Deven menopang dagu. Kesal, jenuh, bosan. Ia berharap agar satu jam ke depan bisa berbicara banyak hal dengan Anneth. Kenyataannya setelah memilih lagu dan sedikit berlatih, Anneth tak pernah mempedulikan Deven lagi. Pria itu ditinggal memelototi ponsel. Sambil senyum-senyum sendiri, pula.
"Neth, ada cogan lho di sini."
Deven menarik lengan baju Anneth. Tanpa henti sebelum gadis itu berdecak dan meletakkan ponselnya. Merasa usahanya tak sia-sia, Deven ber-yess ria dengan heboh.
"Apaan sih, Dev?"
Kesal? Tentu. Anneth sudah terlalu sabar menghadapi keisengan pria itu. Sampai habis decak. Juga habis gerutu.
"Neth, hem–" Deven meraih botol di sebelahnya dan meneguk isinya separuh. Botol itu tak terlalu cantik. Bentuknya juga biasa saja. Tapi melihat botol itu mengingatkan Deven akan pemiliknya. Kemarin lusa ia tak lagi mengembalikannya setelah merampas benda itu dari Anneth.
"Mau gak, Neth? Itung-itung pemanasan kedua."
Melihat si tengil itu menaikturunkan alisnya, Anneth membuat ekspresi ingin muntah. Pemanasan kedua apa? Bahkan ia tak pernah menganggap yang pertama sebagai pemanasan.
"Kenapa? Kamu mau ngomong apa?"
Deven meletakkan kembali botolnya dan menarik kursinya agar lebih dekat dengan Anneth. "Nontonin apa, sih?" tanyanya sambil berusaha melihat apa yang Anneth lihat. Refleks, Anneth menggeser duduknya dan setengah menutupi ponselnya dengan telapak tangan.
Semenjak gadis itu memutuskan meraih ponselnya kembali, Deven merasa ada yang telah menaruh candu pada benda itu.
"Kak Aldi. Gila, suaranya lembut banget."
Segera, Deven menjauhkan matanya dari hal yang bisa membuatnya cemburu. Rasa penasarannya terjawab sudah. Ia tak mungkin mengatakan dirinya lebih baik. Mana mungkin Deven yang bukan apa-apa bisa menandingi penyanyi yang penggemarnya sudah jutaan. Dan sialnya, di antara kata juta itu terselip seorang Anneth Delliecia Nasution.
Sementara itu, di sisi lain Anneth dibuat terheran-heran. Ia heran mengapa Deven tak berlagak 'sok' seperti biasanya.
"Dev!" panggil gadis itu dan Deven pun menoleh.
"Kenapa?" lanjut Anneth.
"Nggak." Sambil menjawab sambil menghembuskan napas. Tak lupa disertai gerakan menyisir rambut ke atas.
"Neth!" giliran Deven yang memanggil.
"Ha?"
Kali ini tanpa perlu ditarik-tarik ujung lengan bajunya, dengan penuh pengertian Anneth meletakkan ponselnya. Membiarkan gambar penyanyi Aldy Maldini menghilang seiring menggelapnya layar ponsel.
"Kamu percaya kalau aku bisa jauh lebih bikin kamu bahagia daripada dia?"
Tunggu! Kenapa dan ada apa dengan Deven? Perkataan Deven benar-benar membuat nyawa-nyawa di jantung Anneth berontak tak keruan. Bahkan ia sempat tercekat dan menahan napasnya untuk sesaat.
"Ah, masa?" Belum mau baper, Anneth menimpalinya dengan candaan.
"Bisa aja kamu mikir kalau dia nyanyi buat kamu. Tapi di ponsel orang lain? Dia pasti juga nyanyi buat dia. Itu karena dia emang nyanyi buat orang-orang, buat penggemarnya."
Anneth terdiam. Deven benar.
"Tapi aku Neth, aku bisa nyanyi cuma buat kamu. Nggak buat orang lain, apalagi penggemarku. Ya, soalnya aku nggak punya penggemar."
Meski menitikberatkan intonasi di kalimat kedua dan ketiga, Anneth tetap terkesima dengan kalimat pertama. Deven nyanyi cuma buat aku?
"Gak usah sok serius gitu, deh! Lagian aku nggak ada obsesi kenal sama Kak Aldi. Kamu kenapa, sih, Dev? Aneh tau gak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...