Reminder : novel ini diperbarui, maka kalian perlu membaca dari awal supaya nyambung. Bab yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan ya.
___
Sudah beberapa hari sejak aku tidak masuk kuliah. Papa dan Mama tidak memaksaku untuk segera kuliah. Mereka bilang kalau aku mau mengambil cuti maka diperbolehkan. Namun, aku sudah tiga hari duduk di atas kasur tanpa melakukan apa pun, bahkan untuk sekadar membuka group whatsapp kelas saja tidak berani. Karena terakhir ketika membukanya ada gosip yang tak sedap. Tentang bagaimana kalau bukan Galih yang salah? Bagaimana kalau ternyata aku yang menggoda Galih?
Karena kata beberapa dari mereka, teman Galih menyebarkan desas-desus bahwa aku yang memang mau bertemu dengan Galih di kafe. Maka, orang-orang mulai membentuk jadi dua kubu. Yaitu kubu yang membelaku dan membela Galih. Namun, sayangnya mereka yang membela Galih seringkali tidak main-main mengumpat, bahkan beberapa ada yang sampai direct message ke akun Instagramku. Ini menakutkan sekali.
Padahal jelas Galih yang terbukti bersalah, karena itu dia ditahan polisi. Aku tidak mau tahu kelanjutan nasibnya, sungguh yang lebih penting adalah sembuhnya hatiku. Papa akan memastikan ia mendapat balasan setimpal dengan perbuatannya.
Namun, kalau kupikir-pikir ini tidak adil. Mengapa aku yang benar justru disalahkan? Mengapa aku terkesan salah dan kabur karena ketakutan? Apa yang harus kutakutkan?
Maka pagi ini aku sudah siap dengan setelan berangkat ke kampus seperti biasanya. Kutatap diriku di kaca sambil mengembuskan napas berkali-kali. "Aku nggak salah kok." Sudah sepuluh kali kalimat itu kuucapkan.
Aku turun ke bawah, Papa dan Mama sedang duduk di meja dan sarapan dengan hening. Keceriaan terenggut dari binar wajah mereka. Mama yang melihatku di ujung tangga sontak berdiri dan menghampiri.
"Yumna kamu mau ke mana, Nak?"
"Kuliah, Ma."
"Kamu yakin?" timpal Papa. Aku tersenyum pada Papa dan Mama.
"Telepon Sekar aja, Nak. Biar kamu ada temennya." Mama hendak mengambil ponsel, tetapi kucegah.
"Sekar ujian, Ma. Yumna nggak mau ganggu dia."
"Bener kata Yumna, Ma. Dia harus berani menunjukkan siapa yang salah dan benar. Dia nggak bisa diem di rumah terus. Papa dukung kamu, Sayang. Asal kamu jangan memaksakan diri ya?" Aku mengangguk pada Papa. Kami bertiga sarapan, Papa memulai perbincangan, tak membiarkan ketegangan melingkupi kami.
Lalu Papa mengantarku ke kampus. Sesampainya di sana, hampir semua mata menatap ke arahku. Kukuatkan hati dan kaki agar bisa berjalan melewati orang-orang yang mulai bisik-bisik. Beberapa ada yang menatapku penuh rasa simpati, sebagian menatap sinis.
Aku masuk ke kelas dengan mengabaikan pandangan orang-orang. Bahkan saat dosen masuk, semua orang masih sibuk kasak-kusuk, sampai dosen menurunkan kaca matanya dan menatap ke arahku dengan tatapan menelisik. Kepalanya menggeleng-geleng lalu membuang muka. Kenapa?
Mataku terasa panas. Nyatanya aku sungguh tidak setangguh itu. Hatiku berdebar-debar terus sedari tadi. Aku menguatkan hati dengan menatap buku, meski pikiranku entah ke mana. Berharap waktu segera berlalu dan aku bisa pulang.
Begitu dosen keluar, aku bergegas pergi. Beberapa orang sengaja menabrakkan tubuhnya pada tubuhku lalu memakiku. Beberapa orang tertawa mengejek saat aku dimaki. Aku berlalu, meninggalkan orang itu tanpa mau merespons sedikit pun.
Jujur aku tak ingin peduli, tetapi ini menyakitkan. Aku ingin pulang, tetapi kaki ingin istirahat karena lemas. Masjid menjadi pilihan singgah paling tepat, kuambil wudu lalu melaksanakan salat duha yang belum sempat kulakukan tadi. Ini baru jam sebelas dan aku masih punya waktu.
Tak bisa kutahan lagi, padahal tadi pagi aku berangkat dengan keyakinan. Namun, lihatlah kini aku bersimpuh tak berdaya. Aku merasa seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dadaku berdebar, takut-takut kalau respons negatif yang lagi-lagi kudapatkan.
"Yumna, ini gue." Begitu mendengar suara yang kukenal itu, aku menoleh, menemukan Pipit di sana sedang memaksakan senyumnya.
"Lo, nggak apa-apa?" Pipit bertanya, meski getar suaranya seperti ragu. Mungkin ia serba salah menanyakan itu saat tahu apa yang baru saja terjadi.
Aku memeluk tubuhnya. "Kamu ke mana aja, Pit? Aku chat kamu nggak bales." Dia meringis lalu kami berdua duduk berhadap-hadapan.
"Tadi Tante bilang lo ke kampus. Gue pikir lo ada di sini dan ternyata bener. Gue mau minta maaf, Na. Karena gue lo jadi-" Aku menyela ucapannya.
"Jangan bilang begitu, Pit." Aku menyentuh tangannya, dingin dan berkeringat. "Aku yang salah karena sok tahu. Aku yang salah, aku yang mau, kamu sama sekali nggak menempatkan aku di posisi itu. Jangan mikir begitu." Pipit menggeleng, lalu tangannya melepas genggamanku.
"Jangan menguatkan gue, Na. Lo di sini yang sedang terluka. Gue tahu gimana lo berusaha buat jalan di tengah tatapan yang nggak enak, sekampus. Lo jangan terlalu baik, lo juga perlu bahagiain diri lo sendiri."
Aku tidak mengerti akan apa yang Pipit katakan.
"Gue mau minta maaf sekaligus pamit."
"Pamit? Pamit gimana maksudnya? Kamu mau ke mana?"
"Gue mau ke kampung sama nyokap. Mulai kehidupan yang baru. Kami udah saling bicara, dan nyokap mau berusaha menyayangi gue seperti cara yang gue mau." Pipit tersenyum. "Makasih karena lo menahan tubuh gue yang jatuh ke jurang kegelapan. Gue nggak tahu kalau seandainya lo dan keluarga lo nggak baik ke gue, pasti gue udah nekat."
Aku sedih, tetapi turut bahagia untuknya. Kini Pipit sudah mendapatkan apa yang dia mau. Keinginan terbesar dalam hidupnya sejak dulu.
"Gue nggak berharap lagi dapet tanggung jawab dari Galih, Na. Lo tahu kenapa?" Aku diam mendengarkan. "Karena gue ini manusia yang juga berhak dimanusiakan. Meskipun kami sama-sama salah karena berzina, tapi saat gue mengandung anaknya dan dia mengusir gue mentah-mentah. Gue nggak akan merengek lagi, udah cukup kebodohan gue. Gue juga masih punya harga diri."
Aku melihat pancaran kelegaan di matanya. Seolah apa pun yang terjadi dia sudah tidak peduli. Karena selain sudah memiliki calon anak, dia juga mendapatkan mamanya. Dia sudah menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.
"Mama gue bilang, meskipun gue pernah salah. Tapi gue masih punya masa depan dan berhak bahagia. Yang nggak tahu diri justru kalau gue nggak bebenah buat hidup yang lebih baik."
"Sama kayak lo, Na. Lo bahkan nggak salah, jadi lo berhak bahagia." Pipit tersenyum padaku. "Makasih ya buat semuanya, maafin gue juga karena udah benci sama lo dulu. Semoga suatu hari kita ketemu saat hidup kita berdua udah saling baik-baik aja. Kuat-kuat buat lo, lo orang baik kok. Kabar gue yang hamil di luar nikah dan tersebar di kampus aja langsung ilang nggak ada bekasnya. Apa lagi lo yang baik dan cuma korban. Gue harus buru-buru pulang, sore ini berangkatnya."
Aku mengangguk. Lalu kami berjalan sama-sama ke depan kampus. Kini perasaanku lebih lega, tak kuhiraukan sama sekali pandangan orang. Aku sibuk berbincang dan menikmati waktu berdua terakhir dengan Pipit, yang mungkin akan perlu waktu lama untuk bertemu lagi.
***
Diperbarui 31 Desember 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Perlu Bersabar (Completed)
Spiritualperjuangan adalah kisah Yumna, mencintai akhirnya membuatnya menemukan begitu banyak cinta yang tak diketahui dunia. Cinta yang barangkali tak masuk kategori cinta oleh manusia. Info : Cerita yang di-publish di wattpad tanpa melalui proses editing d...