Reminder : Novel ini diperbarui, kalian perlu membaca dari awal agar nyambung ya, yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan.
___
Abang nanti malem ke rumah, kalau kamu sampek nggak keluar kamar, Abang gendong kamu ke bawah.
Aku sedang duduk sembari menekuk kaki di atas sofa, membaca makalah untuk kuis besok. Mau tidak mau harus tetap belajar apa pun kondisi hati. Kemeja yang diberikan Teh Laila ada di sebelahku dan sesekali kulirik. Melihat kemejanya saja membuatku pedih lagi. Kalau kelak sembuh, rasanya aku tidak mau patah hati untuk kedua kali. Sakit.
Suara pintu berderit membuat mataku awas. Begitu masuk mata Bang Ardan langsung menangkapku. Kuturunkan kaki dan duduk dengan tegap. Semakin langkahnya mendekat semakin jantungku tak kuat. Pasalnya aku takut bila pada akhirnya ia mengetahui perasaanku. Takut kalau dia justru menyuruhku untuk membuang jauh-jauh perasaan itu. Aku takut mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya, karena bisa kupastikan, aku tak akan kuat lagi menahan sakitnya patah hati.
"Nih!" Dia mengulurkan kantong plastik berisi jus alpukat. Aku mendongak menatap wajahnya, tidak ada kemarahan, matanya masih memancarkan kelembutan seperti biasa. Kuterima jus itu lalu ia duduk di sebelahku, menjatuhkan dirinya dan mengembuskan napas berat.
"Capek," gumamnya. Aku tidak menjawab, lebih baik menyedot jus alpukat yang menyegarkan ini.
"Hmmm, kenapa sih, Na? Abang dicuekin." Dia menarik-narik jilbabku, tak kuhiraukan karena enggan membuatnya senang jika berhasil membuatku terganggu. "Enak banget jusnya?" tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk-angguk.
"Minta dong!" Ia mengambil jus dari tanganku dan menyedotnya tanpa malu. Ya Allah, ini wajahku sudah memerah karena dia minum dari sedotan yang sama denganku. Ya Allah, jantungku. Ya Allah, bodohnya aku karena bagi Bang Ardan itu bukan hal yang penting.
Ya sudahlah, yang mencintai diam-diam sepertiku ini bisa apa, kan?
"Tumben kamu nggak marah kalau Abang gangguin begini," katanya sembari mengembalikan jus alpukat yang kupandangi tanpa berani menyedotnya lagi.
"Emang kalau aku marah Abang mau berhenti ganggu?"
"Enggak."
Kan! Duh, lelah aku berdebat dengannya. Energiku sudah terkuras berkali-kali lipat lebih banyak karena patah hati. Masih panjang jalanku untuk move on, jadi harus hemat tenaga.
"Na." Ia menegakkan punggungnya, jarak kami dekat sekali dan membuatku tidak nyaman. Takut kalau-kalau debaran jantungku yang menggila ini didengar Bang Ardan. "Lagi ada masalah ya? Cowok yang waktu itu?"
Aku menggeleng.
"Apa kamu beneran sedih karena bentar lagi Abang bakal nikah?" Mati aku! Bagaimana harus menjawab pertanyaan itu?
"Bener karena Abang bentar lagi nikah?" tanyanya sekali lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dariku. Aku memberanikan diri dan menoleh ke kanan, ke arah Bang Ardan. Namun, ternyata aku salah mengambil keputusan, wajah Bang Ardan yang condong kepadaku membuat jarak wajah kami amat dekat. Sungguh aku bisa melihat wajah tampannya lekat-lekat. Hal yang selalu kudapatkan sejak dulu, tetapi baru bisa kusyukuri hari ini.
Aku mengambil jarak lalu menjawab pertanyaannya. "Aku udah hampir sembilan belas tahun, punya saat di mana ada yang nggak bisa kubagi sama Abang." Kuusahakan sekuat tenaga untuk tidak menangis.
"Abang ngerti." Dia mengangguk-angguk. "Tapi kamu nggak pernah begini sebelumnya. Kamu selalu cerita ke Abang, bahkan walau nggak cerita pun, kamu selalu nyari Abang. Tapi belakangan ini kamu aneh."
Aku mengambil kemeja di sebelahku sebelum pembicaraan ini semakin jauh dan mengulurkannya pada Bang Ardan. Dia menerima dengan dahi berkerut, tetapi tak lama setelah itu matanya berbinar-binar. "Warna sama bahannya bagus banget, kamu paling ngerti selera Abang emang," katanya sembari mengelus-elus kemeja itu.
"Makasih ya."
"Bukan dari aku."
"Hmmm?"
"Dari Teh Laila." Usai menjawab begitu aku berdiri. "Aku ngantuk." Lalu pergi dari hadapan Bang Ardan. Menaiki tangga dengan perasaan berat. Berusaha kuat agar tidak menoleh ke belakang.
Paginya, aku terbangun dengan kondisi hampa yang entah bagaimana harus dijelaskan. Seperti berat sekali menghirup udara. Aku bangkit dari tempat tidur malas-malasan. Memakai baju malas-malasan. Bahkan tidak memakai skincare seperti biasa. Hanya memoleskan sunblock dan bedak saja. Aku bahkan enggan pakai lipstik. Warnanya seperti kontras sekali dengan perasaanku.
Pintuku diketuk ketika aku masih duduk di depan meja rias. "Masuk aja, Ma."
Aku terkejut begitu menoleh menemukan Bang Ardan di sana. Aku berteriak, syok karena Bang Ardan masuk ketika aku belum pakai jilbab. "Abang! Ngapain masuk ke kamar sih! Keluar dong, Yumna belum pakek jilbab."
"Oh iya." Bang Ardan menutup pintu secepat kilat sampai bunyi debumannya cukup kuat. "Maafin Abang, Na. Nggak sengaja."
Aku mendengkus kesal. Mood-ku jadi semakin tidak karuan. Kesal karena Bang Ardan melihatku tanpa jilbab, aku merasa berdosa sekali, hatiku sesak sekali rasanya. Entah bagaimana air mataku sampai keluar. Padahal aku dan Bang Ardan sudah biasa masuk kamar satu sama lain. Namun, kali ini rasanya tidak ikhlas sekali dia melihat aurat yang berusaha kututupi.
Ya Allah, inikah pesan yang ingin Kau sampaikan? Bahwa bagaimanapun aku dan Bang Ardan memang bukan mahram dan seharusnya menjaga jarak. Benarkah perasaan ini adalah pesan darimu bahwa kedekatan kami selama ini salah dan hanya akan menimbulkan luka?
Karena ada kelas pagi, mau tidak mau aku harus turun. Kuusap air mataku dan lekas memakai jilbab. Di sana Bang Ardan sudah duduk di sebelah Bunda. Dia memakai kemeja yang dibelikan Teh Laila dan semakin membuat mood-ku hancur berantakan. Aku tak mau melihatnya. Aku diam saja selama mereka berbincang. Menghabiskan sarapanku lebih cepat dan pamit.
Sudah kuduga bahwa Bang Ardan akan mengejarku. Aku berhenti dan menunggunya berbicara.
"Maaf Abang nggak sengaja, kayaknya harus mengubah kebiasaan nih."
"Karena itu makanya kita harus jaga jarak, Bang! Nggak ada yang boleh dibiasakan lagi. Aku udah berjilbab, Abang mau nikah. Semuanya nggak boleh kayak dulu."
Bang Ardan menatapku bingung, dahinya berkerut-kerut. Wajahnya menyiratkan bahwa ia tidak sepakat dengan kalimat yang kuucapkan. "Kenapa semuanya nggak boleh kayak biasanya lagi? Maksud kamu apa sih, Na? Kenapa tiba-tiba begini? Abang nggak ngerti."
Aku berusaha keras agar tidak mendengkus. Kutarik napas kuat-kuat, berharap hatiku lega setelahnya. Namun nihil, hatiku semakin sesak. "Aku juga nggak ngerti, tahu-tahu semuanya emang harus berubah."
"Kenapa harus?"
Aku menatap matanya lekat-lekat. "Abang nggak ngerti?" Dia diam. "Contohnya tadi, aku nggak pakek jilbab dan Abang nggak boleh lihat aku begitu. Aku ngerasa berdosa dan jadi sadar kalau kedekatan kita selama ini nggak baik. Gimanapun kita ini bukan mahram yang boleh sentuhan, apalagi saling biasa masuk kamar satu sama lain."
Mulutnya membuka, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Aku paham betul ia ingin menyangkal, tetapi yang kukatakan jauh lebih benar dari argumen yang ingin ia muntahkan. Karena itu dia terdiam dan hanya menatapku.
"Udah paham, kan, sekarang, Bang?"
Ini memang tidak adil untuk hubungan kami yang sangat dekat sejak dulu, tetapi mau bagaimana lagi.
***
Diperbarui 15 Desember 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/186498069-288-k896480.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Perlu Bersabar (Completed)
Espiritualperjuangan adalah kisah Yumna, mencintai akhirnya membuatnya menemukan begitu banyak cinta yang tak diketahui dunia. Cinta yang barangkali tak masuk kategori cinta oleh manusia. Info : Cerita yang di-publish di wattpad tanpa melalui proses editing d...