(Repost) Dampak

3.2K 173 12
                                    

Reminder: novel ini diperbarui, jadi kalian perlu baca dari bab awal supaya nyambung, bab yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan ya.

___

Aku terbangun di kamar dengan kepala berdenyut nyeri, mataku berat sekali dibuka dan ketika kusentuh ternyata bengkak. Aku melihat jam di dinding dan sudah pukul tujuh malam. Saat kaki turun dari kasur dan menemukan pantulan wajah di kaca meja rias, jantung bagai dihantam dengan kenyataan yang sulit diterima dan tidak pernah kuinginkan akan terjadi di dalam hidup.

Di sana, di beberapa sudut bibirku penuh dengan luka, juga leher dan dada bagian atas. Di sana ada bekas merah, bahkan ada luka gigitan juga. Perlahan, air mata turun ke pipi. Gemuruh marah dan kecewa bersatu-padu mengubur kewarasan. Padahal tadi aku ingin salat dulu, tetapi kaki ini sungguh tak sanggup menopang tubuh.

Aku hampir menjadi sampah yang tak berharga. Kehormatanku hampir saja direnggut secara paksa oleh seseorang yang kusebut bajingan karena telah menghamili temanku tapi tak mau bertanggung jawab. Ya Allah, air mata ini sungguh lagi tak bisa kubendung. Sesak rasanya, kuremas kuat-kuat bajuku berharap sakitnya reda.

"Yumna." Bang Ardan masuk ke kamar dengan raut khawatir. Wajahnya, wajah lelaki yang kucintai itu tak lebih baik dariku. Kacau. Dia memelukku. Aku tergugu di pelukannya. Ia mengusap rambutku, sungguh sesaknya menyiksa sekali.

"Yumna tenang, Sayang. Abang di sini, Mama sama Bunda juga ada di luar. Kami nggak ninggalin kamu sendirian." Aku semakin menangis dengan keras. Terlebih mengingat betapa aku sudah melukai perasaan Papa dan Mama. Bagaimana perasaan mereka saat aku sendiri tak bisa menerima semua ini?

"Abang, aku kotor." Aku berkata terbata-bata. Bang Ardan semakin mengeratkan pelukan kami.

"Yumna harus gimana setelah ini?" Aku bertanya di sela-sela tangisan yang tak mau berhenti juga.

"Tenang, Sayang. Yumna nggak kotor, Papa lagi berusaha buat bajingan itu masuk penjara."

"Bang." Aku seperti tak punya perbendaharaan kata. Kurasakan sesak yang terus menggumpal dan tak kunjung reda meski sudah menangis. Lama Bang Ardan membiarkanku dalam pelukannya.

"Yumna dengerin Abang. Kamu nggak kotor, kamu inget baik-baik, yang seharusnya merasa kotor ya bajingan itu. Yumna jangan mikir begitu, maafin Abang karena nggak becus jagain kamu." Ia menggenggam jariku. Matanya menatap lurus mataku, ada sendu dan penyesalan di sana.

Aku lalu tersadar sesuatu, kalau Bang Ardan tidak seharusnya berada di sini. Terlebih saat aku tak mengenakan kerudung. Aku menarik tanganku dari genggamannya. "Maaf, Bang, seharusnya Abang nggak di sini. Apa lagi saat Yumna nggak pakek kerudung."

Bang Ardan mengangguk. "Maaf, Abang nggak bisa nahan diri denger kamu nangis." Dia menuju lemariku, lalu mengambil kerudung dengan asal dan memakaikannya ke kepalaku. "Maafin Abang sekali lagi."

Aku merasa tidak enak sudah berbicara begitu, padahal Bang Ardan khawatir padaku. "Bang Ardan boleh pergi. Makasih. Tapi Abang nggak sebaiknya ada di kamar Yumna."

Ia mematung di tempatnya dan menatapku lamat-lamat. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. "Kenapa?" tanyanya mengusik perasaanku. "Karena kamu mencintai Abang? Kamu merasa nggak nyaman dengan Abang?" Suaranya lebih meninggi. Dia tahu perasaanku ternyata. Namun, sejak kapan? Sebegitu terlihat ya perasaanku?

"Kamu nggak tahu seberapa khawatirnya Abang? Papa belum pulang sampai jam segini. Sedangkan Mama dan Bunda juga butuh dikuatkan, mereka juga terpukul. Abang nungguin kamu di depan kamarmu supaya apa? Supaya bisa nenangin kamu kalau kamu bangun. Kamu bener-bener akan begini, Na? Kamu bener-bener nyuruh Abang pergi?"

Disulut seperti itu amarahku ikut memuncak, terlebih perasaanku masih kacau. Aku mendekat ke arahnya sampai jarak kami menipis. Kutatap matanya lamat-lamat sedangkan ia tak bergerak seinci pun. "Abang bisa melihat Yumna sebagai perempuan? Enggak, kan? Sama! Yumna juga nggak bisa melihat Abang kayak dulu, tolong ngertiin," lirihku di akhir kalimat. Aku membuang wajah dan membelakanginya.

Kurasakan perlahan-lahan, sebuah tangan mengusap lengan kananku. "Abang bisa meluk Yumna lagi kalau kita menikah, kan?" Tubuhku menegang mendengar kata terakhir pada kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Aku hendak membalikkan badan, tetapi kedua tangan Bang Ardan menahanku. "Setelah Abang pikir, Abang nggak sanggup ngelihat Yumna terpuruk dari jauh. Abang nggak bisa nggak meluk dan nenangin Yumna. Keinginan terbesar Abang adalah membahagiakan Bunda, Papa, dan Mama, lalu kamu. Mana sanggup Abang jauh dari kamu Yumna?"

Kurasakan tangan itu gemetar. "Abang nggak sanggup Yumna. Hati Abang hancur lihat kamu tadi. Sakit banget. Abang nggak becus jagain kamu dan sekarang kamu minta Abang jauh-jauh dari kamu padahal kamu lagi butuh ditenangin?"

Air mataku ikut turun tanpa bisa dicegah. Kami saling terdiam, menikmati persasaan yang luar biasa kacau ini.

"Abang sayang sama kamu Yumna." Aku menggeleng kuat-kuat.

"Jangan, Bang. Jangan kayak gini. Abang nggak boleh gila, Teh Laila udah nerima lamaran Bang Ardan. Lebih lagi dia temenku, orang yang kuhormati dan segani."

"Terus Abang harus gimana?" Suaranya meninggi, penuh rasa frustrasi. "Abang harus gimana Yumna?"

"Kamu pikir kita bisa baik-baik aja? Kamu bisa baik-baik aja lihat Abang nikah sama temen kamu sendiri?" Bang Ardan memelukku dari belakang, aku meronta, tetapi tak mampu menandingi kuat lengannya.

"Biarin Yumna sendiri, Bang. Kita nggak boleh begini." Ia melepas pelukan kami, lalu ke luar dari kamar. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin menahan tubuh itu untuk tetap berada di sisiku. Sisi egois yang kumiliki ingin mengiyakan agar Bang Ardan menjadikanku mahramnya. Namun, akal sehat melarang, lebih tega menyakiti hati sendiri daripada melihat raut kecewa di wajah Teh Laila akan sifat egois yang kumiliki.

Semuanya menjadi semakin rumit karena aku ingin Bang Ardan tetap di sini, meski kenyataannya hanya karena mengasihani. Namun, akal sehat lagi-lagi menolak bahwa aku tak butuh kebersamaan karena rasa kasihan, yang kubutuh adalah cinta. Bang Ardan tak mencintaiku seperti mencintai seorang perempuan.

Kubenamkan diriku di balik selimut, tapi suara Mama kemudian membuatku bangkit. Kupeluk erat wanita yang telah melahirkanku itu. Wajahnya juga sembap, aku meminta maaf padanya berkali-kali.

"Kamu nggak salah, Sayang. Mama luar biasa lega kamu selamat." Suaranya bergetar. Kuambil tangan wanita yang kusayangi itu, menciumnya takzim.

"Mama nggak boleh nangis." Ia mengangguk dan mengusap kepalaku pelan.

"Pipit dijemput ibunya tadi setelah kamu pulang. Maaf kami nggak bisa rahasiain dari dia tentang kenapa kamu bisa begini, Na. Dia tadinya mau minta maaf, tapi kamu belum juga bangun."

"Pipit pulang?" ulangku lirih, Mama mengangguk.

"Tapi Pipit nggak salah, Ma." Kenapa semuanya jadi begini? Pipit pasti merasa bersalah dan berpikir aku begini karenanya. Padahal itu murni karena kesalahanku, kebodohan, dan kecerobohanku.

***

Diperbarui 23 Desember 2021

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang