(Chapter Tambahan) Keinginan yang menguat

3.8K 178 5
                                    

Reminder : novel ini di-update versi terbaru, sehingga kalian tentu perlu membaca sejak chapter awal untuk lebih nyambung. Chapter yang ada tanda repost dan chapter tambahan merupakan versi terbaru.

--

           Ketika sampai di rumah, niatku adalah memberitahu Papa dan Mama perihal keinginan untuk berjilbab. Karena kupikir, tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda. Aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang iseng kutanyakan pada Dio dan Irvan dan juga jawaban dari Teh Laila. Kusentuh dadaku yang terasa geli, rasanya entah mengapa semenyenangkan ini.

Begitu masuk ke dalam rumah, ternyata sedang ada Bunda dan Bang Ardan. Mereka serempak menoleh ketika melihatku masuk. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum. Kucium tangan Papa dan pipinya, begitu juga Mama dan Bunda. Bang Ardan merengut ketika aku melewatkan jatahnya.

"No! Bang Ardan nggak akan dapet ciuman di pipi. Enak aja, aku udah gede sekarang. Bukan lagi Yumna yang dulu."

Papa, Mama, dan Bunda terkekeh.

"Gaya banget, Na. Dulu aja tidur siang nyamperin Abang dulu buat tidur bareng. Orang Abang juga pernah lihat Yumna pipis," kata Bang Ardan tanpa sensor, membuat pipiku panas tiba-tiba. Kupukul lengannya sampai ia mengaduh.

"Ember banget mulutnya, Bang!" Ia terkekeh begitu kupelototi. Lalu mengacak rambutku gemas.

"Na, abangmu ke sini karena mau ngundang kita ke launching kafenya di Kebayoran. Minggu depan, kamu jangan ke mana-mana. Sekarang kamu, kan, sibuk banget ke sana-sini. Papa sih seneng-seneng aja, Na, lihat kamu mulai aware sama kegiatan sosial."

Aku mendadak semringah mendengar kabar kafe Bang Ardan. Impian lelaki itu sejak dahulu adalah membuka kafe atau restoran sendiri karena suka sekali dengan makan dan masak. Mataku berkaca-kaca sekarang dan itu menyebalkan sekali.

"Apaan sih, Na. Udah nangis aja, belum juga launching." Kendati berkata begitu, Bang Ardan mendekati dan memeluk tubuhku dari samping. "Katanya udah bukan Yumna yang dulu," ledek Bang Ardan disambut tawa semua orang. Aku ingin marah, tetapi justru tertawa.

"Emang Yumna akhir-akhir ini ke mana?" tanya Bang Ardan kemudian.

"Ke Yayasan Anak Bangsa, di Depok. Berbentuk rumah gitu gedungnya, cuma lumayan luas. Tempat anak-anak jalanan yang masih punya orang tua sampek yang udah nggak punya. Kebetulan di sana ada satu anak yang bikin aku penasaran banget, terus juga di sana aku jadi sadar satu hal. Kalau hidupku selama ini sempurna, kenapa aku justru nggak punya resolusi buat ngapa-ngapain di hidup yang cuma sekali ini."

Aku tidak sadar kalau Papa, Mama, Bunda, dan Bang Ardan tersenyum mendengarku bercerita begitu. Mereka diam dan menyimak. Lalu ketika aku selesai berbicara, Papa mengangguk dan menepuk tangannya sekali.

"Rasanya anak Papa cantiknya jadi nambah sepuluh kali lipat."

Aku mencebik. "Enak aja."

"Loh, sepuluh kali lipat ini. Kamu nggak mau?" tanya Papa.

"Enggak mau. Harus jadi yang tercantik di hati Papa, ngalahin Mama juga."

Papa melirik Mama. "Kalau itu Papa nggak berani, nanti diamuk Mamamu."

Lalu semua orang tertawa lagi. Entah mengapa di titik ini, hidupku terasa sempurna sekali. Seandainya bisa benar-benar sesempurna pada detik ini, bukankah menyenangkan? Bang Ardan yang sudah menggapai mimpi masa kecilnya. Papa dan Mama yang sehat. Aku yang mulai mengerti ke mana langkah kaki ini harus pergi, yaitu menjadi sebaik-baik manusia untuk manusia lainnya. Lalu Bunda yang sudah sembuh dari masa lalu dan sehat tanpa murung seperti dulu lagi.

"Pa, Ma, Bun." Ini adalah waktu yang tepat untuk menambah rasa bahagia itu bukan? Mereka semua menoleh dan menatap serius begitu melihatku salah tingkah.

"Aku mau pakek jilbab," kataku perlahan-lahan, kuedarkan pandangan untuk melihat reaksi mereka. Hampir lima detik mereka berempat terdiam, lalu kemudian senyum dan syukur bertubi-tubi terucap dari bibir mereka.

Bunda yang ada di sebelahku langsung memeluk tubuhku erat-erat. Menepuk-nepuk pundakku lembut. Mama ikut berdiri dan memeluk kami. Air mata tak bisa kubendung pada detik ini, hatiku terasa diremas, tetapi lembut dan menenangkan.

"Alhamdulillah, makasih ya Allah. Anakku, anak gadisku," ucap Bunda terharu. Suaranya parau

"Makasih ya, Yumna, Mama seneng banget dengernya." Mama menangis.

"Alhamdulillah ya, Mbak," kata Bunda pada Mama.

Papa mendekat, Bunda dan Mama melepas pelukan kami. Kemudian Papa memelukku. "Makasih ya, Sayang. Karena telah meringankan beban Papa di akhirat nanti." Papa tampak terharu dan sesekali mengusap matanya. Aku memeluk pria yang kucintai ini dengan erat-erat. Pria yang selalu menjagaku dan memenuhi segala keinginan.

"Yumna sayang Papa." Ia mengangguk-angguk dan mengecup puncak kepalaku.

"Abang beliin jilbab yuk, ke tempat Mama pesen jilbab. Gamisnya bagus-bagus di sana, Na." Bang Ardan menggenggam tanganku begitu Papa melepas pelukan kami.

"Yang banyak ya?"

Dia mengangguk. "Pinjem jilbab Mama dulu sebelum pergi."

Mama pergi ke kamar dan mengambilkan jilbab, lalu kembali dengan jilbab tanpa motif berwarna cream. Cocok untuk blouse yang kukenakan sekarang. Mama memasangkannya ke kepalaku dan mencium pipi kanan kiri serta dahiku.

"Anak Mama cantik."

Aku dan Bang Ardan kemudian pamit untuk pergi ke butik tempat langganan Mama. Seperti biasa ia memasangkan helm ke kepalaku sambil tersenyum. Aku masih heran sampai hari ini, mengapa ia menyayangiku dengan setulus ini? Mata kami saling menatap pada detik ini.

"Bang Ardan masih inget nggak dulu pernah bilang ke aku. Kalau Bang Ardan punya rumah, Abang bakal ajak aku?"

Bang Ardan mengangguk. "Inget dong, kan, Abang yang bilang."

"Janji yang nggak akan bisa ditepati tuh," kataku pura-pura cemberut, dia mengira aku bercanda sehingga ia tertawa. "Gimana mau ajak aku, kalau ada istri Bang Ardan."

"Apa Abang nikah aja sama Yumna?"

Aku membelalak, tetapi dia tertawa, mungkin ia pikir itu lucu. Namun, sungguh sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik lalu setelahnya berdetak lebih kencang. Ada pedih di dalam sana, kalimat tadi adalah kalimat yang kuharapkan dengan amat sangat. Hal yang akan membuatku bahagia bila mendengarnya.

Namun, detik ini justru aku ... patah hati.

"Abang bercanda, Yumna." Ia menepuk pundakku tiga kali. "Kamu pasti kesel dan muak banget lihat Abang tiap hari, diikuti Abang tiap saat. Nanti, nanti kalau kamu udah nikah Abang udah nggak bisa lagi kayak gini, kan?"

Muak? Bang Ardan tidak tahu bahwa aku merindukannya setiap saat, mengharapkannya tiap waktu. Lalu berharap dia tidak akan ke mana-mana, tidak akan pergi barang seinci pun kepada perempuan lain. Bang Ardan tidak tahu bahwa aku hampir serakah dan tidak ikhlas mendengarnya membicarakan perempuan lain.

"Yumna nggak pernah kesel diikutin Abang."

"Yang bener?" tanyanya jahil.

Aku mengangguk-angguk. "Serius."

"Ya udah kalau gitu nanti kita jalan-jalan dulu sebelum pulang."

"Ayo!

^^

Diperbarui 8 Desember 2021

Tak terasa sudah 8 bab saja. Terima kasih kepada kalian yang sudah mau membaca, meninggalkan jejak suka dan meninggalkan jejak pendapat. Saran darimu selalu kunantikan untuk perbaikan ceritaku.

:)

Cinta Perlu Bersabar (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang