Anneth mengerjapkan netra sebab silau akan terangnya lampu. Ia baru teringat bahwa dirinya sudah berada di basecamp setelah memandang ke sekeliling. Ranjang Nashwa dan Mirai kosong. Koper-koper telah tertata rapi, lain seperti sebelum Anneth tidur. Galon di sudut ruang juga sudah terisi penuh. Pandangan Anneth terhenti pada jam dinding di atas jendela.
Jam setengah lima. Itu artinya Nashwa dan Mirai pergi ke mushola untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Sementara Joa dan Charisa, dua orang itu masih pulas dalam selimut masing-masing.
Anneth meregangkan tubuhnya dan menyadari jika lehernya agak pegal. Mungkin karena kemarin bersandar di bahu yang lebih rendah, lehernya jadi tengeng. Gadis itu harus gegas berolahraga jika tak ingin badannya semakin bobrok. Anneth bangkit. Mandi dan bersiap-siap untuk berolahraga. Sepertinya jogging adalah pilihan yang tepat. Mengingat udara di Bogor masih sejuk dan adem ayem.
Anneth keluar dengan memakai celana training hitam dan kaos putih polos sesiku. Ditemani headphone yang mendadak jadi barang kesayangan, ia mulai berlari dari halaman depan menuju taman.
"Hai Anneth!" sapa Friden. Rupanya pria itu juga akan berolahraga. Anneth dapat melihat dari pakaiannya.
"Hai, Den!"
Anneth menghampiri Friden dengan berlari-lari kecil hingga rambutnya berayun ke kanan-kiri.
"Joa mana?" tanya Friden. Maklum, masa pdkt memang menguras rindu. Baru beberapa jam tidak bertemu, mereka sudah saling merindukan.
"Masih tidur," jawab Anneth sambil tersenyum manis. Saking manisnya sampai-sampai membuat Friden mengibaskan kepalanya. Hayolo Friden, ingat Joa!
"Oh. Kamu mau lari, kan? Bareng aja. Biar gak kesasar juga," ajak Friden yang jujur ada benarnya juga.
Letak basecamp mereka jauh dari pemukiman warga. Akan sangat mudah bagi Anneth untuk tersesat. Tanpa berpikir yang aneh-aneh soal Joa, Anneth menerima tawaran Friden. Yang perlu ditegaskan adalah dirinya dan Friden hanya sebatas teman. Tidak lebih dan tidak boleh lebih.
"Kalian mau jalan-jalan? Butuh guide? Kalian bertemu dengan orang yang tepat. Ayo jalan!"
Tiba-tiba Deven datang dengan segudang celotehan. Pria itu lalu berjalan mendahului Anneth dan Friden layaknya seorang tour guide. Friden tersenyum penuh makna. Ia tahu bocah yang satu itu adalah pilihan yang tepat untuk Anneth.
"Deven, apaan sih? Kalau mau jalan, sini bareng-bareng aja!" tegur Anneth sambil menarik kerah baju bagian belakang Deven.
"Ya kali aja kalian mau duaan gitu," ujar Deven sambil memutar bola matanya ke arah lain. Kalimat itu tak sungguh-sungguh keluar dari dalam hatinya. Kalian pasti tahu.
Mereka bertiga mulai melangkahkan kaki di setapak bukit yang licin. Selain karena tadi malam diguyur hujan deras, daerah yang jarang dijamah manusia juga menjadi alasan lumut-lumut tumbuh subur di sana.
"Aduh!" erang Friden sembari memegangi perutnya.
"Kenapa, Den?" Anneth bertanya, panik.
"Perut gue sakit. Biasa, panggilan alam. Aku balik ke basecamp ya? Mumpung belum jauh. Dah..." Friden berlari terbirit-birit tanpa menunggu persetujuan dari Anneth maupun Deven.
"Gimana nih, mau lanjut apa balik?" Anneth bertanya.
"Lanjut lah. Ngapain balik?" Deven kembali berlari-lari kecil. Mau tidak mau Anneth mengikutinya. Ingin kembali sendiri, tapi tidak tahu jalan. Ya sudah, apa boleh buat?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...