Part 31

1.3K 111 14
                                    

"Mamiii, Anneth kangen!"

Anneth menyerbu dengan pelukan erat. Seperti katanya tadi, ia kangen berat dengan maminya. Setelah puas berpeluk rindu, wanita paruh baya itu mengajak Anneth masuk sebab udara malam di luar begitu dingin. Anneth sempat melambai pada Deven sebelum Deven masuk juga ke rumahnya.

Mami melihat adegan itu. Beliau hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia cukup tahu perkembangan hubungan Anneth dan Deven di karantina. Mengapa? Karena Kak Mawar tak pernah absen mengadu. Setiap tiga hari sekali ia pasti meluangkan waktu untuk mengirimi video atau foto-foto Anneth dan Deven.

"Mi, lusa Anneth ke Singapore. Mami tahu, kan?"

Anneth memulai obrolan sembari wira-wiri menata ini itu di rak-rak dan almarinya.

"Iya, tahu."

Sambil tak henti tersenyum, mami membantu Anneth menata barang-barangnya. Lalu seolah teringat akan sesuatu, mami menuju meja rias dan mengeluarkan sesuatu dari dalam lacinya. Sebuah kotak sepatu.

"Kemarin ada temanmu kesini. Ngasih ini."

Anneth menerima uluran kotak itu dengan raut bingung. "Dari siapa, Mi? Ulang tahun Anneth masih lama, kan?"

"Mami udah tanya siapa namanya, tapi dia malah bilang kalau namanya ada dalam surat di kotak itu. Kamu buka aja."

Anneth melepas pita hijau yang mengikat kotaknya. Hijau membuat Anneth teringat akan seseorang. Pria yang sebulan lalu ia kejar-kejar dan tepat sebulan lalu membuat hatinya hancur berkeping-keping. Aji. Masih sakit perasaannya mengingat Aji, tapi Anneth bersyukur sebab Deven bergerak cepat dalam mengobati lukanya.

Selesai dilepas, pita itu Anneth ikatkan pada leher boneka yang pernah diberikan Aji. Tak terlintas di benak Anneth untuk membuang hadiah pertama Aji. Dulu ia pernah bekerja keras, mengkode Aji supaya membelikannya. Anneth ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Tanda ia pernah jatuh cinta untuk pertama kali dengan perasaan sederha yang begitu polos dan lugu.

Benar, kotak sepatu itu berisi sepatu. Warnanya putih dengan sedikit garis merah di bagian samping. Anneth tersenyum lebar. Meski tak terpikirkan untuk membeli sepatu seperti itu, nyatanya Anneth cukup senang. Benar juga kata maminya, di dalam surat itu terdapat sepucuk surat.

Selamat, ya, OMTS-mu sukses. Aku nggak pernah absen nonton langsung konsermu walaupun kamu nggak tau. Maaf, aku nggak pernah tau kalau selama ini ternyata kamu punya rasa ke aku. Tapi nggak apa-apa, biarpun terlambat, aku tetep akan bilang aku juga suka sama kamu. Dari dulu banget, tiga atau empat tahun lalu. Kemarin, aku memutuskan punya pacar karena setahuku kamu udah sama Deven. Yah, dan akhirnya emang kamu sama Deven. Semoga Deven selalu jadi alasan kamu bahagia, ya, Neth. Ini beneran, lho. Aku tulus. Jangan lupa sepatunya dipakai.

Aji.

Anneth tersenyum. Ia memang tak pernah salah menjatuhkan hati. Aji orang yang baik meski sering bersikap dingin dan acuh. Kendati begitu Anneth tak pernah menyesal telah mengetahui perasaan Aji yang sebenarnya. Sekarang ia sudah punya Deven. Biarpun tak sepandai, setampan, dan sebaik Aji. Deven bisa jauh berkali-kali lipat membuatnya nyaman. Dan, bagi Anneth kenyamanan adalah poin terpenting dalam sebuah hubungan.

"Hayo, ngapain senyum-senyum sendiri?"

Pintu berkerit dan masuklah ke kamar Anneth sosok Deven berpiyama yang membuatnya terlihat kecil lagi. Anneth buru-buru menyembunyikan surat dari Aji. Namun itu tak beberapa lama. Sebab Anneth sadar ia telah melakukan tindakan yang keliru.

"Dev, aku dapet sepatu sekaligus surat dari Kak Aji," ujar Anneth takut-takut.

"Oh."

Ekspresi Deven yang semula tersenyum-senyum sumringah mendadak surut kecut.

"Kamu nggak marah, kan?" tanya Anneth lagi.

"Nggak lah. Ngapain marah. Aku cuma pacar kamu, bukan dalang yang mengendalikan hidup kamu."

"Kalau cemburu, apa enggak juga?"

Sekarang Anneth justru terlihat gusar. Jawaban Deven memancing ribuan tanya di benaknya. Anneth takut Deven mulai tak menaruh rasa.

"Apa ekspresiku yang barusan nggak cukup menggambarkan?"

"Ya udah, sepatu sama suratnya aku buang aja."

Anneth beranjak dan siap memasukkan kotak sepatu itu ke dalam bak sampah.

"Nggak usah," larang Deven. Matanya yang teduh seakan mengatakan jika ia akan baik-baik saja jika Anneth mengenakan sepatu itu.

"Aku yakin kamu cukup tau kalau sebuah barang nggak akan mengurangi apa pun dari aku ke kamu."

"Dari kamu ke aku apanya? Jangan berbelit-belit, deh," gerutu Anneth sementara Deven terkikik geli.

"Beneran pengen tau?" goda jahil Deven.

"Iyalah."

"Sini aku bisikin!" Anneth pun mendekat. Begitu juga Deven.

"Cinta."


One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang