Reminder: novel ini diperbarui, jadi kalian perlu membaca dari awal supaya nyambung. Bab yang sudah diperbarui yang ada tanda repost atau chapter tambahannya ya.
___
Hari pemberangkatan tiba, Sekar semalam menginap di rumah. Lalu kami bersama-sama ke Yayasan Anak Bangsa diantar Papa dan Mama. Mereka berdua melepas kami dengan pelukan panjang. Papa berpesan agar terus memberi kabar.
Di yayasan ada dua bus, ada bus khusus ibu-ibu dan anak perempuan dan juga bapak-bapak beserta anak laki-laki. Sebelumnya aku sudah izin pada Ustaz Izam untuk mengajak Sekar. Ustaz Izam mengizinkan dan bilang kalau bus yang membawa kami ke Magelang kursinya masih tersisa lumayan banyak.
Karena itu aku dan Sekar tidak jadi membeli tiket bus sendiri. Sebab kalau memang tidak ada kursi yang tersisa tadi, aku inginnya naik bus dengan Sekar sendiri dan meminta alamat tujuannya saja.
Di dalam bus, kami diarahkan untuk membaca doa berkendara dan doa-doa lain, agar perjalanan ini diberikan kemudahan dan sampai tujuan dengan selamat serta diridai oleh Allah. Sekar yang belum terbiasa tentu merasa kikuk, apalagi dia adalah satu-satunya yang tidak mengenakan kerudung.
Namun, dia seharusnya mampu bernapas lega karena sedari tadi banyak sekali ibu-ibu yang memuji kecantikannya dan memberikan makanan padanya.
Kurasa, itu semua semata-mata untuk membuat Sekar merasa nyaman. Agar tak merasa berbeda dan dikucilkan. Ya kuakui dia memang cantik. Aku tersenyum melihatnya tersenyum dan berinteraksi dengan ibu-ibu. Aku sendiri duduk di samping seorang ibu muda. Karena memang anak-anak duduk di bagian depan, sedangkan ibu-ibu duduk di bagian belakang.
"Kakaknya masih muda sekali ya." Ibu muda di sampingku menyapa ramah. Aku paling suka bagian dagunya, menambah kesan cantik meski tanpa make up.
"Iya, Kak. Kakak juga masih muda."
"Namanya siapa? Aku Eva." Dia mengulurkan tangan, lalu kujabat tangan itu.
"Yumna, Kak."
"Berapa umurnya?" tanyanya.
"Sembilan belas, Kak." Dia terkejut, terlihat dari matanya yang membola.
"Wah, masyaallah. Masih muda sekali. Sebentar, Yumna ikut ke Magelang bukan nganter anak, kan, ya?" Aku terkekeh kecil dan menggeleng.
"Aku pikir kamu salah satu Kakak dari anak di sini. Kalau aku emang nganter anak, umurnya baru sembilan tahun. Aku sendiri sekarang udah tiga puluh tahun. Nikah usia sembilan belas tahun."
Aku menutup mulutku tak percaya. Maksudnya, bukan merendahkan. Sama sekali bukan. Perempuan di sampingku ini cantik sekali, penampilannya sederhana, tetapi mengesankan bahwa dia terpelajar. Bahkan di tangannya kulihat buku psikologi.
Bukan, bukan aku meremehkan yang menikah muda. Maksudku dengan segala hal yang dia punya. Dia mau menikah muda? Kan, aku jadi ingin tahu alasannya, penasaran. Mungkin tak apa menanyakannya?
"Anu, Kak Eva, maaf." Aku menggaruk tengkuk meski tak gatal.
Dia tersenyum dan mengangguk. "Tanya aja kalau ada yang mau ditanya." Aku meringis.
"Kenapa Kak Eva memutuskan buat menikah muda?" tanyaku pelan.
"Karena sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Maksudnya, ibuku, sejak usia dini sudah mengajarkan anak-anaknya untuk mengetahui fitrahnya. Bagaimana seorang perempuan seharusnya tumbuh. Bagaimana seorang anak laki-laki seharusnya tumbuh."
Aku terharu mendengarnya, satu hal kucatat di dalam kepala. Ini ilmu parenting juga, kan?
"Apa Kak Eva nggak takut nikah muda?"
Dia tampak berpikir. "Kalau takut sih, enggak ya." Dia terkekeh kecil. "Tapi semacam kayak pikiran, sanggupkah aku menjadi istri yang baik, menantu serta anggota keluarga baru yang baik, serta ibu dari anak-anakku kelak? Karena menikah, kan, bukan hanya untuk sehari dua hari, juga bukan tentang kebahagiaan bersama pasangan dengan segala keromantisan. Tapi jauh lebih kompleks dari itu."
Lagi-lagi aku mengangguk lalu seolah meraba-raba jauh ke dalam diri sendiri, sepertinya aku ini belum mempersiapkan apa pun untuk bekal pernikahan.
"Tapi usia sembilan belas menikah, apa Kak Eva nggak merasa terlalu cepat?"
"Yumna belum siap menikah?" Aku menggeleng ragu-ragu.
"Hmm. Pasti sudah ada yang disuka ya?" Aku menjawabnya dengan cengiran.
"Kalau menurutku sendiri. Nggak ada yang namanya cepat atau lambat. Tergantung Allah yang buat skenario bagaimana, dipertemukan saat masih muda berarti hidup kita beserta ujian-ujian yang akan terlalui ke depannya memang dirancang untuk berdua. Kalau sudah usia seperempat abad belum dipertemukan juga, berarti Allah mau kita berjuang dalam kesendirian. Keduanya sama-sama ujian."
"Apa Kak Eva nggak punya impian yang ingin dicapai dulu sebelum menikah?"
"Tentu ada." Dia mengangguk-angguk. "Tapi kalau segala tujuan bermuara pada Allah, semuanya akan terasa lebih mudah. Sebab menikah bukanlah halangan dan itulah kenapa kita perlu mencari yang sevisi dan misi, supaya bisa mengiringi jalan masing-masing. Karena kalau suami open minded, menikah itu bukan halangan."
Aku terdiam cukup lama. Sampai Kak Eva menepuk pundakku pelan. "Satu lagi Yumna. Memiliki anak seperti anak-anak yang ada di dalam bus ini adalah sebuah kebanggaan di hadapan Allah. Sebab apa? Kelak mereka akan menganugerahkan kita mahkota di surga. Lebih berharga dari segalanya, dan itulah puncaknya impian. Bukan cuma anak-anak, tetapi juga pasangan yang bisa saling menjaga dan bersama-sama menuju kebaikan. Selebihnya bakal sama aja. Sama seperti kehidupan sebelumnya, walau memang yang berubah cukup banyak."
"Tapi pasti nggak mudah kan, Kak? Mengurus anak dan jadi seorang istri?"
Dia mengangguk-angguk. "Tentu aja. Karena nggak mudah itulah kenapa dihargai surga oleh Allah. Tapi kalau dilalui dengan sabar dan ikhlas, maka menjalankannya berdua terasa ringan. Sebab yang berjuang adalah suami istri, bukan salah satu pihak saja."
Selama perjalanan itu, aku berbincang dengan Kak Eva. Kami sampai di Magelang pukul sembilan malam. Karena harus beberapa kali turun pada waktu-waktu salat. Sesampainya di Magelang, aku sungguh menikmati udaranya.
"Yumna." Kak Eva memanggilku sebelum turun.
"Ya, Kak?"
"Jangan lupa memperbaiki diri dan terus belajar juga, walau pandangan menikah itu belum ada. Menikah bukan main rumah tangga rumah tanggaan, butuh ilmu dan kesiapan mental. Kita nggak bisa memungkiri banyak yang menikah muda karena hasrat yang menggebu dan akhirnya bercerai. Mereka menikah dengan tujuan yang belum jelas, lupa kalau nikah bukan soal senang-senang aja."
Aku mengangguk-angguk. berterima kasih, karena selama perjalanan sudah diberi ilmu yang luar biasa.
Sesampainya di hotel, Ustaz Izam menghampiriku. "Yumna, temannya mau sekamar atau mau dipesenin kamar sendiri?"
"Kami pesan kamar sendiri aja, Ustaz. Nggak enak semua dibayarin begini."
"Nggak apa-apa. Kalau temannya mau sekamar sama Yumna, kan, bisa bertiga sekamar sama Yasmin." Ustaz Izam berkata sambil terkekeh di akhir kalimat.
"Kalau ada apa-apa bisa bilang ke saya, ya?" Aku mengangguk dan menerima kunci yang diberikan olehnya. Kemudian kucari Sekar dan Yasmin untuk ke kamar, membereskan barang bawaan, membersihkan diri, dan bersiap untuk tidur. Sebab besok jam sepuluh pagi lomba akan dimulai. Aku tak sabar melihat Yasmin berdiri di depan juri dan unjuk kebolehannya, banyak orang yang harus mendengarkan suara merdu Yasmin.
***
Diperbarui 31 Desember 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/186498069-288-k896480.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Perlu Bersabar (Completed)
Spiritualperjuangan adalah kisah Yumna, mencintai akhirnya membuatnya menemukan begitu banyak cinta yang tak diketahui dunia. Cinta yang barangkali tak masuk kategori cinta oleh manusia. Info : Cerita yang di-publish di wattpad tanpa melalui proses editing d...