"Aku dalang di balik semuanya."
"Maksudmu apa?"
Masih di pelukan Britney, Anneth menampakkan raut bingung. Jauh di belakang sana telah berdiri sambil berkaca-kaca si Putri. Anneth semakin tidak paham.
Bebarengan dengan dentang jam pukul 9 pagi, Britney melepas pelukannya dan mundur selangkah. Belum ada jawaban dari pihak Britney. Anneth masih menunggu dengan sabar.
"Tolong bilang ke Joa dan yang lain, mereka salah. Bukan Putri, tapi aku."
Anneth semakin tak mengerti ketika Britney justru memutar badan dan pergi begitu saja. Tampak Putri berusaha mengejarnya, namun langkah Britney tak dapat dikalahkan.
"ANNETHH...!!!"
Gerombolan anak OMTS datang dan menyerbu Anneth di depan pintu kamar Wiliam. Sebenarnya, secara tidak sengaja Wiliam ikut menyaksikan kejadian tadi, tapi Anneth berbodoamat sebab ia sendiri juga masih bingung akan tingkah laku Britney dan Putri.
"Gimana gladinya?" tanya Anneth pada Joa yang sedang bergelayutan di pundaknya, sedang anak-anak cowok memilih langsung masuk ke kamar Wiliam.
"Capek, Neth. Kamu yakin bisa tampil tanpa gladi?" jawab Joa dengan diakhiri pertanyaan lain.
Anneth tidak mengangguk, namun tidak pula menggeleng. Hatinya bimbang. Ia tak yakin bisa tampil tanpa gladi, tapi bagaimana lagi? Ia sendiri yang menolak ikut lantaran ingin merawat Wiliam.
"Aku yakin Anneth bisa, kok."
Nashwa menepuk-nepuk pundak Anneth guna menyalurkan energi positifnya. Yang lain juga ikut mendukung dengan cara mereka masing-masing.
"Oh ya Neth, kamu ditunggu Deven di teras depan," kata Raisya.
"Iya Neth. Mungkin Deven kangen, pengen ngobrol berdua sama kamu," tambah Charisa yang sepertinya sudah benar-benar move on dari Deven.
Hampir semua setuju jika Anneth dan Deven menjalin hubungan yang lebih serius. Namun, hari ini kendala justru muncul dari dalam diri Anneth pribadi. Lihat saja!
"Aku lagi nggak pengen ketemu Deven, Cha."
"Lhoh, kenapa?" Charisa kaget plus terheran-heran.
"Kenapa, Neth?"
Suara itu terdengar dari balik punggung Anneth. Gadis itu menoleh dan mendapati Deven dengan raut kecewanya. Anneth tertegun. Jika Deven mendengar ucapannya, maka itu artinya...
"Aku tanya, Neth. Kenapa kamu nggak mau ketemu aku?"
Anneth masih diam. Sementara itu, teman-teman Anneth satu persatu pergi meninggalkan Anneth dan Deven berdua. Friden yang berada di dalam kamar juga langsung berinisiatif menutup pintu. Biarlah urusan mereka, mereka sendiri yang menyelesaikan.
"Dev, maaf. Bukan gitu. Aku lagi pengen sendiri."
"Tapi kenapa kamu nggak keganggu sama yang lain, sedangkan sama aku keganggu? Bisa kamu kasih tau alasannya apa?"
Deven terus menyudutkan Anneth, mengejar dengan pertanyaan lain padahal Anneth belum selesai menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Apa aku nggak penting buat kamu?"
"Dev, aku nggak tau. Aku nggak tau alasannya apa. Ayolah, jangan kekanak-kanakan gini!" sungut Anneth mulai lelah. Akhir-akhir ini Deven sedikit berubah. Ia jadi pencemburu yang over, bahkan dengan teman cewek Anneth sekalipun.
"Iya Neth, aku emang kekanak-kanakan. Mungkin itu sebabnya kamu nggak mau deket-deket aku. It's okay, aku nggak akan ganggu kamu lagi. Maaf."
Deven pergi dan sedetik kemudian desir kecewa menyerbu jantung Anneth dengan membabi buta. Anneth mengusap keningnya yang berpeluh. Ya Tuhan, Anneth salah bicara.
🎵🎵🎵
Deven menenangkan dirinya di ruang musik. Sebenarnya hari ini akan jadi hari yang paling bersejarah baginya, tentu saja jika Anneth tidak mengacau. Deven hendak menyatakan perasaannya pada gadis itu. Betapa ia mengagumi Anneth sejak awal pertemuan mereka. Deven merasa sekarang adalah waktu yang tepat. Sebelum semakin banyak orang yang mengenal Anneth setelah selesai karantina nanti.
Rasanya ingin sekali Deven menegaskan pada siapa saja bahwa gadis cantik bernama Delliecia itu adalah miliknya. Namun apa daya, ternyata prediksinya salah. Seakan dipaksa bangun dengan segayung air ketika bermimpi. Deven berakhir dengan rasa kecewa sekaligus malu. Ternyata semua hanya angan. Mungkin Anneth tak punya rasa yang sama.
Bunyi-bunyi yang beraturan mulai mengalun dari piano di ruangan itu. Sesendu melodi yang terdengar, Deven mengulum dan membendung perasaannya kuat-kuat. Sama sekali tak ingin emosi membutakan. Setidaknya ia dan Anneth masih bisa berteman baik seperti sediakala.
Silih berganti, bayangan Anneth dan segala perkataannya menggentayangi Deven. Sempat Deven ingin mengusirnya, tapi sulit hingga ia memutuskan untuk menikmati setiap bagian dari ilusi itu.
"Anneth... Itu earphone kesembilan yang kamu ambil dari aku! Neth, balikin gak?!"
Ingatan Deven terlempar pada hari dimana mereka mendapat kabar bahwa akan mengikuti OMTS. Deven sangat senang sebab di bayangannya, ia dapat langsung melihat Anneth setiap bangun tidur. Tak peduli hari sibuk atau hari libur.
Deven ingat saat itu Anneth mengambil earphone-nya dan membawanya lari. Deven mengejar, namun langkah Anneth terlalu panjang.
Deven tersenyum. Jari-jemarinya masih menari di atas tuts piano. Manis sekali kejadian itu. Deven ingin mengulangnya sekali lagi. Masa-masa ketika mereka belum sadar jika telah tumbuh perasaan lain yang tidak wajar.
Deven semakin serius ketika sepasang tangan lain ikut meliuk-liuk di atas tuts piano yang sama. Bahkan Deven mulai memejamkan matanya agar kedatangan sesosok itu tak mengalihkan Anneth dari otaknya.
"Maafin aku, Dev."
Sejurus kemudian, jari-jari Deven bergenti bergerak. Suara itu melumpuhkannya. Membius Deven dan segala inderanya dalam sekejap.
"Bukan kamu, tapi perasaan aku yang salah."
🎵🎵🎵
A/N: Yah, lagi-lagi aku harus minta maaf karena gak bisa kasih part yang lebih panjang. Gak papa ya? Aku harap kalian bisa memaklumi kalau aku banyak kegiatan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...