(Chapter Tambahan) Menginap

3.3K 161 3
                                    

Reminder : Novel ini diperbarui ya, jadi kalian perlu membaca dari bab awal lagi supaya nyambung. Bab yang sudah diperbarui akan ada tanda repost atau chapter tambahan.

--

"Assalamualaikum."

Semua orang yang ada di dalam rumah menoleh, termasuk Bang Ardan dan Bunda. Aku dan Sekar menjemput Yasmin. Di sinilah ia berada sekarang, di tengah tatapan lembut keluargaku. Yasmin masih canggung dan takut, terbukti sejak tadi ia dekat-dekat denganku.

"Yasmin nggak usah takut, mereka semua keluarga Kak Yumna." Dia menatapku beberapa detik tanpa kedip, lalu mengangguk. "Waktu Kak Yumna cerita soal Yasmin yang bikin Kakak sadar kalau selama ini udah buang-buang waktu, mereka seneng banget. Kagum sama Yasmin juga, pengen kenalan sama Yasmin." Dia semakin menunduk malu, semua orang tertawa pelan.

"Yasmin berapa usianya?" Papa bertanya.

"Dua belas," jawab Yasmin lirih.

"Kemarin aku denger Yasmin baca al-qur'an, bagus banget, Pa," kataku memuji. Aku tidak ingin mengagumi karunia Allah ini sendirian, seorang anak perempuan yang salihah dan luar biasa lembut hatinya. Terbukti meski ia sudah dinodai manusia yang ada di bumi, hatinya bisa menangkap hal-hal indah seperti kisah Nabi Musa yang ia ceritakan padaku.

"Tante mau diajarin sama Yasmin," celetuk Mama. Yasmin mendongak dan menatap Mama dengan penuh pertanyaan. Mungkin Yasmin pikir, orang yang lebih tua usianya daripada ia berarti lebih fasih membaca al-qur'an. Sayangnya tidak begitu, termasuk aku. Entah kapan terakhir kali aku membuka al-qur'an. Mungkin sewaktu doa bersama menjelang ujian di kelas dua belas.

"Yasmin mau ajarin Tante?" tanya Mama lagi ketika Yasmin tak kunjung menjawab. Anak perempuan itu menatapku dan kubalas senyuman. Kemudian ia menatap Mama dan mengangguk-angguk.

"Jadi bener Yasmin mau jadi gurunya Tante?"

Dia mengangguk-angguk lagi.

"Kalau gitu biar Kak Yumna yang jemput Yasmin setiap waktunya belajar ya? Berapa kali seminggu bisanya Yasmin?"

Anak perempuan itu tampak berpikir. "Tiga kali?"

Mama menepuk tangan sekali. "Setuju, deal. Mulai hari ini Yasmin jadi guru ngajinya Tante. Kak Yumna jadi tukang ojeknya." Semua orang terkekeh, meski sekilas, aku bisa melihat senyum samar Yasmin yang tertahan. Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan kebahagiaan saat ini. Aku ingin dia merasakan bahagia lebih banyak.

Usai salat isya, kami bertiga naik ke atas, membersihkan diri dengan cuci muka dan sikat gigi. Yasmin meminta izin untuk tilawah setelah membersihkan wajah dan wudu. Aku serta Sekar mendengarkan dengan saksama. Menikmati lantunan yang kadang-kadang naik untuk kemudian normal kembali. Aku dan mungkin juga Sekar, saling menunduk dan meraba hati masing-masing. Mengapa kami tidak berpikir untuk memperbanyak amal dan merasa tenang saja hidup setiap hari?

Setelah Yasmin selesai dan menaruh al-qur'annya di meja bundar dekat rak buku, aku menepuk-nepuk sisi kasur yang masih kosong. "Sini Yasmin, kita tiduran sambil ngobrol kalau Yasmin belum ngantuk. Yasmin udah ngantuk belum?" Dia menggeleng-geleng lalu naik ke atas kasur dan merebahkan dirinya.

"Kak Yumna mau tanya." Dia menoleh kepadaku yang ada di kirinya. "Kalau Yasmin sendiri nggak tahu artinya atau nggak tahu makna dari arti ayat-ayat yang Yasmin baca. Gimana kamu tetep menikmati baca al-qur'an setiap hari? Maksudnya, kan, beda baca al-qur'an sama baca buku atau novel, kita menikmati pasti karena kita paham dan terbawa alurnya. Kalau nggak paham, seperti baca buku berbahasa asing, pasti rasanya hambar dan nggak betah lama-lama karena ya buat apa? Nggak ngerti juga."

Yasmin tampak diam beberapa saat.

"Mungkin pertanyaan lo susah dimengerti, Na?" kata Sekar. Aku menggeleng ragu, pasti Yasmin paham. Pasti. Kutunggu, satu ... dua ... tiga ...

"Kalau menurutku, seperti yang dibilang guru mengaji di yayasan. Membaca al-qur'an itu seperti berdialog sama Allah. Satu-satunya kalimat atau pesan dari Allah langsung yang bisa kita lihat ya al-qur'an. Jadi pas baca, rasanya seolah-olah diperhatiin sama Allah, itu yang bikin aku betah."

"Bener juga," kata Sekar. Aku mengangguk-angguk menyetujuinya.

"Tapi, harus berusaha memahami artinya. Baca buku-buku islami karya Salim A. Fillah, misalnya. Supaya kita bisa tahu apa aja makna-makna di dalam al-qur'an, biar makin bergetar-getar hatinya. Itu kata Teh Laila." Yasmin menyentuh dadanya.

"Yasmin baca buku itu?" Buku-buku karya Salim A. Fillah biasanya tebal. Aku belum pernah membacanya meski beberapa kali melihat buku itu di toko-toko buku. Namun, ternyata anak sekecil Yasmin sudah membacanya.

"Berlapis-lapis keberkahan dan dalam dekapan ukhuwah. Aku udah baca itu."

"Yasmin suka baca buku?" Dia mengangguk-angguk.

"Kalau ada buku yang Yasmin suka, ambil aja. Itu koleksi buku Kak Yumna udah dibaca semua kok." Anak itu melihat rak yang kutunjukkan, matanya terlihat berbinar-binar walau tidak mengatakan apa-apa. Kami bertiga menghabiskan waktu dengan berbincang di atas kasur lalu pukul sepuluh Yasmin tiba-tiba tertidur.

Aku dan Sekar saling menatap atap kamar, terdengar napas kami yang beraturan, tetapi aku tahu bahwa pikiran kami masing-masing sedang merajut benang yang carut-marut. Tertampar oleh kalimat demi kalimat yang keluar dari seorang gadis berusia dua belas tahun. Apalagi, ini Yasmin. Seseorang yang kami berdua tahu bagaimana kesakitannya sebelum ini.

"Lo mikirin apa yang gue pikirin, Na?" Sejak berpuluh-puluh menit yang lalu, ini adalah suara pertama selain detak jam yang berganti detik, atau suara-suara napas kami. Aku menjawabnya dengan mengangguk-angguk.

"Gue tiba-tiba ngerasa jadi orang yang meaningless banget tahu nggak? Ngapain aja gue selama belasan tahun ini. Gue nggak tanggung jawab sama hidup yang udah diberikan ke gue dengan gratis ini. Gue nggak tahu diri kalau pada akhirnya gue bakal kembali. Gue yang masih tergolong baik-baik aja hidupnya ini, kenapa bloon banget deh selama ini?

Aku jadi tiba-tiba tertarik dengan topik hidupnya Sekar. Pasalnya pada pertemanan kami yang sudah berjalan empat tahun ini, dia belum pernah bercerita apa pun perihal kehidupannya. Meski aku sering kali merasa ada yang mengganjal dan tidak baik-baik saja, dia selalu enggan membuka diri.

Aku menoleh dan menatapnya dari samping. "Kar, kamu sadar nggak sih nggak pernah cerita apa pun sama aku selama empat tahun ini?" Sekar menoleh dan saat ini kami saling bertatapan.

"Lo udah pernah tanya hal ini dan kita udah selesai bahasnya. Kenapa dibahas lagi?"

"Tapi tetep aja, aku mau tahu tentang kamu, Kar. Aku ngerasa selama ini banyak banget curhat ke kamu sedangkan kamu enggak. Aku merasa nggak berguna jadi sahabat."

Sekar mengulurkan tangannya dan menjitak dahiku. Aku mengaduh pelan takut Yasmin terganggu. "Apaan sih!"

"Lo tu yang apaan!" Dia menahan suaranya, tetapi terdengar jelas sekali bahwa dia kesal. "Adanya lo di samping gue aja udah sesuatu yang jauh lebih berharga, karena gue jadi merasa masih menjadi manusia yang seenggaknya berarti buat manusia lain. Gue yang lo lihat ini adalah gue yang sebenarnya, Na. Walau mungkin ada hal yang nggak bisa gue ceritain."

Ini adalah kalimat langka yang jarang sekali diucapkan oleh Sekar, hal manis-manis begini biasanya dia enggan mengucapkannya. Hal yang mampu membuatku menangkap maksud tulus dari ucapannya. Aku mengangguk-angguk sekali lagi.

"Selama apa pun aku bakal nunggu. Kalau kamu butuh buat cerita aku selalu ada, Kar."

Dia mendengkus dan berbalik memunggungiku lalu berkata lirih, "Gue tahu."

**

Diperbarui 11 Desember 2021

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang