Sebelum baca wajib vote ✔
Setelah baca wajib komen ✔🎵🎵🎵
"Ayolah, bolehin saya pulang. Ya?"
Pria muda berbadan tinggi berisi tampak mengekor pria yang lebih tua kesana-kemari. Tangannya terus menangkup memohon-mohon. Ia ingin pulang, entah pulang kemana. Pria tua tetap dibuntuti meski dirinya sedang sibuk menata barang-barang antik untuk dijual. Sesekali pria muda ikut membantu sambil terus meminta.
Deven, nama asli dari Christ yang biasa orang sebut saat datang mencari barang antik. Sejak awal kepindahannya ke negeri ini, Deven diizinkan bekerja di toko antik Tuan Chan. Hanya Tuan Chan yang bersedia menerimanya sebab yang lain terlalu memersoalkan usia. Alhasil di usianya yang baru 18 tahun Deven sudah mengantongi sejumlah uang yang tidak sedikit.
Sahabatnya adalah alasannya tinggal di Singapura. Dan saat sesuatu yang menimpa sahabatnya benar-benar telah diangkat, Deven memutuskan pulang.
"Nanti kalo lu pulang, siapa yang bantu oe di sini?"
Akhirnya, setelah bungkam cukup lama, Tuan Chan buka mulut. Alasan sesungguhnya adalah ia tak ingin sendirian mengurus tokonya. Tubuhnya semakin bungkuk dan seringkali harus menyiksa punggung saat mengambil barang di tempat yang tinggi.
"Kalau itu, tenang. Saya punya seseorang. Bentar lagi juga datang," Deven memerhatikan pintu, dan, "itu dia!"
Seorang gadis berpenutup kepala melangkah gancang memasuki toko. Deven mendeklarasikan rasa bangganya lewat senyuman kecil. Tuan Chan dibuat melongo. Patung kecil di tangannya sampai batal masuk rak.
"Dafina? Do you still alive?"
Ya, Dafina. Sahabat Deven itu mengangguk percaya diri. Ia yang telah menyertai Deven bekerja keras selama ini. Usaha Deven untuk membahagiakan seseorang di Indonesia menjadi model bagi Dafina untuk memerjuangkan kesembuhannya. Alhasil Dafina benar-benar dinyatakan sembuh. Keajaiban Tuhan datang padanya. Leukimia itu lari pontang-panting, takut akan keajaiban dan kerja keras Dafina.
"Setengah tahun lalu saya kritis dan saya kira itu adalah akhir bagi saya, tapi ternyata tidak. Saya sembuh."
"Oe ikut senang, Dafina. Sehat-sehat terus, ya! Jadi?" Tuan Chan beralih ke Deven dan didapatinya pria itu kembali menangkupkan tangannya.
"Ya sudah, lu boleh pulang, Christ."
Detik itu juga Deven berheboh ria dengan melompat-lompat layaknya anak kecil. Dafina tertawa. Ia senang. Sebentar lagi usaha sahabatnya akan sampai di tangan seseorang dalam wujud yang berbeda.
Deven pulang hari itu juga. Ransel yang ia bawa ke Indonesia lebih berisi. Tentu saja, kedatangannya ke Indonesia bukan untuk berlibur, melainkan pulang yang sebenar-benarnya pulang. Menemui keluarga dan gadis yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Kendati jauh darinya, Deven percaya gadis itu tak akan berpaling. Ia telah menugaskan seseorang untuk menjaganya. Aji. Ya, pria itu sebenarnya tangan kanan Deven. Aji adalah sepupu Dafina yang bolak-balik Singapura untuk melapor status hati Anneth. Deven pun tak segan-segan meminta Aji menjadikan Anneth jatuh cinta padanya supaya gadis itu tak berpindah ke lain hati.
Beruntung Aji selalu melapor bahwa ia gagal menjadikan Anneth jatuh cinta padanya. Hati Anneth tetap untuk Deven seorang. Ya iyalah, simpul antara dirinya dengan Anneth memang sangat kuat.
"Lhoh Pak, ini bukan jalan ke bandara, kan?" heran Deven saat memerhatikan sekeliling.
"Lhoh, bukannya tadi Anda bilang dermaga?"
Deven menepuk jidatnya. Sopir taksinya salah tangkap. Tadi ia bilang bandara, bukan dermaga. Namun setelah dipikir-pikir lagi, jalur laut kelihatannya juga mengasyikan.
"Ya udah lah Pak, nggak apa-apa ke dermaga."
Deven membeli tiket yang langsung berangkat. Ia akan berhenti di kepulauan Sumatera dan baru dari sana ia terbang ke Jakarta. Tidak masalah menghamburkan uang. Toh yang Deven tahu, acara puncak OMTS masih tiga hari lagi.
Kapal mulai bergerak. Angin laut menerpa wajah Deven. Ia berdiri di geladak paling atas untuk melihat jelas Singapura yang semakin mengecil. Suatu hari akan ia kunjungi kembali daratan itu bersama gadisnya dan gadis kecilnya. Ya, biar pun itu masih kama.
Deven mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Kotak berwarna merah delima itu berisikan cincin bermata diamond. Hadiah untuk Anneth sekaligus hasil dari kerja kerasnya selama ini. Bukan hanya itu, diam-diam Deven juga menginvestasikan hartanya yang dari situ ia belikan sebuah rumah kecil di dekat kampus UI. Kelulusan SMA tinggal dua bulan lagi. Kelak Anneth akan masuk dengan mudah ke universitas impiannya karena prestasi yang tidak diragukan lagi. Dan Deven ingin Anneth tinggal di rumah yang memang ia belikan untuknya selagi berkuliah.
"Babi! Ada babi! Awas babi!!"
Kegaduhan cepat menggantikan suasana tenang di atas kapal setelah seseorang meneriakkan 'ada babi'. Ah, siapa yang membawa babi naik ke atas kapal? Deven buru-buru mengantongi cincin yang apesnya malah menggelinding jatuh. Spontan ia berjongkok untuk mengambilnya, namun orang-orang yang berlarian membuat cincin semakin jauh dan benar-benar menghilang dari jangkauan. Deven panik. Belum lagi saat seekor babi memandang tajam ke arahnya. Deven memilih lari daripada dirinya harus tamat sekarang.
Baru setelah kapal kondusif, Deven menemui bagian penyiaran untuk mengumumkan bahwa dirinya kehilangan cincin. Lapor sudah, diumumkan sudah. Ia hanya perlu menunggu.
Tak lama berselang, seorang pria paruh baya datang. Cincin itu memang ditemukannya, tapi ada kendala yang menyebabkan cincin itu belum bisa diminta kembali.
"Isteri saya sangat menyukai cincinnya," terangnya pada Deven.
"Tapi itu cincin saya, Pak. Saya masih punya bukti pembeliannya kalau Anda tidak percaya."
"Bukan begitu Dek, isteri saya punya gangguan kejiwaan. Nanti dia bisa ngamuk kalau cincinnya diminta."
Aduh, apalagi ini? Iya sih, Deven bisa melihatnya dari cara pandang isteri bapak itu terhadap cincinnya. Seperti singa kelaparan yang diberi daging segar.
"Terus saya harus gimana?" terus terang Deven kehilangan tenaga untuk ngotot.
"Bisa aja diambil, tapi harus tunggu dia tidur."
"Masalahnya kapan dia tidur, Pak?"
"Nah itu dia. Dia baru tidur. Kayaknya bakal lama."
Deven menghela. Ada-ada saja ujian yang harus ia terima. Padahal selangkah lagi ia akan bertemu dengan Anneth.
"Setelah kapal merapat, kamu ikut kami pulang dulu saja. Ia akan cepat tidur kalau di rumah. Tujuan adek mana?"
"Jakarta," timpal Deven lunglai.
"Rumah kami dekat bandara. Tidak perlu khawatir."
Deven mengangguk. Ia menurut saja, bahkan pasrah kalau ternyata pasutri itu komplotan penculik yang ingin menjual organ korbannya dan korban itu dirinya.
"Maaf jadi menyulitkan perjalanan adek."
Lagi-lagi Deven hanya mengangguk.
Benar saja. Deven harus ikut dengan pasutri itu. Menjadi teman main anak lelaki mereka yang super nakal dan tergores pecahan kaca saat mencoba mengambil cincin dari si isteri. Belum lagi ternyata pria tadi membohonginya. Rumah mereka tak pernah dekat dengan bandara, bahkan sangat pelosok. Deven perlu berganti angkutan tiga kali untuk menemukan jalan raya. Kemudian naik bus ke kota dan setelah itu baru naik taksi ke bandara. Sungguh hari yang melelahkan. Tapi bukan masalah selama cincinnya aman. Deven tak sabar bertemu Anneth.
Deven lapar, namun uang pesangon dari Tuan Chan benar-benar sudah habis. Ah, sepertinya ia harus berpuasa sampai tiba di Jakarta.
🎵🎵🎵
Rangkaian kejadian sebelum pulang ini nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang sebenarnya udah terjadi. So, jangan menyalahkan Deven atas penderitaan Anneth ya😊
Oh ya, ini part 39 dan besok last part. Gimana kesan kalian selama baca OMTS? Kira-kira kalian pengen cerita ini dilanjutin atau nggak? Atau, bikin baru lagi yang beda tema?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...