(Chapter Tambahan) Masa Kecil Kami

591 54 3
                                    

Reminder : karena ini versi editing terbaru dari Cinta Perlu Bersabar, sepertinya kalian harus tetap membaca dari bab 1 supaya masih nyambung.

**

Aku ingat betul di suatu siang, ketika usiaku delapan tahun. Itu berarti Bang Ardan sudah berusia lima belas tahun. Aku meminta Mama mengantar ke rumah Bunda untuk bertemu dengan Bang Ardan, berlari-lari dengan semangat agar lekas sampai karena menyenangkan sekali membayangkan bisa bermain dengannya.

Memang benar, sekali dua kali aku mendengar teman-teman Bang Ardan mengolok-olok karena dia masih bermain dengan anak kecil, aku. Namun, Bang Ardan mengabaikannya.

Aku tertawa sambil berlari, sampai Bunda hapal betul dan selalu menyambutku di depan rumah dengan senyuman. Hari itu, Bunda tidak tersenyum meski tetap menerima pelukanku dengan hangat.

"Bunda tahu nggak? Tadi di kelas, Yumna dapet nilai bagus buat pelajaran nyanyi lho." Aku yang tidak suka dengan ekspresi murung orang-orang di sekitarku pun mulai mengalihkan pikiran Bunda. Namun, tampaknya hal itu tidak berhasil karena Mama justru menyuruhku masuk.

"Yumna temenin Abang ya di kamarnya. Abang lagi sakit."

Aku bergegas masuk ke dalam, lari, dan membuka pintu kamar itu tanpa mengetuk seperti biasa. Bang Ardan sedang menangis dan tidak punya waktu untuk mengusap air matanya karena seketika menoleh ke arahku begitu pintu terbuka. Namun, dia berusaha menormalkan ekspresinya, aku ingat betul bagian ini. Hal yang kemudian membuatku menyesal masuk ke dalam kamarnya.

Seharusnya tadi aku diam di luar kamar sampai Bang Ardan yang keluar sendiri, yang bisa kulakukan hanya pura-pura mengabaikannya dan duduk tepat di samping kanannya. Duduk dengan kedua kaki ditekuk dan memandang dinding kamar Bang Ardan yang berwarna biru tua, gelap seperti langit malam.

Aku diam bukan tanpa sebab. Hatiku nyeri saat itu melihat lengan Bang Ardan membiru. Tidak tahu apa yang harus kulakukan dan memutuskan untuk diam di sampingnya. Biar bila Bang Ardan membutuhkan sesuatu, aku bisa dengan sigap membantu.

Benar saja, Bang Ardan menangis sesenggukan. Aku berusaha menjadi patung dan tidak mengacaukan usahanya mengeluarkan perasaan. Sungguh, saat itu sebetulnya aku juga ingin menangis. Namun, bila itu terjadi pasti Bang Ardan akan berhenti menangis dan memilih untuk menghiburku dan berkata semuanya baik-baik saja seperti biasa.

Tidak, aku tidak mau. Sudah cukup, biasanya bila Bang Ardan mendapatkan memar di lengan atau di kaki, akulah yang menangis dan membuatnya harus berkata baik-baik saja. Kini, kubiarkan ia yang menangis dan bukannya aku sebab lukanya butuh disembuhkan.

"Makasih ya, Yumna," kata Bang Ardan kali itu, tersenyum walau wajahnya jadi aneh karena dipaksakan. Namun, sudah terlihat jauh lebih lega.

"Abang udah nggak sedih?" tanyaku polos, senang sekali rasanya. "Abang mau main sama Yumna dong berarti?"

"Enggak mau," jawab Bang Ardan jahil seperti biasa, tetapi tetap saja membuatku cemberut. Dia terkekeh dan mengelus rambutku. Bagian ini yang kusuka.

"Kita makan siang dulu, tidur siang, baru main. Kan, Mama sama Bunda bilangnya begitu. Yumna lupa?" Aku bersemangat dan mengangguk-angguk patuh. Bang Ardan berdiri dan menarikku agar ikut berdiri. Lalu kami keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu, tempat Mama dan Bunda berbincang. Bunda tampak sedih, air mata mengalir di pipinya, Mama menenangkan Bunda sembari menepuk-nepuk punggung wanita itu.

"Aku nggak tahu harus ngomong ke siapa, Mbak. Ngomong ke Ibu atau Bapak pun rasanya nggak tega menambah beban. Ayahnya Ardan selingkuh lagi, entah buat yang keberapa kali." Bunda tergugu kala itu, Mama tampak terkejut dan menutup mulutnya. Tangan Bang Ardan yang menggenggamku pun menguat

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang