(Chapter tambahan) Pacar?

313 32 0
                                    

Reminder : Novel ini diperbarui ya, jadi kalian harus baca sejak bab awal supaya nyambung. Untuk versi terbaru yang ada tanda repost dan chapter tambahan, selebihnya masih versi lama.

---

Aku keluar dari kelas dengan hati riang, tak sabar untuk lekas pulang memberitahu Papa dan Mama perihal Yasmin yang akan main ke rumah. Tadi aku sudah berbicara kepada salah satu pengurus di sana dan mereka memperbolehkan, terlebih ketika aku berkata mengenal Teh Laila. Aku juga sudah meminta izin pada Teh Laila dan ia memperbolehkan kalau Yasmin berkenan. Ia sedikit terkejut ketika kubilang Yasmin mau.

Aku lupa belum memberitahu Sekar.

Kar, Yasmin nginep di rumah malam Minggu nanti. Kamu nginep juga dong.

"Yumna!" Aku refleks menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Arah pukul dua dari tempatku berada, Galih berlari mendekat dengan senyum mengembang maksimal. Aku tak menghiraukannya dan tetap berjalan cepat, buru-buru menuju parkiran.

"Na, kalau lo nggak mau dipegang harusnya berhenti."

Mendengar ancamannya aku berhenti dan berbalik. "Mau atau enggak saya ngobrol sama Kakak itu sama kayak mau atau enggak saya disentuh sama Kakak. Sama-sama hak saya dan Kakak nggak punya hak buat nentuin hal itu. Kita bukan temen dan cuma orang asing. Agaknya nggak etis kalau Kakak maksa-maksa, kan?"

Dia membulatkan matanya lalu tertawa terbahak-bahak. Saking kerasnya sampai beberapa orang menoleh ke arah kami. Aku miris sekali kepada lelaki di depanku ini, jangan-jangan bagian otaknya yang mengelola informasi rusak. Sehingga ia tidak bisa menangkap maksud dari kalimatku.

"Lucu juga lo."

Seriously? Dia bilang aku lucu? Lucu dari sebelah mana? Mungkin benar kata Sekar, Galih ini gila. Karena itulah Sekar tidak ingin aku dekat-dekat dengannya, terlalu bahaya. Dia tidak paham maksud orang lain dan hanya mengedepankan keinginannya. Terbukti dari beberapa kali pertemuan kami ketika aku terang-terangan menolak, tetapi dia tetap dengan senyuman mendekatiku.

Gila sekaligus menakutkan.

"Jilbab lo." Dia menunjuk jilbabku. "Apa lo nggak tahu dari awal kita ketemu, lo udah bikin gue penasaran setengah mati? Apalagi setelah lo mutusin pakek jilbab. Gue makin penasaran."

Tanpa sadar mulutku terbuka, jujur saja aku makin tidak paham mengapa dia begitu penasaran padaku.

"Lo memukau, Na." Pernyataannya barusan membuatku mundur dua langkah. Dia ikut maju dua langkah. Benar, dia semakin menakutkan. "Nggak usah takut, Na. Bukannya wajar cowok suka cewek? Apalagi ceweknya cantik kayak lo."

Jantungku berdebar-debar, jujur saja, tetapi aku berusaha menetralkan debarannya dan menormalkan mimik wajahku sebiasa mungkin. "Kalau Kakak suka sama saya, maaf, saya enggak tertarik. Jadi, bisa nggak berhenti mengganggu saya?" Suaraku sedikit meninggi dan membuat Galih menatapku tak percaya. Mungkin karena efek dari rasa takut, sehingga aku bertindak defensif dengan berteriak.

"Gue juga nggak ngerti kenapa suka sama lo." Dia terkekeh. "Biasanya cewek-cewek yang datengin gue lho. Apa lo nggak merasa tersanjung?"

"Enggak, makasih." Dia terkekeh lagi dan aku semakin merinding. Benar-benar gila, seratus persen gila. Aku berdoa agar ia cepat pergi.

"Gue boleh minta nomor lo nggak?"

"Kakak nggak paham ya? Saya bilang jangan ganggu saya, buat apa saya dengan senang hati ngasih nomor ke Kakak?" Aku kesal dan memutuskan untuk pergi, ia mengikutiku. Langkahnya mencoba menyamai langkahku dan aku kewalahan. Tentu saja, karena dia lebih tinggi dariku mudah saja baginya menyamakan langkah.

Aku berhenti dan mencoba sekali lagi. "Tolong jangan ganggu saya, Kak!"

"Gue ganggu lo?" Dia menaikkan alisnya. "Gue nggak ngapa-ngapain dan cuma jalan di samping lo, ganggu dari mana?"

Aku ingin berteriak saat ini.

"Lo nggak ngerti ya!" Aku terkejut karena teriakan itu. Tentu itu bukan suaraku. Aku menoleh ketika merasakan pinggangku ditarik, dipeluk lebih tepatnya. Bang Ardan di sampingku dan menatap Galih dengan tatapan menusuk.

"Dia bilang jangan ganggu dia, susah buat dimengerti?"

Galih terlihat geram, terbukti dengan tangannya yang mengepal dan rahangnya mengeras. "Siapa dia, Na? Pacar lo?" tanya Galih padaku alih-alih menjawab pertanyaan Bang Ardan. Aku tidak menjawab, Bang Ardan membawaku ke belakang tubuhnya.

"Lo orang yang kemarin di kafe, kan? Berani-beraninya lo gangguin Yumna?" Bang Ardan hendak maju, tetapi kutarik bajunya dengan kedua tangan. Jantungku berdebar hebat, kakiku lemas rasanya.

"Jangan, Bang!" Bang Ardan mundur dan memeluk tubuhku dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangannya yang bebas menunjuk-nunjuk Galih.

"Gue nggak akan segan-segan abisin lo kalau sampek berani macem-macem sama Yumna." Lalu ia menuntunku pergi dari sana. Membawaku berjalan ke parkiran dan masuk ke mobilnya. Di dalam mobil, Bang Ardan diam, tangannya mengepal di atas setir.

"Kenapa kamu nggak cerita sama Abang? Gimana kalau ada apa-apa?" katanya dengan nada tinggi, membuatku semakin menundukkan kepala.

"Ini yang bikin kamu pergi kemarin?"

Aku masih setia bungkam.

"Na, jawab Abang." Kali ini suaranya melembut, kuberanikan diri menatapnya. Benar saja, matanya tidak semenakutkan tadi. Tangannya terulur menyentuh tanganku dan mengusapnya. "Apa selama ini dia ganggu kamu?"

Aku menggeleng. "Aku baru ketemu beberapa kali sama dia, nggak ngerti juga kenapa dia nggak paham-paham. Padahal sejak awal aku udah bilang buat jangan ganggu aku."

Dia mendesah keras-keras, terdiam beberapa saat lalu berkata, "Ya udah, kita pulang sekarang?"

"Aku bawa motor, Bang."

Dia mendesah lagi, lalu mempersilakanku keluar. "Abang ikutin dari belakang. Hati-hati ya." Aku mengangguk-angguk dan keluar.

Benar saja selama perjalanan Bang Ardan setia di belakangku. Sudah tak terhitung berapa banyak Bang Ardan melakukan hal seperti ini. Menjagaku dari laki-laki lain, sejak aku anak-anak sampai sebesar ini. Dia sering bertengkar hanya karena ada laki-laki yang menggodaku, tak peduli walau itu temannya sendiri.

Beberapa temanku bahkan mengira kalau Bang Ardan pacarku. Sebab kata mereka, Bang Ardan memperlakukanku seperti kekasih pada umumnya. Tak tahu saja mereka, bahwa sejak aku masih tiga tahun, Bang Ardan sudah terbiasa menjaga dan mengikuti, itu hal yang biasa bagi Bang Ardan.

Karena baginya, aku yang sekarang dan dulu sama-sama anak kecil yang perlu dijaga.

***

Diperbarui tanggal 9 Desember 2021

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang