(Repost) Menyatakan

3K 156 1
                                    

Reminder : Novel ini diperbarui, jadi kalian perlu membaca dari bab awal supaya nyambung ya. Bab yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan.

___

Ini hari ketujuhku bermalam di kos Sekar, iya aku memutuskan menginap agar tidak perlu bertemu Bang Ardan. Sekar terus-menerus menatapku dengan pandangan bertanya. Aku tidak bisa tidur, tiap malam terbangun dengan keresahan yang sama dan berakhir dengan belajar untuk menyibukkan pikiran. Hal itu tidak lepas dari perhatian Sekar hingga dia sewot setiap hari.

Malam ini aku ingin menuntaskan tugas makalah yang harus dikumpulkan hari Senin. Baru kubuka laptop, tangan Sekar menutup paksa laptop itu. "Pulang sana!" Dia berkacak pinggang, matanya menatapku tajam.

"Tega banget sih!" Aku berdecih ke arahnya.

"Lo lebih tega sama diri lo sendiri. Ngapain juga gue kasihan. Lo tu punya gue buat jadi temen cerita. Kenapa harus dipendam sendiri?" Aku mendesah lalu naik ke tempat tidurnya, mengambil selimut dan menutup hampir seluruh tubuh. Sekar selama ini tidak pernah memaksaku untuk cerita, itulah dia, tetapi kalau sudah mengganggu seperti ini mungkin dia gemas.

"Kalau lo nggak mau cerita mending pulang!" ancamnya, aku bergeming. Dia menarik selimut yang kupakai dan menjatuhkannya ke lantai. Aku berdecak, tersulut emosi.

"Harus cerita apa sih, Sekar? Nggak semudah itu. Aku udah mikir ribuan kali dan hasilnya sama, nihil! Jadi buat apa diceritain lagi!" seruku meluapkan perasaan sesak di hati. Sekar mencubit pipiku sampai aku mengaduh dan meringis, ia kemudian melemparkan dirinya sendiri ke tempat tidur lalu aku menyusul.

"Lega?" Aku mengangguk.

"Bang Ardan sama Teh Laila udah mulai ngurus persiapan pernikahan mereka." Dia memiringkan tubuhnya, menatapku.

"Ada satu hal yang bikin aku benci diri sendiri. Aku bahkan mikir buat nyatain perasaan setelah dia melamar Teh Laila. Aku jahat banget. Apalagi setelah tahu keadaan keluarga Teh Laila. Nggak seharusnya aku berpikir begitu, kan. Sekar, aku ... ." Aku memeluk tangannya, tergugu di sana. Menumpahkan tangis hingga tuntas, menghalau rasa bersalah masuk lebih jauh, membiarkan diriku bebas dari belenggu rasa cinta meski tidak bisa hilang sepenuhnya.

"Ada kalanya, Na. Ada kalanya cinta itu tumbuh bukan untuk dimiliki. Tapi ada sebuah rencana yang saat ini terlalu buram untuk dibaca. Pada saatnya, lo bakal tahu apa makna di balik ini semua." Aku menggeleng, tidak bisa menunggu selama itu. Rasa sesaknya menyiksa, mencekikku sampai kehabisan napas.

"Ada gue. Tinggal di sini semau lo. Bebas. Boleh nangis boleh teriak-teriak." Andai situasinya normal, ingin sekali aku tertawa.

"Bang Ardan tanya apa aku sedih dia mau nikah? Kalau seandainya aku kasih tahu dia perasaanku, apa dia bakal batalin pernikahannya demi adik yang paling dia sayang ini? Atau justru dia bakal jijik sama perasaanku? Kesempatanku ada di depan mata, Kar, tapi risikonya juga berat." Air mata semakin kurang ajar membanjiri wajahku, hidung rasanya sudah tak karuan. Tubuh terasa lemas sekali, aku tak cukup makan dan istirahat akhir-akhir ini. Inilah batasnya, kutumpahkan semua melalui tangis.

Yang membuatku semakin sesak adalah kenyataan yang baru kuketahui tentang Teh Laila dan kenyataan aku tetap memikirkan perasaanku sendiri. "Teh Laila, Kar. Teh Laila."

"Iya, Na. Gue ngerti. Gue paham." Aku menggeleng, Sekar tidak paham. Ia tidak tahu keadaan Teh Laila yang jauh dari kata sempurna. Ia lebih seperti menutupi kesakitannya dan berjuang demi keluarga yang amat membutuhkan dirinya. Sedangkan aku? Aku punya segalanya, mengapa harus merebut satu kebahagiaan yang akan mendatanginya. Ya Allah, aku jahat sekali pada orang sebaik dia.

"Ya Allah, aku jahat banget. Aku jahat."

"Lo udah berusaha semaksimal mungkin buat menahan diri. Jangan nyalahin diri sendiri." Aku menggeleng lemah, suara Sekar semakin lirih. Pandanganku kabur, perlahan-lahan semua menggelap, sepertinya aku akan jatuh tertidur.

Bangun-bangun hari sudah pagi saja, aku buru-buru ke kamar mandi, bangun pelan-pelan agar Sekar tidak terbangun. Semenjak pakai jilbab, memang tidak serta-merta memahami banyak hal. Namun, yang pasti adalah jika dulu aku mencari manusia dan panik ketika tak kutemui satu pun untuk bercerita. Kini, aku mencari tempat sujud untuk mengadu. Meski bergelimang dosa, kepada siapa lagi hati kembali? Walau tentu saja, aku selalu butuh saran seperti saran Sekar yang tak pernah basa-basi.

Lirih, kupanjatkan doa. Meminta ampun atas segala dosa, meminta belas kasih Allah untuk meringankan sakitnya hati akibat cinta. Meminta untuk dikuatkan. Melangitkan harapan semoga aku ikhlas melihat kebahagiaan Bang Ardan dan Teh Laila. Meski sebenarnya aku tak berhak berkata ikhlas atau tidak, karena sejak awal aku memang tidak memiliki.

Lirih, kupinta agar hati ini segera sembuh.

Usai salat, aku memakai jilbab lalu keluar untuk menghirup udara segar. Mataku yang pedih akibat menangis semalam butuh kesegaran. Namun, tepat ketika membuka pintu, Bang Ardan ada di sana. Dengan wajah acak-acakan. Tidak lebih baik dariku.

"Kamu kenapa, Na? Menghindar dari Abang?" Aku bergeming, menatap ke dalam matanya. Rindu sekali, ingin masuk ke pelukannya.

"Abang udah tahan selama seminggu, Abang pikir kamu cuma lagi ada masalah, terus nanti bakal kayak biasanya lagi. Tapi ini udah seminggu, kamu nggak ada kabar. Pakek acara nginep. Abang tanya, Na, apa kamu sedih karena Abang mau nikah?"

"Mending Abang pulang. Ini masih pagi, di kos khusus cewek banyak peraturannya." Aku hendak menutup pintu, dia menahannya, menarik tanganku dan membawaku keluar.

"Kamu udah nggak butuh Abang?" Matanya mencari-cari jawaban ke dalam mataku.

Aku sebutuh itu sama Abang, karenanya aku harus menjauh agar nggak merusak semuanya. Tentu saja tidak kukatakan kepadanya, aku terlalu takut.

"Aku suka sama seseorang, aku lagi patah hati, aku lagi pengen menyendiri," kuatur nada suaraku agar tidak memekik. Bang Ardan terdiam. Aku membuang pandangan. Bumi semakin terang.

"Apa yang bisa Abang bantu buat bisa bikin perasaan kamu membaik?"

"Meski dia udah melamar orang lain?" Matanya membeliak seolah sadar siapa yang kumaksud, aku tersenyum dan mengangguk paham. Meminta maaf pada Teh Laila dalam hati. Paling tidak, itu bisa membuat Bang Ardan menjauhiku.

"Maaf." Aku masuk ke dalam, dia masih bergeming. Tidak mencoba mencegahku. Dadaku kian sesak, tahu bahwa itulah jawaban darinya. Jawaban yang sudah kutahu, tetapi nyatanya sulit untuk diterima.

Sekar berdiri di balik pintu, aku memeluknya, ia membalas pelukanku. "Maaf aku jahat. Maaf."

"Lo nggak jahat, Na. Apa pun yang terjadi, itulah takdir. Ia tetap akan bekerja sebagaimana mestinya." Sekar menenangkan sambil mengusap punggungku lembut.

***

Diperbarui 15 Desember 2021

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang