(Repost) Khawatir

3.1K 169 13
                                        

Reminder : novel ini diperbarui, jadi kalian perlu membaca dari bab awal supaya nyambung, yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan ya.

___

Pipit masih pingsan ketika dokter memeriksanya, ia masuk ke IGD, aku menemaninya dan Sekar yang mengurus pendaftaran untuk rawat inap. Dokter bilang Pipit lemas karena dehidrasi dan tidak ada makanan yang masuk di tubuhnya, itu bahaya untuk ibu hamil, Pipit benar-benar hamil.

Tak lama kemudian dia mendapatkan ruangan di kelas satu. Kini kami berdua yang kebingungan, siapa yang akan menungguinya?

"Gue nggak suka lo ikut campur urusan orang lain. Gue ggak mau lo terlibat hal bahaya, Na. Udah gue ingetin kalau jangan terlibat sama Galih." Aku menunduk, melihat jari-jari tangan Pipit yang lemas. Aku tidak mengerti kenapa masih ingin membantunya, padahal kami tidak sedekat itu, bahkan ia membenciku.

"Ini Pipit, bukan Galih. Gimana aku bisa diem aja kalau bisa bantu?" jawabku lirih, Sekar terdiam, hanya terdengar embusan napas berat setelahnya.

"Gue udah peringatin lo, dia bukan orang normal. Lebih-lebih ke gila mungkin."

Aku menoleh menatapnya. "Kamu setahu itu tentang dia?"

Sekar terdiam, bibirnya menipis dan hanya menatapku lekat-lekat. "Telepon keluarganya."

Aku teringat hal paling penting yang seharusnya dilakukan begitu kami sedang mendaftar rawat inap tadi. Kucari ponsel Pipit di tasnya, setelah dapat kubuka kontak di ponselnya dan ternyata tidak ada banyak nomor di sana, hanya dua nomor. Mama dan Galih.

Tanpa berpikir lama, kupanggil nomor dengan nama kontak Mama. Pada dering ketiga panggilanku diangkat. "Kenapa lagi? Udah gue bilang kalau pacar gue lagi di rumah. Harus banget lo pulang hari ini?"

Lalu sambungan dimatikan begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku. Dadaku berkedut, benar bukan sih ini ibu kandung Pipit? Cara bicaranya berbeda untuk seorang ibu kepada anak dan terkesan tidak peduli sama sekali.

Sekar menatapku, aku hanya menggeleng dan dia mendesah panjang.

"Kenapa ibunya?"

"Nggak tahu. Dia udah matiin sebelum aku sempet ngomong. Dari nada bicaranya tadi, kupikir Pipit sama ibunya nggak deket." Sekar terdiam, aku juga, tidak tahu harus merespons bagaimana saat ini.

"Kamu pulang aja, Kar. Biar aku yang temenin dia sendiri," tawarku. Aku paham dia tidak begitu menyukai Pipit, kupikir dia tidak nyaman di sini karena itu.

"Lo belum makan, kan? Gue beliin makan dulu."

Sekar pergi meninggalkan aku berdua dengan Pipit, tak lama setelah ia pergi ponselku berbunyi. Bunda yang menelepon.

"Na, tadi abangmu ngabarin kalau ijab kabulnya diadain seminggu lagi. Biar resepsinya belakangan, Bunda udah kasih tahu Mama. Katanya kamu lagi nggak di rumah seminggu ini." Suara Bunda terdengar sangat senang di ujung sana, tetapi berbanding terbalik dengan jantungku. Tubuhku melemah, mataku berkaca-kaca, suara yang sudah sampai di tenggorokan tidak bisa keluar.

"Na?"

"Iya Bun, Yumna denger. Maaf ini lagi di rumah sakit, udah dulu ya, Bun."

Sumpah aku tidak bisa tidak menangis saat ini dan tidak mau Bunda mendengarnya. Seolah segala pengharapan sudah diputus jalannya, perasaan ini sudah tidak pantas ada di hati. Meski sesak sekalipun aku harus mampu melupakannya. Namun bagaimana? Bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang jelas-jelas akan selalu berkaitan dengan hidupku?

Bagaimana aku melupakan seseorang yang sudah kuhapal dengan betul segala hal tentang dirinya? Mengapa harus ada perasaan ini bila kami tidak berjodoh, ya Allah? Sakit sekali. Kupukul-pukul dadaku sendiri, sesak, sesaknya bertambah-tambah setiap menarik dan mengembuskan napas. Sakit. Seolah jalan oksigen hanya terputus ke hidungku sedangkan kehidupan tetap seindah biasanya.

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang