Part 27

1.8K 117 4
                                    

"Bukan kamu, tapi perasaanku yang salah."

Kemudian Deven kembali memainkan pianonya dengan tempo yang lebih cepat. Sementara seseorang di sebelah hanya terpaku. Jari-jarinya telah lama terusir oleh rasa enggan. Deven terus bermain, semakin cepat dan akhirnya berhenti tiba-tiba.

"Neth, apa kamu nggak sadar kalau keinginanku ngelindungin kamu dari Aji cuma 75% sedangkan sisanya karena aku cemburu?"

Anneth, ya seseorang itu. Ia bungkam. Bukan sebab apa, jantungnya uring-uringan mendengar penuturan Deven. Kalimat Deven terkesan sangat to the point alias tanpa pertelean. Anneth sungguh bingung. Sempat terlintas di pikirannya untuk beranjak dan menganggap kejadian barusan hanya sebuah ilusi.

"Dev..."

"Nggak perlu ditanggepi, Neth. Anggep aja aku cuma bercanda."

Bukan suara hati Anneth, ini hanya akalnya. Anneth lekas berdiri dan pergi. Otaknya berlogika bahwa Deven sedang perlu sendiri. Supaya ia bisa fokus dengan piano dan nada-nadanya. Anneth tak boleh merusak impian Deven. Deven datang ke OMTS untuk meraih mimpinya dan itu adalah harga mati.

Sementara itu, Deven masih bertahan di dalam. Meruntuki kebodohannya. Berpraduga besar bahwa setelah kejadian tadi hubunganya dan Anneth akan semakin renggang.

🎵🎵🎵

Joa yang lelah tidak langsung kembali ke kamarnya setelah menerima pesan dari Wiliam. Kata laki-laki itu, Britney sempat menemui Anneth dan mengatakan bahwa ia dalang di balik semuanya. Joa bukan tipe manusia yang gemar menelisik suatu perkara dengan lebih dalam. Ia lebih suka bermain praduga. Dan, siapa sangka praduga Joa lebih ampuh dari khasiat sampo Pantene dalam mengatasi rambut rontok.

Joa juga bukan tipe manusia yang sedikit-sedikit langsung merasa iba. Sekali menilai seseorang bersalah, maka ia akan menegur dan meluruskannya. Begitu juga dengan Britney. Joa yakin perkataan gadis itu membidik kepada kasus pengagum rahasia Deven.

Lorong yang sepi memperjelas suara langkah Joa. Awal mulanya pelan, namun semakin lama semakin cepat, menjurus lari.

"Jo!" Seseorang memanggil.

Ternyata Joa baru saja melewati Sam tanpa menegur.

"Ya, kenapa Sam?" Sam menaikkan sebelah alisnya lalu Joa buru-buru tersadar.

"Oh maaf, aku buru-buru sampai nggak negur kamu. Duluan, ya, Sam."

Niat Joa untuk kembali berlari digagalkan oleh Sam. Laki-laki itu cepat menahannya dengan sekali panggil.

"Joa!"

Joa menghembuskan nafasnya kasar. Ia tidak suka ditahan-tahan. Apalagi dalam situasi yang ia anggap penting.

Sam mendekat. "Aku punya jam tangan. Hadiah dari sepupu. Tapi aku nggak suka warnanya. Buat kamu, ya?"

Mata sayu dengan kening mengkerut lantaran kesal itu tiba-tiba berubah sumringah. Itu terjadi setelah Sam mengeluarkan sebuah jam tangan cantik dari saku bajunya.

"Warna ini terlalu cewek. Kamu mau, kan, Jo?"

Satu anggukan cukup meyakinkan Sam untuk memakaikan benda itu di pergelangan tangan Joa. Joa tersenyum. Jatuh cinta pada barang pemberian Sam. Bahkan Friden yang sedang dekat dengannya pun belum pernah memberikan hadiah semanis itu.

"Makasih, Sam. Klise banget, sih, tapi aku nggak tau harus ngomong apa lagi selain makasih."

"Sama-sama. Udah kuduga dia bakalan lebih cantik ada di tanganmu."

Entah apa yang ada di pikiran Joa. Perkataan Sam yang barusan berhasil menyentuh perasaannya. Alhasil pipi Joa mengembang manis.

Tampaknya perubahan itu cepat disadari oleh Sam. Pria itu lantas mencubit pipi Joa gemas. Anehnya Joa samasekali tak bergeming, justru makin tersenyum sambil menundukkan pandangannya malu-malu.

"Baper?"

Suara yang muncul dari belakang segera mendesak Joa supaya memutar badan. Betapa terkejutnya ia begitu mendapati Friden dengan senyum sinisnya.

"Apaan sih, Den? Gak usah posesif, deh."

Bukannya merasa bersalah, Joa justru membentak Friden. Sebenarnya Joa hanya merasa tidak enak pada Sam.

"Lhoh, aku cuma nanya kamu baper apa enggak. Aku nggak tiba-tiba dateng terus narik kamu secara paksa, kan? Apanya yang posesif?"

"Aku bisa jelasin, Den," sela Sam sebelum Joa kembali membuka mulut.

"Ya udah, jelasin sejelas-jelasnya. Aku pengen denger."

Sam terdiam bingung. Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Ia akui dirinya telah salah mencubit pipi Joa.

"Katanya mau jelasin?"

"Udah Den, cukup!" Joa yang tak tega melihat Sam lantas menyuruh pria itu pergi.

Kini tinggal Friden dan Joa. Saling tatap dengan kemarahan masing-masing. Joa masih tak mau disalahkan. Begitu juga Friden yang seolah terus menyalahkan Joa.

"Kita istirahat dulu," putus Joa. Friden membelalakkan mata. Ia tak menyangka segampang itu Joa meminta break.

"Jo?"

"Aku capek, Den."

Joa berlalu, meninggalkan Friden dengan sesal yang tak bisa ditukar dengan apa pun. "Kenapa jadi gini, sih?"

Friden tak tau lagi harus bagaimana. Gengsinya juga terlalu tinggi untuk mengejar Joa dan minta berdamai. Kali ini Friden hanya ingin menenangkan diri. Mungkin ruang musik opsi yang baik.

Dengan langkah lunglai, Friden membuka gagang pintu ruang musik. Hal yang pertama ia dengar adalah permainan piano. Seperti permainan Deven, duga Friden. Dan benar. Tak hanya dirinya yang ada di sana, tapi Deven juga.

"Galau Bos?" tanya Friden setelah duduk di atas cajon.

Deven pun berhenti bermain dan menyisir rambutnya ke atas. "Bukan lagi, Patih."

"Kok patih, sih?"

"Gak nyambung, ya?" kekeh Deven.

"Ya udah, ganti aja. Jangan bos, tapi raja."

"Apaan sih? Kayak bocah, dah."

"Kadang menghibur diri itu perlu. Bukan begitu, raja?"

"Kamu benar, patih."

🎵🎵🎵




One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang