sport warna oren yang mencolok dan diparkir sembarangan. Aku menoleh kepadanya. "Ada urusan apa Kak sama saya? Mau minta tolong diajarin cara buang sampah yang bener? Atau cara parkir yang bener?"

Dia membelalakkan matanya dan kemudian terkekeh geli sampai mundur selangkah. Aneh sekali dia, tidak ada yang lucu malah tertawa. Dia tidak tahu apa kalau aku sudah berusaha segalak mungkin demi membuatnya tidak nyaman?

"Bisa aja lo kalau bercanda."

Tolong. Siapa pun yang bisa menerjemahkan tatapan seseorang, aku ingin meminta tolong untuk memberitahunya saat ini. Bahwa aku tidak sedang bercanda dan justru tidak nyaman mengobrol dengannya. Memang kami ini sedekat apa sampai mengagendakan waktu untuk tertawa bersama?

"Beneran deh, kalau lo mau dianterin, gue mau anterin lo, Na. Siapa tahu kita bisa jadi temen, kan?"

"Nggak perlu, saya mabuk kalau naik mobil bagus."

Matanya membelalak, apalagi ketika melihat aku bersiap saat bus sudah hampir sampai di depan halte. "Na, gue minta nomernya aja gimana?" Kali ini mataku yang membelalak, dia dengan kurang ajarnya menyentuh tanganku. Aku tak suka disentuh oleh sembarangan orang.

"Tolong yang sopan, Kak! Dan saya nggak mau berurusan dengan Kakak, maaf!" kataku dengan nada penuh amarah. Dia spontan melepas tanganku, apalagi banyak orang yang saat ini melihat kami. Aku akhirnya masuk ke dalam bus dan dia masih di sana menatap bus yang kunaiki sampai menjauh.

Merinding, tiba-tiba aku merasa parno. Apa yang tidak kutahu tentang laki-laki ini? Apa yang tidak Sekar beritahu tentang Galih?

"Dia gila."

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang