Part 34

1.2K 100 17
                                    

Jalan pulang menuju hotel terasa sangat jauh dan terjal. Ingin rasanya Deven kembali dan menyerah untuk kembali bertatap muka dengan Anneth. Baginya tak ada yang sesedih saat melihat Anneth menangis seperti tadi. Ia merasa gagal melindungi Anneth. Tembok pertahanan yang ia bangun telah roboh. Anneth terluka bukan karena serangan dari luar, tapi terluka sebab tertimpa reruntuhan tembok miliknya.

Sementara itu, lain seperti dugaan Deven, Anneth tidak langsung kembali ke hotel. Ia mengayunkan kaki kemana saja. Tanpa arah. Pelupuknya sudah kering. Tak ada tanda tangisan selain mata yang sedikit lebih sembab dari sebelumnya.

Tatapan kosong menyertai Anneth hingga jauh meninggalkan hotel. Ia tak menyangka akan sesedih ini. Benar kata orang, kau harus bersiap patah hati ketika memutuskan untuk jatuh cinta.

"Anneth!"

Langkah Anneth terhenti. Suara berat laki-laki yang menghentikannya.

"Anneth!"

Panggilan itu kembali terdengar bersamaan dengan suara langkah kaki yang mendekat. Anneth menoleh dan menemukan sosok Aji yang berlarian menghampirinya.

"Kak Aji?" Anneth tersenyum, tapi juga bingung kenapa pria itu ada di sini.

"Kak Aji kenapa bisa ada di sini?"

Aji tersenyum dan seperti dulu, mengacak rambut Anneth setiap kali bertemu.

"Nyusulin kamu."

Anneth mengernyit. "Masa sih?"

"Nggak-nggak, aku jenguk saudara di sini," jawab Aji setelah tertawa kecil.

Menyadari mata Anneth yang sembab seperti habis menangis, Aji diam saja. Ia langsung berinisiatif menghibur gadis itu.

"Beli ice cream, yok! Aku traktir."

Mendengar itu mata Anneth berbinar-binar. Aji seperti bala bantuan yang dikirimkan di tengah peperangan.

"Mau, tapi jangan cuma satu."

"Iya deh, iya."

🎵🎵🎵

"Dev, Anneth mana?"

Deven dikagetkan dengan Nashwa yang tiba-tiba menyerobot masuk ke kamarnya. Ia sendiri terperanjat mengetahui Anneth tidak ada.

"Tadi udah pulang duluan."

"Jadi kalian nggak pulang bareng? Kalian berantem? Walaupun nggak pulang bareng harusnya kamu ngecek dong, Dev. Anneth belum pulang dan sekarang udah gelap. Kalau dia kesasar gimana. Ini bukan Jakarta."

Nashwa berbicara tanpa jeda. Gadis itu begitu khawatir dengan sahabatnya. Begitu pula Deven yang sudah menyambar jaketnya bahkan sejak Nashwa belum selesai bicara.

"Aku cari Anneth dulu. Pastiin hp kalian bisa dihubungi," ujar Deven yang kemudian langsung melesat keluar.

Pikirannya kalut. Bahkan Deven mulai pergi ke arah yang berlawanan dari jalur menuju taman tadi. Nalurinya mengatakan Anneth sudah jauh dari hotel. Kendati begitu Deven tidak menyerah. Ia juga semakin jauh dari hotel. Mencari dengan berlari. Tak terbesit di pikirannya untuk berjalan biasa atau bahkan berhenti dan beristirahat.

"Anneth, Anneth, kamu dimana, Neth?" Deven terus menggumam. Bajunya sudah kuyup akan keringat.

Dua jam kemudian, akhirnya Deven terduduk di pinggir jalan. Raganya letih, namun jiwanya masih menggebu-gebu. Ia tak akan pulang sebelum bertrmu Anneth.

"Agghrrrss!!!"

Rambut Deven sudah tak terkondisikan lantaran terlalu sering diacak. Ia bangkit lagi. Berlari lagi. Mencari dengan tenaga yang tak sebanyak tadi.

Deven tak memerhatikan dari balik tikungan di depannya sebuah sepeda melesat cepat. Deven yang tak melihat itu juga tak mengurangi kecepatan larinya.

Brakkk

Sepeda tadi sukses menumbur Deven. Si pengendara sepeda terjatuh dengan sepedanya sementara Deven sedikit terpental hingga pelipisnya bergesekan dengan aspal.

"Maaf, maaf, mari saya bantu!"

Seorang anak laki-laki yang mungkin seumuran dengan Deven adalah pengendara sepeda tadi. Dengan sigap ia menghampiri Deven dan membantu Deven berdiri.

"Saya juga salah, maaf," ujar Deven sembari meringis kesakitan.

"Pelipismu berdarah. Ayo kita ke klinik," tawar si pengendara, tetapi Deven menolak dengan alasan terburu-buru.

Pencarian pun berlanjut. Kini Deven tak kuasa lagi untuk berlari. Langkahnya terseok-seok mencari Anneth. Sepertinya Deven punya luka dalam di bagian kakinya.

Di tengah-tengah pencarian yang memilukan itu, tiba-tiba ponsel Deven berbunyi.

Dev, Anneth udah bisa dihubungi. Katanya dia otw pulang ke hotel. Kamu juga pulang y.

Akhirnya Deven bisa bernapas lega. Tanpa berbasa-basi ia berlari kembali ke arah hotel. Berita gembira itu berhasil mengisi ulang tenaga Deven. Ia berlari meski dengan kaki yang dipaksakan dan rasa pening di kepala akibat darah dari pelipis yang terus keluar.

Rupanya Deven tiba nyaris tiba bebarengan dengan Anneth. Pemandangan itu–

Anneth yang turun dari taksi dengan senyum lebar lalu melambaikan tangan seraya berujar, "Dadahh Kak Aji, makasih traktirannya!"

–sukses membuat Deven tertawa getir.

Sesaat setelah taksi yang membawa Aji melesat pergi, pandangan Anneth tak sengaja mengarah pada Deven.

Deven sempat tersenyum sebelum semuanya menjadi gelap.

"Deveennn!!!"

🎵🎵🎵

Menurut kalian part ini terlalu aku dramatisir ga sih? Komentar, dong.








One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang