Gadis itu ikut memekik ketika anak kelas lain memberitahukan jika jam matematika kelasnya kosong. Seisi kelas gaduh sesaat, sebelum akhirnya sibuk mencari kegiatan yang bisa dibelanjakan 90 menit ke depan. Segerombolan anak perempuan yang kesehariannya bagaikan kelopak bunga sintetis anti lepas meninggalkan kelas dengan kantin sebagai tujuan utama.
Di antara mereka, berjalan dengan tawa hambar seorang Anneth. Gadis yang memekik paling kencang tadi. Di lengan kanannya, bergelayutan Marsha yang bisa dibilang masih melepas rindu. Ya, ini hari pertama Anneth kembali bersekolah setelah satu bulan lebih bergulat dengan kegiatan OMTS.
Baginya sekolah masih sama. Menu di kantin belum diupgrade. Matematika masih membosankan dan seni musik tetap sama menyenangkannya. Ah, tidak ada yang berubah. Bahkan potongan botol berisi spora yang tak kunjung menjadi protalium milik Anneth masih belum disingkirkan dari samping tong sampah.
Anneth meletakkannya di sana bersama Deven. Hm, akhirnya Anneth menyadari ada satu yang berubah. Deven tak lagi menyertai langkahnya di sekolah ini. Apa kabar Deven di sana? Apa dia sudah berkeinginan untuk pulang?
"Pesen apa, Neth?" tanya Marsha sekaligus teguran bagi Anneth yang ketahuan sedang melamun.
Anneth sendiri terkejut tiba-tiba dirinya sudah berada di kantin yang ramai meski jam istirahat belum dimulai. Anneth menunjuk satu menu yang bisa langsung ditangkap maksudnya oleh Marsha. Anneth dan Marsha pun berpisah. Anneth mencari meja kosong sedangkan Marsha memesan makanan.
Anneth memilih duduk sendiri, jauh dari teman-temannya karena alasan ingin. Duduknya tak setenang yang diharapkan. Beberapa kali anak-anak cowok mencoba menggodanya. Anneth memang selalu begitu. Namun sekarang keadaannya lain. Dulu selalu ada Deven yang menjadi tamengnya. Sekarang tidak.
Untung saja Marsha cepat kembali. Gadis itu membanting nampan dengan keras, sengaja agar cowok-cowok yang mengerubungi Anneth cepat bubar. Dan sepertinya cara itu berhasil.
"Makasih, Sha."
"Hm. Cepet makan! Mumpung masih panas. Mendung begini, aku rasa sotonya bakal cepet dingin."
Anneth selalu mengindahkan kata-kata Marsha. Ia tetap lahap menyantap sotonya meski tanpa selera.
"Kamu belum terbiasa jauh dari Deven, ya? Aku sempet nggak nyangka kalian bakal jadian. Secara ya, dulu kerjaan kalian berantem mulu."
"Aku sendiri juga nggak nyangka, Sha." Anneth tertawa. Pembicaraan mengenai Deven cukup menghibur hatinya.
"Kita pindah sekolah ke Singapura, yuk," lanjut Anneth. Bagaimana pun ia bercanda, rautnya tetap terlihat serius.
Marsha memutar bola matanya. "Kamu pikir pindah sekolah segampang pindahin jemuran? Kamu aja sendiri. Aku mah ogah."
Anneth menghela kemudian meniup-niup ke atas hingga poninya beterbangan. "Aku kangen Deven, Sha."
"Baru dua hari nggak ketemu," cibir Marsha.
"Dua hari kalau komunikasi lancar mah nggak masalah."
Marsha memindahkan posisinya. Dari menyandar bersedekap menjadi bersila tangan di atas meja.
"Maksudnya? Kalian nggak kontekan, gitu?" Anneth menggeleng lesu.
"Komunikasi terakhir waktu terakhir kali Deven ada di depan mukaku. Waktu di bandara."
"Gila sih, ini patut dicurigai."
"Yew, jangan kompor dong!"
Dua hari lalu di tempat lain, dua orang sedang bersantai di kedai pizza. Jam kerja membuat kedai itu sepi dari pengunjung. Seorang pelayan datang, menyuguhkan dua pizza besar dengan banyak keju. Setelah berterimakasih, pelayan pergi. Menyisakan manusia-manusia yang menyantap pizza tanpa suara.
"Dev."
Deven, satu dari dua orang itu terpanggil. Ia meletakkan potongan pizza yang sudah digigit setengah. "Ya?"
"Aku mau cuci tangan. Bisa bantu?" Deven mengangguk kemudian membantu mendorong kursi Dafina ke tempat cuci tangan.
"Kamu udah makin gede ya," kikik Dafina saat melihat pantulan Deven di cermin.
"Nggak mungkin kecil terus, kan?" balas Deven sambil terkekeh pula.
Deven senang bisa menyertai Dafina. Tapi sebagai seorang teman mereka terlalu baik satu sama lain. Seolah enggan saling melukai antara satu dan yang lainnya. Pertemanan yang berjalan lurus tanpa bumbu pertengkaran sedikit membosankan. Berbeda halnya saat dengan Anneth.
"Habis ini mau kemana?" tanya Deven karena sepertinya Dafina tidak ingin membahas yang tadi.
"Pulang aja. Aku agak pusing," jawab Dafina sambil menunduk untuk membasuh mukanya.
Deven terperanjat saat aliran air di wastafel jadi berwarna merah setelah melewati wajah Dafina. Ia kelimpungan mencari tisu untuk diserahkannya ke Dafina.
"Kamu nggak kenapa-napa, kan? Mau aku anter ke rumah sakit?"
"Nggak, Dev. Ini udah biasa. Boleh aku pinjem ponselmu?"
Ponsel Deven cepat berpindah ke tangan Dafina. Namun karena sakit yang luar biasa di kepala, tangan Dafina tremor dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel Deven ke air.
"Maaf, Dev."
🎵🎵🎵
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...