(Repost) Lamaran

3.3K 159 4
                                    

Reminder : novel ini diperbarui, jadi kalian harus baca sejak bab awal lagi supaya nyambung. Bab yang sudah diperbarui ada tanda repost dan chapter tambahan ya.

___

Hari ini adalah titik di mana aku menyerahkan segalanya kepada kehendak Allah. Bagaimana hatiku mengikhlaskan rasa cinta kepada laki-laki yang hampir seumur hidup telah bersamaku, kepada perempuan yang membangkitkan semangatku. Kedua orang baik yang sama-sama berarti itu, tak mungkin, kan, kuusik jalan takdir mereka yang sedang berjalan?

Berkali-kali kuseka air mata sebelum sampai pada titik mampu memulaskan bedak tipis di permukaan kulit wajah, tanpa luntur lagi. Aku memoles lipstik ke atas bibir yang pucatnya mungkin sepucat cintaku yang nyawanya direnggut paksa.

Kuembuskan napas berkali-kali sebelum Papa masuk ke kamar setelah mengetuk pintu. "Na, tolong kancingin lengan tangan Papa dong. Mamamu lagi dandan di bawah." Ia menyodorkan tangannya padaku. Papaku meski sudah berusia setengah abad ini masih memiliki tubuh yang tegap, sisa-sisa ketampanan masa mudanya terlihat jelas.

"Papa bersyukur abangmu itu akhirnya punya tambatan hati, Na. Kamu tahu sendiri, kan, gimana kerasnya kehidupan dia setelah ayahnya pergi. Kamu tahu sendiri gimana gigihnya dia kerja. Yang paling Papa syukuri adalah gimana dia jadi sosok Abang yang baik buat kamu." Entah kenapa, air mataku jatuh berhamburan lagi saat ini. Di dada sana ada yang sesak sekali.

Iya, lelaki yang kucintai sehebat itu. Lelaki yang seumur hidupnya begitu menderita, tetapi tak jatuh atau takut bangkit. Definisi lelaki sejati yang kuinginkan untuk mendampingi hidup. Namun, nyatanya takdir berkata lain, aku harus ikhlaskan lelaki keren itu. Apakah suatu hari akan kutemukan yang sekeren Bang Ardan?

"Loh, kenapa nangis? Jangan nangis, abangmu lebih seneng kamu ketawa kalau lagi seneng, Na." Papa mengusap air mataku. Aku hanya mengangguk-angguk walau kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang Papa katakan.

"Ayo turun," ajak Papa sembari merangkul bahuku. "Hari ini Papa lamarin perempuan buat Bang Ardan, nantinya Papa akan dapet lamaran buat kamu. Papa nggak nyangka kalian udah segede ini ternyata." Ia mengecup puncak kepalaku yang terbalut jilbab toska.

"Tapi Papa belum rela rasanya kalau harus lepasin kamu, Na. Anak Papa kenapa cepet banget gedenya sih." Hari ini, pria di sampingku ini banyak sekali berbicara. Papa memang paling banyak diam dan diam-diam pula mengambil sebuah keputusan yang menyangkut keberlangsungan hidup kami. Papa yang selalu membuat Mama bahagia dengan membantu dan mendengarkan tiap keluh. Papa yang selalu memberiku ruang untuk mendekat padanya dan bergantung tanpa membuatku manja.

"Pa, kalau hari ini Yumna yang lamaran. Apa Papa bakal seseneng ini?"

Ia menoleh menatapku dan terdiam. Kami sudah di bawah, duduk di sofa sembari menunggu Mama yang belum selesai juga dandannya. "Papa cuma akan lepas kamu buat laki-laki yang tepat, Na. Papa nggak akan semudah itu serahkan anak kesayangan Papa yang baik dan pintar ini ke sembarangan orang."

Aku tersenyum, kalimat Papa membuat hatiku sedikit menghangat sebelum akhirnya dihancurkan lagi oleh seseorang yang tiba-tiba datang, dengan kemeja moka dan celana putih tulang. Menambah ketampanannya berkali-kali lipat, ketampanan yang akan menjadi milik orang lain. Aku memalingkan wajah.

"Mamamu belum selesai, Dan. Tunggu bentar. Papa panggilin dulu."

"Iya, Pa."

Bang Ardan duduk di sebelahku. Lalu dia menolehkan kepalaku padanya dengan sebelah tangan dan tersenyum seperti biasa. Menyebalkan, rasanya makin tak karuan. Aku menepis tangannya pelan untuk meredakan gejolak yang membuat hati sesak ini.

"Abang ganteng nggak? Gerogi nih."

"Enggak!"

"Oh berarti ganteng," jawabnya terkekeh dengan percaya diri. Aku tak menjawab.

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang