Riang, cerewet, dan moody mepunyai ibu mereka sendiri. Tiga karakter yang merekat pada Anneth, tetapi dengan lem murah yang bisa copot kapan saja. Anneth adalah tipe gadis yang sering menangis diam-diam. Keceriannya sekadar topeng kaca, rapuh dan mudah pecah jika disentuh.
Gadis itu terang di siang hari, ketika orang-orang berlalu lalang, menyapa dan menegurnya. Tetapi menggelap ketika malam. Saat semua orang tertidur dan menjadi makhluk paling masa bodoh. Singkat situasi, selama ini Anneth hanya bersandiwara.
Ada kalanya dunia seperti sedang berdusta. Orang-orang seakan bersembunyi dalam kepura-puraan. Anneth seolah sendiri di tengah keramaian. Andai tidak dikaruniai bakat menyanyi oleh Tuhan, ia tak yakin akan seberuntung sekarang.
Sebut saja keluarganya. Tidak! Anneth tidak sedang meragukan cinta mereka. Hanya saja, kasih sayang orang tuanya tak tergapai dan mentok pada kata bangga. Setiap hari mereka bilang bangga. Bangga karena anak sulungnya memenangkan lomba vokal dimana-mana, mengisi acara dimana-mana, dan jadi pusat perhatian dimana-mana. Tapi tidak sekali pun mereka menyertai kebanggaan itu dengan embel-embel perhatian, apalagi belaian sayang. Seluruh perhatian telah menjadi milik Alvaro, adik Anneth satu-satunya.
Jika Alvaro sakit, maka seisi rumah tidak beranjak darinya. Dari pagi hingga pagi lagi mereka melayani Al lebih baik dari pasien di rumah sakit. Sedangkan jika Anneth yang sakit, mereka acuh tak acuh. Kamarnya hanya sesekali disambangi. Mereka terlalu sibuk membacakan Al dongeng atau mengajak bocah itu bermain.
"Kamu, kan, udah gede. Kalau kamu sakit, pasti karena kamu yang tidak bisa menjaga kesehatan. Tapi Al, dia masih kecil. Kalau dia sampai sakit, berarti Papi yang lalai menjaganya."
Jawab papi ketika Anneth menyinggung ketidakadilan itu beberapa waktu lalu. Parahnya lagi, beliau menjawab sambil terkekeh, seakan yang Anneth tanyakan hanya lelucon belaka.
"Woi Neth, ngapa lu? Udah ngambil kaosnya?" kejut Joa.
Tatapan khawatir Joa adalah hal pertama yang Anneth lihat setelah tergeragap dari lamunannya.
"Neth, kamu sakit?" Joa mencoba dahi Anneth yang ternyata normal-normal saja.
"Gak, kok Jo. Aku udah dapet kaosnya. Kamu ambil dulu sana!" suruh Anneth selepas menunjukkan kaos berwarna putih bergambar maskot OMTS. Kaos itu yang nantinya akan digunakan untuk outbond dan kegiatan outdoor lainnya.
"Aku ambil dulu, deh. Kamu gak papa aku tinggal?" Anneth mengangguk yakin.
Toh, ia juga akan pergi berjalan-jalan untuk menghilangkan suntuk. Sebentar lagi. Setelah Joa meninggalkan kamar untuk mengambil kaosnya.
Selepas Joa pergi, Anneth lekas mengikat rambutnya dan keluar dengan mengenakan headphone yang dihadiahkan oleh mama Deven.
Selangkah meninggalkan kamar, Anneth disambut panggilan dari seseorang yang tiga tahun terakhir akrab di kupingnya. Panggilan itu beruntun dan tak ada habisnya. Dekat, semakin dekat. Anneth malas menoleh sebab ia tahu siapa pemilik suara itu.
"Hai cece cina!" sapa Deven.
Ya, Deven. Laki-laki yang berusaha mengejar langkah Anneth. Pemilik kaki jenjang yang sulit dikejar meski Deven telah menggunakan langkah seribu. Alhasil, napasnya jadi tak keruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...