Part 19

1.9K 148 16
                                    

Anneth sedang berada di ruang musik bersama Joa, Nashwa, dan Mirai sebelum anak laki-laki datang untuk mengacaukan waktu mereka. Memang tidak ada agenda khusus. Namun setelah pelaksanaan lomba kemarin, mereka menjadi tergiur untuk terus menyambangi ruangan tersebut. Selain karena nyaman, alat musik yang tersedia juga berhasil memenuhi hasrat indera mereka yang haus akan nada-nada.

"Heiyo whatsapp people-people in the world!" sapa Deven yang langsung dibalas pelototan oleh Anneth.

"Kata-kataku!"

"Mana surat kepemilikannya?"

Hampir saja sepatu kanan Anneth melayang andaikata Nashwa tidak menahannya dengan suapan sabar.

"Kalian ikut, kan?" sambar Friden tanpa basa-basi. Diraihnya dua kursi plastik untuk ia duduki bersama Joa. "Sini Jo!"

Entah apa yang ditujukan. Tak sedikit dari mereka yang lantas membetulkan posisi begitu mendengar pertanyaan Friden. Tentu saja mereka penasaran. Ikut kemana?

"Nempel terosss!" Wiliam mengusik dengan cara merangkul sepasang anak manusia tersebut. Mendesak Friden agar segera menyingkirkan tangannya dari pundak Joa.

"Btw, ikut kemana Den?" tanya Anneth. Diabaikannya telingkah Wiliam yang terkesan sok akrab itu.

Friden baru akan membuka suara ketika tiba-tiba Deven memainkan nada kasar dari kursi pianonya. Alhasil seluruh perhatian mengarah pada laki-laki berpipi bapau itu. Anneth sendiri tak ada pilihan selain mendengus kesal.

"Biar aku yang jawab, Den," tegas Deven.

"Ihs, childish!" Anneth sambil membuang pandangannya ke arah lain, "biar Friden aja kenapa sih?"

Deven hanya tersenyum jahil menanggapi Anneth. Sedetik kemudian ia benar-benar meninggalkan pianonya dan mendekat ke arah gadis itu. Semua bungkam. Sibuk pada dugaan mereka mengenai apa yang akan dilakukan Deven setelah ini. Namun mereka tak melihat apa pun selain Deven yang mendudukkan diri dan menaikkan kakinya ke atas meja.

"Kenapa kalian ngeliatin aku?" heran Deven.

"Katanya mau jawab?" Anneth memperingatkan, tapi hanya dibalas dengan kerutan kening oleh Deven. Sempat terjadi adegan tatap-menatap di sana. Menyuratkan bahwa pikiran mereka tengah saling menuding.

"Lhoh, katanya aku childish, terus mau Friden aja yang jawab? Gimana, sih?" Deven balik menyudutkan Anneth.

Hening.

"Nggak guna ya ngomong sama kamu? Cuma bikin sakit hati."

Anneth menggebrak meja dan pergi dengan emosi yang tak terkendali. Joa hendak menyusul, tapi bagaimana dengan Friden yang beberapa hari ini telah ia abaikan?

Tiada satu pun yang tidak menyimpan tanda tanya, tak terkecuali Deven yang seolah menjadi tersangka utama dalam kasus ini.

"Nggak mungkin, kan, cuma gara-gara tadi Anneth sampai semarah itu?" celetuk Nashwa.

Ada benarnya juga. Jengah dengan situasi, Mirai yang menganggur lantas mengejar Anneth.

Ditelusuri semua lorong yang ada di basecamp. Dari halaman depan yang luas hingga ke halaman belakang yang mengarah langsung ke perkebunan. Akan tetapi, Anneth Delliecia Nasution tidak ditemukan di mana pun. Mirai yang lelah mengistirahatkan diri di bawah rindangnya pohon mangga.

"Ah, enak banget di sini."

Mungkin akan lebih nikmat lagi seandainya potongan mangga yang mulai ranum-ranum itu jatuh di mulut Mirai dan melalui tenggorokannya dengan segar. Gadis itu bersumpah akan memakannya sedikit dan menyimpannya untuk teman-teman yang lain. Ia tidak akan rakus. Janji. Asal jatuhkan dulu mangganya.

One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang