(Chapter Tambahan) Tentang Mahram

3K 163 6
                                    

Reminder : Novel ini telah diperbarui, kalian perlu membaca dari bab awal yang ada tanda repost atau chapter tambahan ya. Di bab depan yang belum ada tanda itu mungkin tidak akan nyambung.

___

Setelah tiga hari berkabung dengan kesedihan, rasanya aku perlu bertemu dengan Yasmin. Memaknai kehidupan dari seorang anak manusia yang Allah ciptakan itu, selalu bisa membuat hati meleleh tanpa ampun. Memorakporandakan keangkuhan akan kuasa diri sebagai manusia, yang merasa mampu mengikat takdir dan membawanya sesuai mau diri.

Takdir yang kuinginkan ternyata bukan yang Allah berikan. Ada rasa kesal, kecewa, sedih, marah, dan pasrah.

Begitu sampai di depan yayasan, kulihat ada beberapa anak sedang duduk melingkar dengan perempuan yang kutebak adalah seorang guru relawan di yayasan. Saat mendekat dan duduk tak jauh dari mereka, aku bisa mendengar apa yang mereka bahas, ternyata sedang kajian. Pantas saja kedelapan anak itu semuanya memakai jilbab, mentornya juga. Yasmin melihatku dan tersenyum, kubalas senyumannya.

Aku memperhatikan anak-anak yang tampak semangat mendengarkan. Usia mereka kira-kira dua belas sampai lima belas tahun. Rasanya Yasmin yang paling kecil di antara mereka. Tampak paling tenang dan tidak berbicara sedikit pun kendati teman-teman yang lain melontarkan pertanyaan semua.

"Kalau rasa marah sama sedih harus diikat dengan makna yang ingin disampaikan Allah. Gimana sama jatuh cinta, Kak?" tanya seorang anak yang kulihat paling besar di antara semua anak. Sang mentor terkekeh, aku yang mendengarnya juga. Wajar saja sih, sebab anak remaja lima belas tahun memang sedang penasaran-penasarannya pada banyak hal. Termasuk hatinya yang penasaran ingin merasakan cinta.

"Jatuh cinta ya." Sang mentor bergumam. Dia tampak berpikir. Mungkin sedang memilah kalimat mana yang harus disampaikan untuk anak berusia dua belas sampai lima belas tahun ini.

"Kalian tahu, kan, kalau bukan mahram nggak boleh berkhalwat atau berdua-duaan?" Delapan anak itu mengangguk-angguk, tak terkecuali Yasmin. "Berkhalwat yang dimaksud engak hanya berdua-duaan aja, tetapi interaksi yang sekiranya sanggup membuat hati kita lemah. Bisa jadi kita enggak berdua-duaan, tapi hati kita nggak berhenti berharap kepada dia dan akhirnya jadi galau karena merasa cinta semakin dalam. Hanya karena nggak sengaja sesekali tatap muka dan diberi senyum."

"Tapi hati, kan, nggak bisa dikendalikan, Kak," protes salah seorang anak.

"Kata siapa?"

"Kata orang kita nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa."

"Ah apa iya?" Sang mentor tampak menahan tawa. Sang anak jadi bingung harus menjawab apa.

"Apa iya kita nggak bisa memilih jatuh cinta sama siapa? Apa kamu bakal jatuh cinta sama cowok yang jelek, item, kecil? Maaf ya Kakak bukannya mendiskriminasi fisik, tapi kenyataannya, kan, begitu. Kita jatuh cinta ketika melihat wajah yang enak di pandangan mata. Karena itulah Allah meminta kita untuk menundukkan pandangan, sebab yang membuat mata nyaman biasanya membuat hati jadi tidak tenang. Berdebar-debar."

"Kalau nggak sengaja memandang?"

"Itu artinya bonus, pandangan detik berikutnya setelah sadar itu namanya rakus." Sang mentor tertawa, anak-anak tertawa.

"Begini, Dek." Perempuan itu tampak menyudahi tawanya dan memandang anak-anak dengan tatapan lembut dan tegas. "Sekiranya adik-adik tahu tujuan hidup itu apa. Perihal perasaan rasanya bukan hal yang akan membuyarkan fokus. Maksudnya, ya, nggak peduli kalian bertemu banyak laki-laki dan merasa suka pada seseorang, kalau punya tujuan hidup, pasti yang diprioritaskan adalah tujuan hidupnya."

"Misalnya begini," ia mulai menjelaskan. "Kalau adik-adik punya tujuan hidup ibadah kepada Allah dengan keahlian yang dimiliki, sambil ingin membahagiakan orang tua dan memberangkatkan mereka haji. Walau suka sama seseorang, pasti nggak akan membiarkan perasaan suka atau galau menghalau jalan kalian buat terus mengejar tujuan hidup. Ini namanya prioritas hidup. Kalian jadi akan berpikir lagi, toh, jodoh enggak akan ke mana."

"Tapi, Kak." Sang mentor menoleh ke kirinya. "Temenku ada yang pacaran. Mereka tetep pinter, cowoknya pinter, ceweknya pinter."

Aku bisa melihat sang mentor mulai kewalahan. "Dek, pernah punya kerabat dekat yang meninggal?" Sebagian anak-anak mengangguk. "Rasanya sakit, kan, kehilangan mereka? Tapi kita berusaha ikhlas karena orang tersebut emang udah dipanggil oleh Allah, kita bisa apa? Tapi, kalau pacaran lama dan nggak jodoh padahal udah cinta setengah mati dan terbiasa bersama. Sakit nggak kalau harus kehilangan? Padahal dia masih ada di hadapan atau di sekitar kita, tapi semuanya berubah drastis dan nggak akan sama, apalagi kalau akhirnya mantan sama orang lain?"

"Tapi kata temenku ada yang pacaran lama terus akhirnya nikah, Kak."

"Karena mereka jodoh. Pada dasarnya, mau dijemput dengan cara apa pun jodoh ya bakal tetep saling ketemu. Jadi daripada sibuk mikirin pacaran, mending sibuk memperjuangkan impian kita. Toh jodoh bakal tetep ketemu." Sang mentor menoleh pada Yasmin yang hanya diam dari tadi.

"Iya kan, Yasmin?'

Yasmin yang semula fokus mendengarkan akhirnya mengangguk-angguk.

"Kalau Yasmin, kepikiran soal cinta sama lawan jenis nggak?" Yasmin menggeleng. "Kenapa?"

"Belum tentu Yasmin masih hidup sampek ketemu jodoh." Satu kalimat yang membuat sang mentor terdiam sebentar, lalu mengangguk dan mengelus kepala anak itu. Aku ikut tersenyum miris, iya benar juga. Belum tentu aku masih hidup beberapa menit lagi. Kenapa malah kuhabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak produktif seperti bersedih?

"Jadi, Adik-adik. Ada baiknya walau kita punya seribu teman laki-laki, tundukkan pandangan, jaga batasan, nggak boleh saling menyentuh. Kalau berinteraksi sebisa mungkin jangan pakai perasaan atau harapan-harapan dan ekspektasi yang aneh-aneh, semacam berharap dia jodoh kita. Sebab nanti jatuhnya malah kita akan salah menangkap sinyal, bisa jadi dia cuma mau berteman, eh kitanya malah kegeeran dan makin terpuruk karena galau."

Tidak boleh saling menyentuh dan bukan mahram. Dua kalimat itu membuatku sadar betul apa yang salah dari rasa cinta ini. Mungkinkah ini manifestasi dari kedekatan yang tidak seharusnya? Terlebih ketika aku mulai sadar telah mencintai Bang Ardan dan setiap kedekatan terasa lebih spesial daripada sebelumnya. Apakah itu sinyal yang kutangkap karena aku punya harapan yang lebih akan hubungan kami?

Ya Allah. Indah sekali cara-Mu mengingatkan. Engkau bawa hati dan kakiku ke sini, lalu kutemukan jawaban dari kesalahan yang harus diperbaiki.

Usai kajian, Yasmin mendekatiku dan kami berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya aku pulang. Besok toh, aku harus menjemputnya lagi karena waktunya belajar mengaji dengan Mama. Iya, aku jadi tukang ojeknya.

***

Diperbarui pada 14 Desember 2021

Pendek banget memang.

Terima kasih, sudah membaca sejauh ini. Insyaallah, di ms. word-ku, naskah ini sudah sedikitttt lagi selesai. Setelah itu aku akan edit minimal dua atau tiga kali sebelum dikirim ke penerbit. :)

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang