PART 4

2.5K 162 1
                                    


Matahari bersinar terik di seperempat hari. Mobil hitam yang cukup besar itu masih menganga bagasinya. Deven dan Anneth juga masih sibuk menurunkan koper-koper mereka dari sana.

Anneth sendiri tidak terlalu manja untuk ukuran perempuan. Ia menolak bantuan Deven yang jelas-jelas dapat meringankan bebannya. Ia memilih membawa sendiri dua koper beserta tas-tas kecil yang merepotkan itu.

Mama-mama cantik hanya mengantar keduanya hingga di loby hotel dan membiarkan mereka mencari kamar sendiri. Semua kebutuhan dan petunjuk sudah diinformasikan di grup khusus anggota OMTS, jadi mereka tak perlu khawatir.

"Beneran gak mau dibantu?" teriak Deven yang sengaja membiarkan Anneth berjalan duluan.

Anneth menoleh dan memutar malas bola matanya. Sementara barang-barangnya ia letakkan di lantai, Anneth sibuk menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

"Ya udah, sini bantu!" serah Anneth.

Deven justru gelagapan, pasalnya kedua tangannya sudah penuh akan barang-barangnya sendiri.

"Katanya mau bantuin?" sindir Anneth sambil meletakkan tangannya ke pinggang. Ia sungguh-sungguh lelah kali ini.

Deven menghampiri Anneth dan ikut meletakkan barang-barangnya di lantai. Dilihatnya tas-tas yang berserakan itu untuk untuk beberapa saat. Deven tampak sedang berpikir.

"Oh, gini aja deh, aku taruh koper di kamarku dulu. Nanti aku balik ke sini buat bawain koper-koper ini ke kamarmu," usul Deven karena ia tak mungkin membawa tas-tas sebanyak itu sekaligus.

"Serah kamu lah, Dev. Aku capek," ujar Anneth sambil merubuhkan tulang duduknya ke kursi yang tersedia di lorong hotel.

"Tunggu, ya?" Anneth mengangguk.

Dengan segera Deven mencari kamar yang sesuai dengan petunjuk panitia dan meletakkan koper-kopernya di sana. Sewaktu Deven masuk, kamar yang katanya akan dihuni dua orang itu masih sepi. Namun ketika hendak keluar dari kamar, Deven sempat berpapasan dengan seorang berkacamata hitam yang sibuk menggerutu dengan bahasa Batak.

"Deven, kan?" Deven mengangguk ketika laki-laki itu bertanya.

"Aku Gogo, teman sekamarmu."

"Hai, Gogo! Seneng kenal kamu. Aku balik ke bawah dulu, ya."

Deven acuh akan uluran tangan Gogo yang mengajaknya berjapat tangan. Bukannya sombong, sungguh. Ia hanya tak ingin Anneth menunggu lebih lama.

Deven berjalan cepat hingga tak sadar dirinya mulai berlari. Seperti memasang kacamata kuda, Deven hanya memandang jalan yang akan dilaluinya saja. Tidak pengunjung hotel lain, tidak pula anak-anak yang mungkin akan jadi rekannya di OMTS.

"Deven!" panggil seorang perempuan. Deven tahu ia perempuan karena suaranya. Bukan, bukan Anneth. Suara ini sedikit lebih rendah.

Karena dipanggil, otomatis Deven menoleh. Betapa terkejutnya ia ketika menjumpai seseorang di ujung pandangannya. Gadis bertubuh tinggi, berpipi tembam, dan berkepang dua.

"Omaygattt... Deven!!!" teriaknya sambil berlari merentangkan tangan ke arah Deven.

Kali ini Deven yakin dirinya akan dipeluk. Namun, anehnya Deven sama sekali tak berkeinginan untuk menghindar. Ia masih setia di posisi semula, seolah sengaja memasang badan untuk dipeluk. Jangan tanyakan ekspresi Deven! Ia bahkan bingung harus menggunakan ekspresi yang mana. Perasaannya benar-benar campur aduk bak gado-gado.

One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang