Di sebuah taman yang banyak didatangi burung-burung kecil, Anneth tiduran di pangkuan Deven dengan nyaman. Mereka selalu suka mengulang adegan tersebut. Seperti saat di basecamp OMTS waktu itu. Bedanya kali ini Anneth yang berbaring, bukannya Deven.
"Dev, kenapa ya, semakin kesini aku semakin takut kehilangan kamu?"
"Kenapa takut? Mau sejauh apa pun jarak kita, mau segajelas apa pun hubungan kita, mau sebenci apa pun kita satu sama lain, kalau Tuhan menghendaki kita berjodoh, suatu saat kita pasti akan dipertemukan dengan perasaan yang sama seperti sekarang."
Anneth terdiam. Dalam dadanya berkecamuk rasa tak terdefinisikan. Bagaimana tidak, Deven berujar tepat di atasnya, menunduk dan sambil membelai-belai kepalanya. Deven yang sekarang benar-benar sudah dewasa.
Di saat-saat seperti itu, terbesit ide jahil di kepala Anneth. Ia menunjukkan muka bapernya, memancing Deven agar semakin dalam memandangnya. Jujur, Anneth jadi ikutan terbawa perasaan. Namun tiba-tiba Anneth menarik hidung Deven lebih dekat ke mukanya.
Deven melotot kaget. Sebagai laki-laki yang sudah mengalami pubertas, Deven hanya takut dirinya khilaf.
"Deg-degan, ya?" tanya Anneth.
Bfffhhahh
Berhubung sedari tadi hidung Deven dipencet, ia jadi sulit bernafas dan menghembuskan nafas lewat mulut secara tiba-tiba. Anneth pun mendorong muka Deven dan beralih menutup hidungnya sendiri.
"Ihhh, baukkk! Gosok gigi ga, sih?"
Deven lantas memeriksa aroma mulutnya sendiri.
"Gosok gigi, kok."
"Kok masih bau?" eyel Anneth.
"Kan akunya belum makan dari kemarin pagi."
"Kalau gitu, cari makan yuk!"
Anneth beranjak dan menggandeng Deven dengan antusias. Kalau urusan makan sih...Anneth nomor satu.
Mereka memilih tempat makan yang letaknya tak begitu jauh dari hotel. Di tempat itu pula obrolan Anneth dan Deven kembali berlanjut.
"Nggak kerasa, ya, kita udah lama di sini. Hari-hari setelah kita pacaran selalu kerasa cepeeet banget. Kamu ngerasa gitu nggak?" Anneth kembali memulai.
Deven tercenung. Perasaannya yang mengatakan jika Anneth lebih melow di Singapura memang benar.
"Dan entah kenapa aku ngerasa ucapan kamu di taman tadi seolah-olah bilang kalau kita bakal jauhan. Jujur ke aku, deh, Dev. Kamu mau pergi ke suatu tempat, kan?"
Seketika Deven meletakkan sendok dan garpunya. Tidak salah jika orang-orang mengatakan feeling cewek selalu benar. Sebab asumsi itu benar-benar terjadi pada Anneth. Mungkin ini waktu yang tepat bagi Deven untuk berterus terang.
"Bukan aku yang akan pergi, Neth, tapi kamu. Kamu yang akan pergi ke Indonesia. Aku mau ngelanjutin sekolah di sini."
Anneth terdiam. Air matanya jatuh sedetik setelah Deven selesai berbicara.
"Tuh kan...
Tak berhenti di situ. Anneth mulai melempari Deven dengan berbagai macam makanan yang ada di meja. Membuat pakaian Deven kotor dimana-mana. Namun Deven yang sabar itu hanya diam tak berkutik. Matanya masih sama memandang Anneth. Penuh kasih sayang dan rasa bersalah yang tidak terperi.
"Mami...Deven jahat..." isak Anneth sembari menangkupkan dua tangannya ke muka.
"Maafin aku, Neth."
Mau seribu kali Deven meminta maaf, ia tahu dirinya tak akan mampu membuat luka di hati Anneth yang terlanjur menganga kembali seperti semula.
"Aku nggak mau LDR. Pokoknya kita putus!" ucap Anneth dengan tanda kekesalan dimana-mana.
"Jangan gegabah, Neth! Kamu masih emosi."
"Nggak peduli, Dev. Kamu aja nggak peduli sama aku, kok. Kenapa aku nggak boleh?"
"Oke. Terserah kamu. Tapi kamu harus dengerin aku baik-baik. Dalam hubungan, kalau udah ada kata putus, pantang bagiku ada kata balikan."
"Bodo amat, Dev. Aku nggak peduli."
Anneth menyambar tas dan jaketnya kemudian dengan tangis yang berderai-derai pergi dari sana meninggalkan Deven.
Ketakutan Anneth beberapa hari ini telah berbalik menyerang Deven dan menikamnya hingga gairah untuk hidup mendadak mati.
"Aku harap kita sama-sama nggak menyesal nantinya, Neth."
🎵🎵🎵
Hayo ini udah part berapa? Sesuai permintaan beberapa dari kalian, cerita ini bakal selesai di part 40. Itu artinya kurang berapa part? Hitung sendiri, ya. Part ini sengaja aku bikin pendek supaya feelnya dapet. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar terbaik kalian🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...