PART 15

1.9K 140 13
                                    


D

even mengakhiri permainan pianonya tepat pukul lima pagi. Diliriknya Anneth sebentar. Seperti sebelum-sebelumnya, gadis itu masih konsisten dengan tepuk tangannya. Senyumnya juga masih selebar beberapa jam yang lalu.

Tersisa sedikit kesempatan hingga waktu pertunjukan. Deven mengelus tuts-tuts piano dengan tidak sabar. Ia menaruh kepercayaan besar pada si hitam putih itu. Juga pada Anneth yang semangatnya menggebu-gebu.

Terlalu lama duduk membuat pantat Deven panas dan pinggangnya pegal bukan main. Tanpa menunggu badannya lebih remuk, Deven beranjak untuk melakukan peregangan.

"Aku suka kamu, Dev," ujar Anneth sembari menatap lekat gerak-gerik Deven.

Deven menghentikan aktivitasnya dan menatap Anneth tak percaya. Desir di dadanya meningkat dua kali lebih meresahkan. Deven berusaha menangkap makna yang disampaikan Anneth lewat kalimat mengejutkan itu. Namun usaha Deven menuai kegagalan.

Tatapan Anneth sulit diartikan. Seperti tatapan seseorang yang tengah menonton konser idolanya. Atau, tatapan seseorang yang tengah dihipnotis. Sulit sekali menemukan kesungguhan di sana.

Ya, Deven harusnya sadar. Anneth hanya terpukau pada permainannya. Bukan dengan dirinya yang serba kurang. Tidak seperti Friden atau si bangsat Aji. Mungkin.

"Kamu gak kaget?" Anneth kembali angkat bicara menanggapi respon Deven yang biasa saja.

"Hh, gak heran lah. Permainanku emang udah bagus dari sononya," sombong Deven sambil menyisir rambutnya ke atas, seperti biasa.

Sekarang giliran Anneth yang terdiam. Bukan itu maksud Anneth. Apa perkataannya terdengar kurang serius? Bukan permainan Deven yang Anneth alamatkan. Tetapi kepribadian Deven yang bak malaikat pelindung baginya. Dimana dan kapan saja, pria itu akan muncul meski hanya batin Anneth yang berseru meminta tolong.

"Neth, hallo!!!" Deven melambaikan tangannya di depan wajah Anneth hingga gadis itu terlunjak dan refleks melontarkan senyum.

Sungguh, senyum Anneth seperti magnet yang mampu menyugesti Deven agar ikut tersenyum.

"Mikirin apa sih?"

"Mikirin sarapan nanti lauknya apa ya?" jawab Anneth asal. Tak mungkin ia menjawab sedang memikirkan Deven. Bisa-bisa pria itu terbang hingga atap basecamp terancam jebol.

"Sa ae dandang nasi."

Deven geleng-geleng kepala kemudian ikut duduk di sebelah Anneth. Anneth refleks bergeser. Ia tak tahu mengapa melakukan itu. Sejak kemarin Anneth merasa jantungnya kurang sehat apabila dekat-dekat dengan Deven.

"Kenapa geser? Grogi, deg-degan, atau pengen pingsan?" Deven semakin gencar menggoda Anneth.

"Nggak, nggak ada," sahut Anneth dengan raut gugup.

"Utututu, tulang!"

Anneth hendak membalas Deven, tapi niat itu urung ia lakukan karena bunyi nyaring yang berasal dari ponselnya.

Segera Anneth merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan benda tipis itu dari sana. Ternyata Joa menelepon. Namun ketika akan diangkat, si penelepon lebih dulu membatalkan panggilan. Sebagai gantinya, ia mengirim sebuah pesan.

Joaquine
Neth, balik ke kamar buruan.
Ucha demam tapi ngotot mau latihan.

Oke, Jo.

Anneth mengantongi kembali ponselnya dan segera bangkit dari duduknya.

"Mau kemana?" tanya Deven.

One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang