"Anneth?"Teguran Joa membuat Anneth yang tengah menyembulkan kepalanya di pintu kamar itu lantas melangkah masuk. Tak lupa ia menutup kembali pintu yang tadinya setengah terbuka.
Di ruangan itu telah terberai teman-temannya. Ada yang duduk mengelilingi ranjang Charisa. Ada yang menempati ranjang lain. Ada juga yang bersandar di dinding-dinding. Anneth mendekati Joa yang duduk bersila di ranjangnya. Sahabatnya itu tersenyum sekilas dan kembali pada raut gelisahnya menatap Charisa yang belum juga sadar.
"Selamat, ya, Neth," tutur Joa. Ia tahu makna dari pin yang dipakai Anneth di atas saku kirinya. Ya, Anneth adalah sang penyandang Princess of Voice.
"Makasih Jo," lirih Anneth.
Bagaimana pun juga ia harus menjaga perasaan mereka-mereka yang masih gundah akan kondisi Charisa. Terlebih Deven. Ia bahkan tak mempedulikan Anneth yang hanya beberapa jengkal di belakangnya. Yang Anneth lihat hanya punggung laki-laki itu. Sementara wajah sekaligus pikirannya tentu saja terkuras habis untuk Charisa.
"Dev?" tegur Nashwa agar Deven sedikit menaruh perhatian pada Anneth, terlebih ketika Anneth terus memandangnya.
"Ck, apaan sih?" balas Deven. Terdengar sedikit sarkastik, tapi bukan tanpa alasan.
Nashwa tertegun. Begitu juga Anneth. Eternit menjadi pelarian yang tepat bagi gadis itu. Sekali dua guna untuk memperkokoh kaca-kaca rapuh di matanya.
Krekk
Gagang pintu bergerak dan mengeluarkan suara. Seluruh mata memusatkan perhatian pada objek tersebut. Menunggu siapa yang akan datang setelah Anneth.
"Hai!" sapanya segan. Beberapa telah mendunga. Termasuk Joa yang langsung memalingkan muka.
Gogo. Laki-laki itu mendatangi Charisa tanpa menunggu perizinan dari yang lain. Dengan raut khawatir, Gogo duduk di tepi ranjang Charisa. Tepatnya di seberang Deven. Membuat dua pasang mata itu beradu pandang dengan kilatan masing-masing.
"Cepet sembuh, Cha," bisik Gogo yang meski pelan masih mampu didengar beberapa orang, termasuk Deven.
Gogo kemudian melepas sesuatu yang terkait di kemejanya. Sebuah pin bertuliskan Prince of Voice. Tak perlu ditanyakan. Pihak OMTS memang tak pernah mengatakan jika dua penyandang gelar tersebut harus berada dalam satu grup, bukan?
Benda berbentuk oval berukuran kecil itu diletakkannya di genggaman Charisa. Kendati tak cukup untuk membayar segala jerih payah gadis itu, Gogo berharap setidaknya Charisa tak pernah merasa kalah.
"Apa nggak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit aja?" cetus Wiliam. Ia yang paling terlihat uring-uriangan sejak tadi. Orang kedua yang menghampiri Charisa setelah Deven ketika gadis itu pingsan.
Tak ada yang tidak setuju. Kak Mawar dan yang lainnya juga sudah mengusulkannya sejak awal. Charisa memang harus dibawa ke rumah sakit agar mendapatkan perawatan yang intensif.
"Neth, bisa temenin aku ke ruangan panitia?" pinta Deven. Kali ini lebih halus dari sebelumnya.
Lagi pun ia sadar bahwa tak sepantasnya keadaan Charisa membuatnya jadi acuh pada Anneth. Sementara itu, senyum manis melengkung di bibir Anneth. Nashwa adalah orang pertama yang menyadarinya. Ia ikut tersenyum. Rupanya keadaan telah membaik dan semoga saja semakin membaik.
"Neth?" tegur Deven sebab Anneth tak kunjung memberikan jawaban.
"Iya, Dev. Bisa."
"Dengan senang hati!"
Eits! Suara yang kedua bukan berasal dari Anneth, melainkan Mirai lah yang melontarkannya dengan sedikit berteriak. Mengundang gelak dan kikikan di sana-sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...