Reminder : novel ini diperbarui, jadi kalian perlu membaca dari awal supaya nyambung, yang sudah diperbarui ada tanda repost atau chapter tambahan ya.
__
Setelah pengakuan kemarin, Bang Ardan terus menelepon dan mengirim pesan, dia bertanya apakah benar lelaki yang kumaksud adalah dia. Dia masih saja tidak percaya apa yang ia tangkap dan tafsirkan. Aku sungguh ingin menjawab iya, tetapi tidak berani. Aku masih segitu takutnya mengakui perasaan sendiri. Lagi pula, untuk apa diakui kalau tidak mengubah apa pun?
Pagi tadi aku tahu dari Mama bahwa Bunda dan Bang Ardan sedang ke rumah Teh Laila untuk membahas resepsi pernikahan keduanya. Tentu Bunda harus ikut karena Teh Laila mensyaratkan demikian. Mama bahkan salut pada Teh Laila yang masih memberi syarat Bang Ardan untuk menghubungi Alfin terkait pernikahan keduanya dan bukan langsung kepada Teh Laila. Katanya demi menjaga niat tetap baik sampai hari yang ditentukan dan juga bisa peka kepada jawaban Allah terhadap niat baik mereka tanpa dikotori perasaan-perasaan apa pun.
Kan? Tidak ada yang berubah meski kuberitahu perasaan ini kepadanya.
Aku berangkat kuliah dengan lesu. Seandainya sakit hati adalah jenis sakit yang bisa menjadi alasan untuk meminta izin tidak masuk, maka aku pasti senang. Sayangnya dosen tidak peduli perkara hati dan lulus adalah tanggung jawab diri sendiri. Maka mau tidak mau aku tetap berangkat.
Kar, mal yuk?
Lo bawa motor? Gw nggak bawa, mogok tadi.
Aku menjemput Sekar ke fakultasnya meski ia masih selesai beberapa puluh menit lagi. Hal yang kusesali dengan sangat, karena aku melupakan fakta bahwa di fakultas ekonomi ini ada seseorang yang kuhindari mati-matian.
Galih.
Dengan senyumnya yang menyebalkan ia mendekat begitu melihatku. Padahal, ia sudah diperingati oleh Bang Ardan bahwa jangan mendekatiku lagi. Kupikir, selama tidak menunjukkan batang hidungnya itu, ia memang sudah tidak berniat mendekat lagi. Ini salahku sendiri karena masuk ke kandang macan.
"Yumna," panggilnya begitu sudah duduk di sampingku. "Sendirian?"
Aku menggeser duduk sampai berjarak empat jengkal dengannya. Kantin tidak terlalu penuh, mudah saja bagi dia sebetulnya mendapatkan tempat duduk. Seperti tempatnya duduk semula dengan teman-teman beserta perempuan-perempuan yang mengerubunginya.
"Yang waktu itu bukan cowok lo, kan?" Sudut bibir kanannya terangkat naik. "Lo nggak perlu tahu gue tahu dari mana, temen gue banyak, informan gue banyak. Gampang aja buat gue tahu hal-hal remeh begitu."
Aku menoleh dan menatapnya tanpa minat. "Terus?"
"Artinya lo single dan dia bukan penghalang buat gue deketin lo. Ah, walau lo punya pacar juga gue nggak peduli sih."
Dia memangkas jarak yang tadi kuciptakan, membuat mataku melotot sampai hampir keluar. "Na, gue serius jatuh cinta sama lo sejak pandangan pertama. Enggak bisakah lo percaya dan kasih kesempatan buat gue?"
"Kak, kalau Kakak segitu kayanya sampek punya informan di mana-mana. Apa dia nggak kasih tahu Kakak, kalau bukan masalah saya single atau enggak, tapi sayanya emang nggak bisa bales perasaan Kakak?"
Dia menggeleng. "Lo nggak tahu pepatah yang mengatakan kita harus berjuang buat dapetin apa yang kita mau? Gue lagi perjuangin lo, gue usaha buat dapetin lo. Cinta butuh dibiasain, kan?"
Aduh, sumpah aku benar-benar tidak tahu cara bicara dengan laki-laki ini sejak pertama kali. Setiap kujelaskan dengan gamblang, dia seolah punya tameng yang memfilter kata-kataku dan menyampaikan ke sensor otaknya hanya sesuai yang dia mau. Kalimat yang kuucapkan mental berceceran di lantai, seolah percuma juga aku bicara.
Aku berdiri, dia ikut berdiri dan hampir menyentuh lenganku lagi. "Stop, jangan pegang-pegang saya atau saya bakal teriak di sini."
Dia mengangkat tangannya ke udara."Oke, gue minta maaf. Tapi tolong percaya sama gue kalau gue jatuh cinta sama lo. Tolong kasih gue kesempatan."
"Itu hidup Yumna dan lo nggak bisa maksa masuk kalau dia nggak mau. Bisa ngerti nggak sih lo, Lih?" Aku mendekat ke arah Sekar, tepat ketika melihatnya datang dan berteriak agak keras sampai semua orang menoleh ke arah kami.
"Lo nggak capek ya ngejar-ngejar cewek terus?" tanya Sekar lagi.
"Bukan urusan lo!"
"Jelas urusan gue, dia temen gue."
Aku benar-benar tidak sanggup berada di situasi ini, ketika banyak pasang mata menonton kami dan beberapa ada yang bisik-bisik. Sampai terdengar bunyi tamparan dan aku sangat terkejut menemukan Pipit sudah di sana dengan wajah penuh amarah. Galih menyentuh pipinya yang ditampar tiba-tiba dengan mata menyala dan balas menampar Pipit. Tepat di depan mataku dan membuat sekujur tubuhku ngilu.
"Berani-beraninya lo tampar gue?" geram Galih.
"Lo yang berani-beraninya deketin cewek lain di saat gue udah kasih semua yang lo mau! Lo anggep gue apa, Kak? Pemuas nafsu lo?"
"Lo yang mau ngasih, kenapa sekarang lo nyalahin gue?" Dengan tidak merasa bersalahnya Galih berkata begitu. Mulut Pipit terbuka dan tertutup tanpa ada suara yang keluar. Ia lantas mendengkus, dan ketika matanya menatapku dia berdecih.
"Gue hamil, Kak." Pengakuan itu meluncur dari bibir Pipit, membuat semua orang makin ramai berbisik-bisik. Membuat Galih mendekat dan menarik tangan Pipit untuk pergi dari sana, sekaligus Sekar yang mengajakku pergi.
"Nggak ada yang penting, ayo ke mal."
Namun, suara Galih masih terdengar jelas ketika aku dan Sekar berusaha membelah kerumunan.
"Bisa jadi itu bukan anak gue, kan?"
Pada saat Galih berkata seperti itu, aku melepas pegangan tangan Sekar pada tanganku dan berbalik, menemukan wajah Pipit sudah penuh dengan air mata. Dia berusaha mendorong dan memukul-mukul tubuh Galih yang juga membalas mendorong tubuh Pipit.
"Ayo pergi, Pit." Aku meraih tangannya dan hendak membawanya pergi dari kerumunan orang-orang, yang sebagian justru menghujatnya dengan lancang, dia menepis tanganku.
"Nggak usah sok peduli sama gue!" Dia berkata sinis dan mendorongku, dari dekat wajahnya terlihat amat pucat dan lebih kurus daripada terakhir kali kulihat. Sekar mendekat dan protes padaku yang ikut campur masalah Galih dan Pipit. Dia mendebatku yang ingin membantu Pipit, sampai akhirnya terdengar suara pekikan. Mataku menatap sekeliling dan terkejut ketika melihat Pipit pingsan tanpa ada satu orang pun yang mau menolong. Apalagi Galih. Brengsek. Aku ingin menghadiahinya tendangan, tetapi yang lebih penting sekarang adalah Pipit.
"Tolong siapa yang bawa mobil bantu kami!" Tak ada seorang pun yang mendekat termasuk Galih.
"Ibu dari anak lo lagi pingsan di depan muka lo. Lo punya mobil, tapi lo nggak inisiatif buat bantuin dia?" Sekar membentak Galih.
"Dia bukan anak gue!" Galih kekeh mengelak. Sekar menampar Galih keras-keras, sampai suara tamparannya membuat hatiku senang.
"Brengsek lo!"
"Kalian beneran nggak ada yang mau nolong? Ini nyawa orang!" Teriakku membabi buta. Sampai ada seorang laki-laki mendekat dan membantuku membopong Pipit ke mobilnya. Ia mengantarkan kami ke rumah sakit terdekat.
***
Diperbarui 16 Desember 2021
![](https://img.wattpad.com/cover/186498069-288-k896480.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Perlu Bersabar (Completed)
Духовныеperjuangan adalah kisah Yumna, mencintai akhirnya membuatnya menemukan begitu banyak cinta yang tak diketahui dunia. Cinta yang barangkali tak masuk kategori cinta oleh manusia. Info : Cerita yang di-publish di wattpad tanpa melalui proses editing d...