Deven kembali dari menelepon dengan suasana hati yang berbeda. Banyak diamnya alias irit bicara. Tadinya Anneth ingin bertanya perihal siapakah Fina, tapi urung lantaran Deven yang tiba-tiba jadi murung begitu.
"Balik ke yang lain yuk!"
Deven meneguk minumannya sambil siap-siap berdiri. Anneth meletakkan sendok dan garpunya bergantian seraya mentap Deven heran. Ada yang tidak beres. Bahkan pria itu asal berlalu menuju kasir tanpa menunggu Anneth menyelesaikan makannya.
Selesai makan, Kak Mawar sedikit menyinggung tentang agenda terakhir OMTS yaitu tour empat daerah. Semua terlihat antusias sebab inilah yang mereka tunggu-tunggu. Acara puncak.
"Malem ini selesai main-main di mall, langsung balik ke basecamp. Kita harus kerja keras buat konser OMTS yang bakal dimulai lusa. Jangan capek-capek karena besok kita akan latihan koreo seharian. Ada yang keberatan?"
"Nggak!" jawab anak-anak serempak.
🎵🎵🎵
Anneth meletakkan gitarnya dan mendekat pada lingkaran anggota OMTS yang siap berdoa untuk kesuksesan konser terakhir mereka.
Tak lama kemudian, Deven pun ikut mendekat ke lingkaran. Ia menempatkan diri di sebelah Anneth lalu menggandeng erat tangan gadis itu seraya menundukkan kepalanya khidmat.
"Untuk kelancaran konser terakhir One Month to Shine, berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, mulai." Kak Mawar memimpin.
Selesai berdoa dan bertos, semua bersiap pada posisi masing-masing. Deven masih belum melepaskan genggamannya dari tangan Anneth. Keduanya berjalan bersama menuju sisi panggung. Bersiap sebagai penampil pertama.
Anneth dan Deven naik ke atas panggung. Mau tidak mau gandengan mereka harus dilepas. Anneth menuju sisi kanan, sedangkan Devten menuju sisi kiri. Mereka akan membawakan lagu Sahabat Sejati dari Sheila On 7.
Deven memulai, disusul Anneth dan akhirnya lagu itu dinyanyikan bersama-sama. Perpaduan yang indah. Entah sejak kapan suara Deven berubah jadi lebih berat. Satu yang pasti, Anneth menyukainya. Ia tahu pacarnya itu sudah berubah. Semakin tinggi dan semakin dewasa, baik fisik maupun sikapnya. Satu bulan ini telah mengubah banyak hal.
"Terimakasih semua!" teriak Deven di akhir lagu dan kemudian setengah menggumam dengan mikrofon kata yang begitu indah.
"I love you, Neth."
Malam ini berlalu begitu singkat. Banyak cerita yang bisa mereka bawa pulang nantinya. Ke Medan, Lombok, Jakarta, dan kemana saja, rumah mereka yang sesungguhnya. Mereka senang sebab satu bulan ini benar-benar membuat mereka bersinar, membuat mereka dikenal dimana-mana. Namun mereka juga sedih sebab keberhasilan itu adalah tanda bahwa mereka harus lekas berpisah. OMTS telah usai. Dan entah mereka dapat bertemu kembali atau tidak.
"Aku nggak mau pisah dari kalian."
Tangisan polos gadis kecil bernama Lifia di dalam bus yang tengah membawa rombongan OMTS kembali ke basecamp.
"Kak Uwa juga nggak mau pisah dari Lifia, tapi kan kita harus sekolah. Supaya kita semua bisa jadi orang sukses nantinya. Lifia jangan nangis, ya!" Nashwa membelai rambut adiknya yang menangis sambil mati-matian membendung air matanya sendiri.
"Nggak dong, nggak bisa gini!" teriak Joa dari jog belakang hingga semua yang berada di depan menoleh.
Ternyata tangis Joa sudah pecah sedari tadi, bahkan lebih pecah dari Lifia. Kenapa yang lain tidak tau jika Joa menangis? Sebab sedari tadi Joa hanya memejamkan mata dan memeluk bantal hingga yang lain mengira jika ia tertidur. Bahkan Mirai yang duduk di sebelah Joa pun tidak tahu akan hal itu.
"Kita nggak boleh pisah! Titik," tutur Joa sesegukan.
"Jo, hei!"
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundak Joa dari belakang dengan panggilannya yang begitu lembut.
Friden tak segan-segan berjongkok di sisi Joa lalu mengusap air matanya yang berlelehan.
"Kamu harus bisa bilang ke yang lain, sampai jumpa saat kita sama-sama udah di atas. Jalan suksesmu cuma mau dilewati kamu. Begitu juga yang lain. Percaya deh, jalan-jalan yang sangat banyak di muka bumi ini hanya akan menuju satu tujuan, yaitu kesuksesan. Besok kita ketemu di sana, oke?"
Joa mengangguk. Ucapan Friden benar. Ia tak boleh egois.
"Maafin aku juga. Aku nggak mau kita pisah dalam keadaan marah sama marah. Kamu mau kan, maafin aku?" lanjut Friden.
"Iya. Aku mau. Makasih udah jadi bagian terindah hidupku selama satu bulan yang nggak genap ini, Patih Friden."
Sementara itu, Anneth yang bersebelahan dengan Deven seakan tak ingin mengangkat kepalanya dari pundak pria itu. Seakan ingin semalaman suntuk ia berada dalam posisi itu.
"Dev, aku jelas bakal pisah sama yang lain, sedangkan sama kamu enggak. Kita kan satu sekolah, tetanggaan pula. Tapi kenapa aku justru ngerasa bakal kehilangan kamu. Seolah-olah setelah ini kita bakal jauh. Kamu ngerasain hal yang sama nggak?"
"Kamu ngomong apa, sih, Neth?"
🎵🎵🎵
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...