Part 36

1.6K 103 12
                                    

Barangkali ini yang dimaksud hari suram. Anneth baru saja membaca dan membenarkan ungkapan yang berbunyi, "Hujan di luar, deras di hati, basah di pipi". Berpisah dari Deven seperti tak didukung oleh alam. Hujan rintik-rintik mengguyur bandara. Sudah semenjak tadi malam bahkan.

Anneth teramat bersyukur ketika jadwal penerbangannya ditunda dua jam lagi. Setidaknya ada alasan baginya untuk berlama-lama dengan Deven.

"Neth, kita nggak putus, kan?"

Terdengar kekanak-kanakan memang. Namun Deven hanya ingin memastikan apakah hubungannya dengan Anneth tetap berlanjut atau tidak. Ia harap masih meski menjalani LDR akan selalu lebih berat cobaannya.

"Dev, kamu inget kata-katamu soal nggak mau balikan setelah putus?"

Tubuh Deven mengaku. Ia baru ingat sekarang, tapi bagaimanapun waktu itu ia sedang emosi. Mungkin kata-katanya berlaku untuk gadis lain, namun tidak untuk Anneth. Deven menyesal. Kenapa waktu itu alam tak mencegahnya untuk berbicara asal-asalan?

"Kalau kamu berani mengambil prinsip yang seberani itu, kenapa aku harus kalah dari kamu? Aku pikir kita udah makin dewasa. Kita harus bisa bertanggung jawab atas apa yang keluar dari dalam diri kita, baik itu tindakan maupun perkataan."

Anneth berujar tanpa rasa gentar sedikit pun. Deven yang semula menunduk mulai berani mengangkat wajahnya dan menatap Anneth seperti biasa. Who is the girl? Dewi kah? Atau malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatnya terpana?

"Kita tetep berteman, kok. Perihal gimana hubungan kita nantinya, biar waktu yang pelan-pelan menjawab. Satu yang perlu kamu tau Dev, sampai detik ini perasaanku masih sama."

Dengan gerakan tiba-tiba, tangan Deven terulur menjitak dahi Anneth.

"Aduhh!! Ih, kamu mah."

"Tumben bijak," seloroh Deven sambil membiarkan lengannya dicubit oleh Anneth.

"Aku sayang kamu, Neth," lanjut Deven dan hal itu membuat Anneth melepaskan cubitannya seketika.

"Gak boleh sayang-sayangan. Masih kecil."

"Tadi katanya udah dewasa?"

Lagi-lagi Deven menjahili Anneth dengan cara mencolek dagunya. Anneth yang tersipu membuang muka berpura ngambek.

"Serius, Neth. Aku sayang kamu," ucap Deven. Kali ini tanpa niat bercanda barang seujung kuku.

"Aku apalagi."

Ponsel Anneth berdering, menghentikan ujaran cinta dua bocah yang kini mulai menginjak remaja. Deven tahu dering itu bisa jadi sebuah aba-aba untuk mulai menata hati dan melepas Anneth kembali ke Indonesia.

"Iya, Kak. Aku balik sekarang."

Benar. Deven menarik napas panjang namun kesulitan menghembuskannya lagi. Baru pertama kali bernapas rasanya susah sekali. Anneth memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas lalu beralih menatap Deven.

Keduanya sedang saling melepas sekarang. Tak terasa setetes air jatuh lebih dulu di pipi kanan Deven.

Anneth menghapusnya sambil terkekeh. "Anak cowok gaboleh cengeng."

"Neth, jangan pergi!" rengek Deven sambil menarik-narik lengan jaket Anneth.

"Deven, malu ah! Nanti aku dikira kakak jahat yang bikin adeknya nangis."

Deven melepaskan jaket Anneth dengan berat hati. Sekarang Deven benar-benar bisa melihat kedua mata Anneth juga diselimuti kaca-kaca yang nyaris pecah.

Sakit sekali.

"Neth, walaupun masih kecil, aku tahu dan aku bisa ngerasain kalau di dunia ini nggak ada cewek seajaib kamu yang bisa bikin aku sedih dan seneng, nangis dan ketawa, frustasi dan geli dalam satu waktu yang bersamaan."

"Neth, kita bakal jauh. Bertriliun detik, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau bahkan akan jauh selamanya tanpa ujung yang dinamakan pertemuan. Bukannya hidup nggak ada yang tau? Walaupun kita nggak saling nyapa kayak hari-hari biasa, aku harap kita tetep saling menguatkan lewat apa saja. Angin muson misalnya, atau langit yang menjembatani semua tempat  di muka bumi. Jangan lupain aku, Neth. Kalau kamu sanggup, tunggu aku. Tunggu aku dalam anggapan bahwa waktu yang kamu perlukan cuma sebentar."

Kaca-kaca dalam mata Anneth sudah pecah sedari tadi. Bagaimana ia akan pulang jika jiwanya tak pernah beranjak dari Deven?

"Dev, apapun yang selalu mengganggu kamu. Bawelku, jahilku, tangisku, rengekanku, dan betapa merepotkannya aku. Semua itu tetap untukmu, Dev."

Gadis yang sangat lama menepati janjinya itu membuat seseorang bergerak menjemputnya.

"Anneth, ayo! Bentar lagi kita berangkat."

Kak Mawar berdiri terkesiap melihat tangis yang sama pecah di mata kedua adik tersayangnya. Wanita itu mendekat dan mendekap Deven dengan perasaan sayang yang tak mampu diungkapkan.

"Jaga diri baik-baik, ya, Dev. Kamu tinggal sama siapa di sini?"

"Besok Kak Amel nyusul."

Kak Mawar mengangguk, memandang Anneth dan kemudian merangkul gadis itu untuk mengajaknya pergi.

"Kami duluan, ya, Dev." Deven mengangguk.

Namun baru beberapa langkah dua perempuan itu meninggalkannya, hatinya kembali tak rela untuk melepas.

"Kak Mawar!"

"Ya?"

"Nanti di pesawat duduk di sebelah Anneth, ya. Dia suka ketiduran."

Kak Mawar tersenyum dan mengangguk, tapi ia tak beranjak juga dari tempatnya berdiri.

"Dev, kamu mau peluk Anneth?" tawar Kak Mawar.

Anneth sendiri tak keberatan jika Deven memberikan sebuah peluk perpisahan kepadanya. Deven menatap Anneth bimbang. Bimbang antara iya atau tidak.

"Enggak, deh Kak. Kalian berangkat aja."

Setuju. Tawaran Deven diterima. Anneth dan Kak Mawar benar-benar berbalik dan berjalan menjauh.

Di waktu itu, mendadak perasaan Deven jadi tak karuan. Sekuat tenaga ia berlari mengejar mereka lalu menarik Anneth hingga gadis itu berakhir di rengkuhannya.

Sekarang Anneth tersadar bahwa Deven sudah lebih tinggi darinya. Ia membalas pelukan itu dengan merangkulkan kedua tangannya di pundak Deven.

"Hati-hati, putri..."

🎵🎵🎵

One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang