(Repost) Bincang Dengan Yasmin

3.2K 160 2
                                    

Reminder: novel ini diperbarui, jadi kalian perlu membaca dari bab awal supaya nyambung. Bab yang sudah diperbarui yang ada tanda repost atau chapter tambahan ya.

___

Setelah Pipit pergi dengan ojek online yang dia pesan, aku termenung sejenak. Pulang rasanya bukan pilihan yang tepat. Aku jadi ingin ke yayasan, bertemu Yasmin mungkin bisa menjadi obat ampuh menambah ketenangan. Aku jadi tahu betapa takutnya Yasmin saat itu, pasti tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Sungguh betapa otak dan hatiku mendidih membayangkan sekumpulan orang tak punya otak yang tega melakukan tindakan keji begitu pada Yasmin.

Aku memutuskan untuk naik angkutan umum. Setibanya di daerah tempat Yayasan Anak Bangsa berada, aku perlu berjalan cukup lama. Tak apa, berjalan adalah salah satu cara paling ampuh untuk larut dalam pikiran sendiri. Tidak ada satu orang pun yang mampu mengganggu, terlebih jika itu di jalan-jalan yang baru.

Aku jadi merasa ingin menyegarkan pikiran, refreshing ke tempat-tempat yang belum pernah terjamah. Namun, di mana?

Selangkah demi selangkah adalah penerimaan demi penerimaan tentang kenyataan yang telah terjadi. Sedetik demi sedetik adalah koreksi pada apa-apa yang terjadi dan patut untuk diperbaiki. Berjalan adalah ketenangan yang menentramkan. Terlepas dari terik matahari yang seolah mampu membakarku sampai hangus, meski kuyakin tak akan begitu. Namun, kurasa habitatku memang di tempat yang dingin persis seperti yang Sekar katakan.

Sesampainya di depan yayasan, kuembuskan napas lalu memasang senyum seceria mungkin. Masuk ke dalam dan menemukan beberapa orang sedang berlalu-lalang, satu dua orang menyapaku. Lalu aku ke taman, tempat di mana Yasmin berada.

"Assalamualaikum, Yasmin cantik." Aku menghampirinya yang sedang diam membaca buku.

"Waalaikumussalam, Kak Yumna." Yasmin terlihat berbinar menatapku.

"Kata Teh Laila Kak Yumna sakit, udah sembuh? Baru aja Yasmin mikirin Kakak, mau jenguk ke sana. Kak Yumna udah di sini aja." Aku tertawa mendengar betapa dia amat merindukanku. Yasmin tentu tidak tahu sakit yang dimaksud Teh Laila itu apa.

"Kak Yumna sakit apa?" tanyanya lagi.

"Sakit yang nggak terlihat dan nggak bisa disentuh atau diobati sama dokter. Kak Yumna udah baik-baik aja, cuma butuh ngobrol sama Yasmin." Aku menggodanya, ia tersenyum. Turun dari tempatnya duduk dan mendekat ke arahku.

"Yasmin pernah merasakannya, Kak. Yasmin tahu rasanya bagaimana, sakit yang nggak pernah kelihatan tapi sesekali tetep sakit kalau inget. Jangan ditahan-tahan, Kak. Kalau Kak Yumna sedih ya nangis aja, kalau marah ya marah aja. Asal nggak boleh berlarut-larut." Yasmin menyentuhkan jemarinya ke pipiku, hangat dan lembut. Mataku terpejam saat ia mengusap-usapkan tangannya di sana.

"Yasmin sadar kalau anugerah terbesar sampek hari ini yang Yasmin dapatkan adalah masih hidup. Itu artinya Allah mau apa yang udah berlalu dan terjadi diambil sebagai pelajaran dan pengingat, kalau nggak ada satu pun yang bisa kita kendalikan di dunia. Kak Yumna percaya itu?"

Aku mengangguk dan tersenyum. Lalu saat ia menurunkan tangannya, aku membuka mata dan menatapnya lekat-lekat. "Kak Yumna sayang Yasmin."

"Yasmin juga sayang Kak Yumna." Anak perempuan itu memeluk tubuhku erat.

"Nama kita sama-sama dari Y ya, Yasmin?" Aku yang baru menyadarinya terkekeh. Yasmin juga.

"Ini namanya takdir, Kak. Allah pertemukan kita pasti ada sebabnya." Aku mengangguk. Benar. Seandainya aku ditimpa musibah saat belum bertemu Yasmin, mungkin aku akan terpuruk berlarut-larut. Seandainya aku ditimpa musibah ketika belum bertemu Teh Laila, mungkin aku tak sekuat ini. Seandainya aku diberi ujian saat sebelum bertemu Pipit, maka aku tak akan mungkin bisa berlapang dada. Mereka memberi banyak pelajaran yang tanpa sadar menguatkan hati.

"Kak." Yasmin melerai pelukan kami. "Yasmin mau ke Magelang."

"Ke Magelang? Ngapain?"

"Lomba hafiz."

"Sama Teh Laila?" Dia menggeleng.

"Cuma sama Ustaz Izam aja dari sini. Kalau nanti di bus banyak temennya." Magelang, aku memikirkan sebuah kemungkinan. Baru saja aku berpikir untuk ke tempat-tempat baru atau liburan. Sekarang Yasmin memberiku ide.

"Kak Yumna boleh ikut?" tanyaku padanya.

"Kak Yumna mau ikut?"

Yasmin balik bertanya dengan binar bahagia. Aku mengangguk. "Kalau boleh. Kalau enggak, Kak Yumna ke Magelang sendiri terus nanti kita ketemu di sana. Gimana?" Yasmin menarikku berdiri, lalu kami masuk ke dalam. Dia melepas tanganku untuk mencari seseorang entah siapa.

Dia ke kantor tapi tidak menemukan siapa-siapa. Lalu melihat ke beberapa kelas dan tidak ada, dahinya berkerut-kerut.

"Nyari siapa Yasmin?" tanyaku penasaran.

"Ustaz Izam."

"Kenapa Yasmin?" Seorang pria berdiri di belakang Yasmin.

"Ustaz Izam." Yasmin memekik senang membuat pria di depanku tertawa. "Aku mau tanya. Boleh nggak kalau Kak Yumna ikut ke Magelang? Nemenin Yasmin, boleh nggak?" Yasmin bertanya semangat sekali. Aku tersenyum. Entah bagaimana pun masa lalu buruk itu, dia tak akan pernah bisa menghapus pribadi seseorang. Yasmin pasti adalah anak yang ceria dan cerdas sejak dulu.

Ustaz Izam tertawa mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu. "Boleh Yasmin. Kalau Kak Yumnanya mau secara sukarela boleh, tapi kalau dipaksa Yasmin nggak boleh."

"Kak Yumna yang mau kok, ya Kak?" Aku tersenyum pada Ustaz Izam yang sama sekali tidak memandang wajahku. Bahkan tidak menatap ke arahku. Pria itu mengeluarkan handphone-nya dan mengulurkannya padaku.

Alisku naik sebelah, apa maksudnya?

"Saya boleh minta nomer kamu? Dua hari lagi kita berangkat. Berangkat bareng sama peserta yang lain dari Jakarta. Nanti gimana-gimananya saya kabari lagi." Aku mengangguk dan menerima handphone yang diulurkan padaku. Menyimpan nomorku di sana.

"Yumna, Ustaz." Kukembalikan ponselnya. Ia hanya mengangguk lalu pamit.

Saat aku dan Yasmin akan beranjak dari sana, Teh Laila datang. Ia tersenyum dan mendekat ke arah kami. Setelah salam dan melakukan ritual seperti menempelkan pipi kami, dia berkata ingin mengobrol sebentar denganku.

"Yasmin ke kamar dulu ya? Siapin perlengkapan buat ke Magelang," suruhku padanya. Yasmin menurut dan meninggalkan kami berdua.

***

Diperbarui 31 Desember 2021

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang