"Deveennn!!!"
Melihat Deven jatuh tertelungkup di atas paving membuat sekujur tubuh Anneth bergetar. Belum lagi darah yang keluar dari pelipis Deven semakin menjadikannya syok. Anneth tak dapat melakukan apapun selain melotot sambil menutup mulutnya.
Tak lama kemudian beberapa orang menghampiri Deven dan membawanya menepi ke lobi hotel. Anneth mengekor kerumunan itu tanpa berkata-kata. Tangannya yang gemetar berusaha mengobok-obok isi tasnya mencari ponsel.
Dan ketika benda itu berhasil diraih, orang pertama yang Anneth hubungi adalah Kak Mawar.
Kak Mawar dan yang lain bergegas turun sambil terus menenangkan Anneth. Begitu rombongan Kak Mawar tiba di lobi, Anneth langsung menubruk Nashwa dan terpaku di pelukannya.
Sementara itu, Deven segera dibawa ke rumah sakit agar mereka lekas tahu penyebab Deven jatuh pingsan. Anneth memaksa ikut dan untuk itu Nashwa juga ikut menemani.
Sesampainya di rumah sakit, Deven langsung mendapat penanganan dari dokter. Anneth menunggu tanpa mengucapkan apapun. Bahkan menangis pun Anneth tak kuasa. Ia terlalu takut. Ia takut jika sesuatu yang buruk menimpa Deven.
"Neth, boleh aku tanya sesuatu ke kamu?" Nashwa bertanya pelan-pelan. Anneth mengangguk tanda setuju.
"Tadi kamu pergi kemana? Deven panik nyariin kamu dari tiga jam yang lalu."
"Ceritanya panjang, Wa."
Anneth menceritakan segalanya pada Nashwa. Alasan mengapa ia dan Deven bisa sampai pulang terpisah. Charisa datang di tengah-tengah cerita Anneth dan ikut mendengarkan.
"Sabar, Neth. Pasti Deven punya alasan yang kuat buat ngambil keputusan sebesar itu," Nashwa memberi nasehat, tapi Anneth masih tak habis pikir dengan keputusan Deven.
"Makasih, Dok."
Sebuah suara mengalihkan perhatian Anneth. Seorang gadis berkursi roda sedang didorong masuk ke ruangan Deven oleh seorang suster.
"Dia siapa? Kenapa boleh masuk ke ruangan Deven?" tanya Anneth sembari berdiri hendak memeriksa, namun Charisa lekas menahannya.
"Dia Dafina. Temenku dan Deven."
Anneth menatap Charisa tak paham. Ia tak mengerti jalan pikir sahabatnya itu. Dokter sedang memeriksa Deven dan kenapa Dafina diperbolehkan masuk seenak jidat ke dalam ruangannya?
"Terus, kenapa dia dibolehin masuk?"
Emosi Anneth mulai tersulut. Charisa tau bagaimana perasaan Anneth. Oleh karenanya, Charisa berusaha tetap tenang. Ia tak ingin membalas api dengan api.
"Dafina juga lagi dirawat di sini. Dia kenal dokternya, makanya dia dibolehin masuk."
"Nggak adil dong, Cha. Kalau gitu aku juga mau masuk," ujar Anneth sambil bersiap masuk ke ruangan Deven.
"Neth, please... Kamu baik-baik. Nggak kayak Dafina. Dia lagi sakit, Neth."
"Cha, kamu apa-apaan sih? Anneth juga sahabatmu kali," Nashwa ikut-ikutan. Baginya ini tidak adil di pihak Anneth.
"Neth, Wa, dengerin aku! Deven mau nerusin sekolah di sini karena Dafina. Dafina sakit. Dia sakit Leukimia. Umurnya cuma sampai tiga tahun lagi," ujar Charisa dengan sungguh-sungguh, "jadi Neth, aku mohon banget. Seenggaknya kamu sabar nunggu Deven sampai tiga tahun ke depan."
Anneth terperangah. Ia masih memiliki hati nurani. Oleh sebab itu, Anneth kembali duduk dan memutuskan untuk berdoa semoga Tuhan senantiasa melindungi Deven.
Setengah jam kemudian, dokter keluar diikuti Dafina dan dua orang suster lain. Kak Mawar, Kak Ringgo, dan Kak Raiwan yang duduk di sudut lain lantas beranjak untuk menyongsong sang dokter.
"Pasien sudah kami tangani. Dia kelelahan dan dehidrasi. Luka di kepalanya sudah dibalut, kami cuma perlu merongsen kakinya lima belas menit lagi," terang dokter tanpa ditanyai terlebih dahulu.
"Terimakasih, Dok."
"Anneth, kalau kamu sayang Deven, harusnya kamu nggak pergi sama Aji," tutur Dafina tajam sebelum berlalu ke kamarnya kembali.
Dari mana Dafina tau? Anneth bungkam seribu bahasa. Apa ini karma baginya sebab telah menerima ajakan Aji meski itu jelas-jelas salah?
"Udah Neth, nggak usah dimasukin hati. Aku tau posisi kamu tadi. Sekarang, kita masuk ya?"
Nashwa menghibur Anneth sebab ia tahu Anneth mulai terpancing oleh perkataan Dafina.
"Tapi Wa, dari mana dia tau kalau aku pergi sama Aji?"
"Mungkin sebelum masuk dia denger percakapan kita. Udah ah, yuk masuk!"
Perlahan namun pasti Anneth memutar gagang pintu dan masuk ke ruangan Deven. Di dalam ruangan itu terlihat sosok Deven yang sedang meminum air putih dengan rakusnya.
Begitu melihat Anneth, Deven diam tak berkutik. Ia tak mengerti lagi bagaimana harus berekspresi di depan gadis itu. Deven masih merasa bersalah, tapi ia juga cemburu melihat Anneth diantar pulang oleh pria lain. Bukankah jika begitu Aji lebih bisa melindungi dan membuat Anneth tersenyum?
"Jangan mikir yang macem-macem!" ujar Anneth sewot sambil mencubit lengan Deven.
"Aww, sakit Neth!"
"Iya-iya maaf. Kamu kenapa bisa kayak gini, sih?" Anneth mendekatkan kursi lalu duduk di samping ranjang.
Melihat Anneth yang sudah bersikap biasa saja, Deven jadi ikut tenang. Semoga saja Anneth tidak mengingat-ingat pertengkaran tadi.
"Aku ketabrak sepeda waktu nyari kamu."
"Gitu aja mental? Yah, aku kira kamu udah gede," goda Anneth sambil memainkan selang infus Deven.
Deven menatap Anneth dalam-dalam dengan sorot yang lembut dan menenangkan. Anneth jadi salah tingkah sendiri mengetahuinya.
"Apa liat-liat?"
"Tuan puteri, janji ya, Tuan Puteri bakal baik-baik aja tanpa Raja."
Mendengar itu, hati Anneth sakit lagi. Sesuatu yang begitu berat terasa mengganjal paru-paru.
"Harus ya, Raja nggak ikut pulang? Nanti di pesawat Puteri nyandar siapa?"
Deven tak punya jawaban atas pertanyaan Anneth. Ia hanya mampu mengelus kepala Anneth dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Ya Tuhan, betapa ia sangat menyayangi gadis ini. Rasa-rasanya Deven tak akan mampu sehari saja tanpa melihat Anneth.
"Nanti aku berangkat sekolah bareng siapa? Kalau malem aku ngobrol di jendela sama siapa? Siapa yang bakal aku curi earphonenya? Alvaro main sama siapa? Nanti kalau aku masuk ke ruang musik dan liat nggak ada kamu di kursi piano gimana? Kalo-"
"Neth..."
Sudah cukup! Deven tak sanggup membayangkan kebiasaan-kebiasaan itu akan hilang dari hidupnya. Perkataan Anneth hanya membuat Deven semakin ingin ikut pulang. Ia ingin ikut membeli tiket pulang bersama Anneth dan memberikan bahunya sebagai sandaran terbaik di pesawat nanti.
"Apa aku di sini aja sama kamu?" cetus Anneth tiba-tiba.
🎵🎵🎵
Gara-gara kalian, aku jadi up dua kali dalam sehari.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...