Part 24

1.9K 159 42
                                    

Sore ini, anak-anak OMTS, khususnya para cowok sedang pergi keluar. Mereka ikut panitia memilih tempat yang sekiranya strategis untuk didirikan bazar amal. Sayangnya, Deven menolak ikut dengan alasan mager. Sejak hilangnya suara Anneth, ia juga jadi hilang semangat. Deven tidak tega melihat Anneth yang terus diam ketika bersamanya. Deven pun ikut murung lantaran intensitasnya mengobrol dengan Anneth juga berkurang.

"Dep! Depen!"

Panggilan yang berbisik itu membuyarkan konsentrasi Deven pada tokoh hero di layar ponselnya. Sebelum benar-benar menoleh, Deven mematikan dan meletakkan benda itu di atas meja. Lalu meregangkan otot-ototnya sejenak. Sudah hampir dua jam ia terpaku pada game online karena kesepian. Deven tidak suka tempat yang sunyi. Maka dari itu, ia memilih bersibuk ria dengan mobile legend-nya.

"Deven!"

Kali ini bisikan itu lebih tegas, dan berhubung sedang sendirian, Deven buru-buru meminta si pemilik suara keluar dari kamar.

"Anneth?" Deven tersenyum sumringah sampai lupa jika masih memegang kedua tangan Anneth.

"Suaramu udah balik?" Anneth mengangguk dan sedetik kemudian menarik Deven menjauh.

"Sstt, aku belum kasih tau siapa-siapa. Suaraku pulih lebih cepat dari perkiraan dokter," kata Anneth sambil celingak-celinguk, takut ada yang mendengar.

Anneth berdehem sejenak, membetulkan suaranya yang belum stabil betul. "Kata Joa ini sabotase. Aku bakal cari tau siapa pelakunya."

Deven tersenyum, lagi. Tak ada habisnya memang jika berada di dekat Anneth. Selalu ada saja yang menuntut Deven untuk menarik sudut bibirnya ke atas. Deven suka cara Anneth tersenyum, tertawa, dan berbicara. Deven suka segalanya yang terlahir dari wajah Anneth. Itulah mengapa Deven sangat doyan menatap Anneth dalam segala situasi.

"Nggak perlu, Neth. Kami udah tau siapa pelakunya."

"Oh ya, siapa?" Anneth terkejut. Joa sama sekali tidak bilang jika identitas si pelaku sudah terkuak.

"Kita udah sepakat untuk nggak dulu kasih tau kamu. Soalnya ini baru dugaan."

"Kok git-"

"Sssttt!" Deven menempelkan telunjuknya ke bibir, bibirnya sendiri. Ingat ya, Deven, bukan Anneth!

Sekarang giliran Deven menarik Anneth seperti Anneth menariknya tadi. Langkah Deven begitu gancang. Lebih cepat dari sebelumnya. Anneth baru sadar jika tinggi Deven kini hampir sama dengannya.

Laki-laki itu sangat cermat. Meski langkahnya cepat, ia tetap memerhatikan sekitar. Cukup jauh Anneth ditarik oleh Deven. Mereka tiba di halaman belakang, tapi Deven tidak berhenti sampai di bawah pohon mangga. Ia memilih tempat di dekat pagar sebab dari sana mereka bisa melihat perkebunan sayur yang luas.

Sebelum benar-benar tiba di tempat tujuan, Deven sempat mengganti tarikan di tangan Anneth dengan genggaman hangat. Tindakan yang membuat pipi Anneth merona seketika.

Tanpa melepas gandengannya, Deven membungkuk untuk membersihkan rerumputan yang akan diduduki Anneth. "Duduk!" terdengar sarkas, tapi pada kenyataannya Deven tak pernah melepas tangan Anneth hingga gadis itu duduk dengan nyaman.

Anneth duduk selonjor dan detik berikutnya Deven merebahkan kepalanya di pangkuan Anneth.

Deg!

Anneth melotot. Posisi seperti itu benar-benar tidak mengizinkannya bernapas. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Anneth yang kosong serta Deven yang mengisi kekosongan itu dengan pandangan seperti biasa, dalam dan memabukkan.

"Neth!" Panggilan Deven mengembalikan jiwa Anneth yang tengah terbang tinggi.

"Deven, apaan sih? Bangun nggak?!" bentak Anneth sambil memukul pundak Deven keras-keras.

"Jangan teriak-teriak, Neth! Nanti suaramu ilang lagi."

Bukannya melayani permintaan Anneth, Deven justru semakin nyaman, bahkan sampai memejamkan matanya. Anneth kesal bukan main. Tindakan Deven bisa membuatnya terserang penyakit jantung di usia muda.

"Aku capek tau," keluh Deven.

"Siapa suruh ngegame berjam-jam?" balas Anneth yang sudah mulai terbiasa dengan kepala Deven di pangkuannya.

"Kamu nggak ada, sih. Kalau ada kamu, pasti aku lebih milih ngelihatin kamu berjam-jam."

"Gombal aja terus!"

Anneth tertawa, begitu juga Deven. Bukan karena candaannya sendiri, tapi karena tawa Anneth. Ia jadi otomatis tertawa.

"Neth!"

"Hm?"

"Sejak kapan kita sedeket ini?" tanya Deven. Anneth mulai berpikir serius.

Semakin ia pikirkan semakin ia tak tahu kapan persisnya mereka sedekat itu. Anneth menggeleng, tapi sia-sia. Deven kan sedang memejamkan matanya. Laki-laki itu tak akan bisa melihatnya, bukan?

Matahari yang setengah inchi meninggi dari sebelumnya gencar menyoroti Anneth dan Deven. Anneth memincing dan Deven mengernyit. Entah dapat bisikan dari mana, Anneth refleks menghalangi wajah Deven dari sinar matahari dengan telapak tangannya.

Deven berhenti mengernyit, tapi sejurus kemudian ia malah menarik tangan Anneth agar benar-benar menempel di wajahnya.

"Sekarang lebih teduh."

"Apa bedanya?" heran Anneth.

"Bedanya, tadi wajah aku yang teduh. Kalau sekarang hati aku yang teduh."

Anneth menahan senyumnya mati-matian. Sementara di pangkuannya, Deven sudah lebih dulu tersenyum. Sangat, sangat manis. Bukan hanya serangan jantung, jika begini Anneth juga bisa terserang diabetes.

"Sejak kapan kamu jadi gombal gini?"

Deven membuka matanya dan bangkit. Anneth membiarkannya meski ada sebersit rasa kecewa sebab Deven tak lagi tiduran di pangkuannya.

"Aku mau jemur jaket, Neth," ujar Deven sembari melepas jaket dan meletakkannya di kepala Anneth.

Sebenarnya Deven bukan ingin menjemur jaketnya, tapi ia ingin melindungi Anneth dari terik matahari.

"Aku mau tidur. Tungguin sampai aku bangun, ya!"

Deven mengambil tempat duduk di sebelah Anneth dan kembali memejamkan matanya dengan posisi menyandar di tembok.

Diam. Anneth hanya diam. Ia tak berniat menimpali atau mengumpat seperti biasa. Ia akan menuruti permintaann Deven. Menunggu sampai laki-laki itu bangun. Terbukti hingga setengah jam kemudian, Anneth masih setia menunggu Deven yang tertidur pulas.

Dengan sabar, hingga tiba saatnya Anneth teringat akan segala sesuatu yang Deven lakukan untuknya selama ini. Semua itu membuat Anneth takut kehilangan Deven, takut jauh-jauh dari Deven. Anneth sadar mulai menaruh rasa pada tetangga songongnya.

Ya, sadar penuh, Anneth mengecup singkat pipi Deven.

"Ciee yang udah berani nyolong!"

Anneth terkejut bukan main. Pasalnya Deven mengatakan itu dengan mata terpejam. Padahal tadi Anneth sangat yakin Deven masih pulas.

"Ihh, kok kamu pura-pura tidur sih?"

Anneth berlari pergi. Ia sangat malu dengan kejadian barusan. Apalagi dirinya seorang gadis dan berani melakukan hal itu lebih dulu.

"Tadinya aku cuma mau tau seberapa sabar Anneth nungguin aku bangun, eh malah dapet bonus," ujar Deven bermonolog. Sambil senyam-senyum sendiri tentunya.

🎵🎵🎵

A/N: Gimana, kurang greget ya? Atau kurang panjang? Emang sengaja aku bikin pendek khusus buat bagian mereka. Kalu pengen kerasa panjang, bacanya pelan-pelan ya.

Btw, kalian pengen OMTS tamat di part berapa?

One Month to Shine [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang