Riuh. Tepuk tangan bergemuruh ketika Deven dan Anneth menaiki panggung. Panitia bahkan sudah yakin jika penyandang gelar Prince and Princess of Voice ada di grup ini. Denneth.
Deven menghampiri belahan hatinya, si hitam putih tuts piano. Sedangkan Anneth menuju mikrofon dengan wajah berseri. Keduanya tersenyum sejenak sebelum saling pandang dan mengangguk bersamaan.
Sihir dimulai. Deven memainkan nada riang dan Anneth menyambutnya dengan sebaris lirik.
I found my self dreaming
In silver and gold
Like a scan from a movie, that every broken heart knowsWe were walking on moonlight
And you pulled me close
Split second and you disappeared
And than I was all alone...
Begitu selanjutnya. Sahut menyahut, bersamaan, dan diiringi adegan lirik-melirik. Siapa pun akan baper melihat penampilan mereka. Anneth yang berkemeja biru itu tampak tersipu-sipu ketika Deven berulangkali menatapnya.
"Wa, lihat deh tatapan Deven! Kayak tatapan pria dewasa yang lagi jatuh cinta," bisik Joa pada Nashwa.
Nashwa mengangguk antusias. Sedari awal ia memang gencar mencomblangkan mereka. "Siapa sangka kalau mereka baru lulus dari SD."
Joa dan Nashwa. Sahabat terbaik Anneth itu sampai membelalak kaget ketika Anneth dan Deven tiba di reff terakhir. Keduanya sama-sama mengeluarkan power. Lepas. Hingga satu tepukan dari Kak Mawar merembet menjadi tepukan puluhan orang.
"Denneth... Love you!!!" Nashwa berteriak sembari mengeluarkan finger heart-nya.
Di sisi lain, tepatnya di backstage. Charisa tak henti tersenyum getir. Ia memang bangga pada mereka. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya tersayat-sayat. Ia memang pencetus nama Denneth. Tapi tak bisa dielak jiwanya antipati. Charisa mencengkram erat gagang gitarnya. Mencoba bertahan dalam gemetar tubuh yang belum sembuh. Berusaha menghalau cemburu yang berpasrah pada gentar.
"Lo gak boleh gini, Cha. Deven berhak bahagia dengan pilihannya."
"Cha, kali ini biar aku yang main."
Tepukan hangat mendarat di tangan Charisa. Gadis itu menoleh dan mendapati raut Gogo yang teduh. Ia teramat bersyukur masih diberi teman yang mau mengerti. Satu-satunya rekan yang berpihak penuh kepadanya. Meski ini terdengar salah, Gogo selalu berharap agar Deven membalas perasaan Charisa.
Charisa lekas menyeka air di ujung matanya. Berat, tapi ia percaya pada Gogo. Laki-laki itu hanya ingin semuanya berjalan lancar. Charisa meletakkan gitarnya, gitar kesayangannya. Ia akan bernyanyi tanpa benda itu. Gogo yang memegang kendali.
Detik ini. Selepas Grup Denneth turun dari panggung. Gogo sedikit menuntun Charisa menuju gelanggang perang. Ia menuntun gadis itu hingga ke kursinya. Lalu membawa tubuhnya sendiri ke sisi lain panggung. Berjauhan.
"Ucha, semangat!!!"
Terlihat Nashwa berdiri dan mengacungkan dua jempolnya. Charisa tersenyum. Tidak hanya pada Nashwa, tapi pada Anneth, Joa, dan juga Mirai.
Ketiganya duduk bersebelahan di barisan paling depan. Khusus untuk Charisa. Untuk menyemangati sahabat mereka yang sedang sakit. Semua percaya pada kemampuan gadis itu. Dengan atau tanpa gitarnya. Begitu juga Deven. Ia bahkan tidak duduk dan berdiri di sisi panggung untuk menonton Charisa.
"It's time to see what we can do."
Gogo menggenjreng gitarnya diiringi tepukan kecil. Charisa memejamkan mata sejenak. Dan di detik berikutnya. Nada dan lirik itu mengalir seperti air
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfic"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...