Golongan darah kamu apa, sih? A, B, AB, atau O? Kata orang golongan darah memengaruhi pribadi seseorang. Mereka yang bergolongan darah B akan bersikap lebih santai. Punya masalah, tapi jika sudah berkumpul dengan teman-temannya, si B ini akan lupa segalanya. Rasa sedihnya, kecewanya, patah hatinya. Tapi, pada dasarnya pribadi seseorang tergantung pada pola pikir mereka sendiri. Mau B atau A sekali pun, kalau galau, ya tetap dipikirkan. Apalagi soal cinta. Susah Mas Bro.
Deven terpingkal membaca pesan panjang dari Nashwa.
Teman yang baik, pikirnya. Baru saja Deven bercerita enam atau tujuh kalimat, Nashwa langsung merespon dengan mengirim kalimat sepanjang jalur kenangan. Entah Nashwa sendiri yang dengan sabar menulis pesan itu atau ia hanya copas dari blog di laman internet.
Vc yuk! Ada Anneth nih
Dengan dikirimnya pesan kedua, senyum Deven perlahan pudar. Lagi-lagi Anneth. Kenapa harus nama itu yang selalu ia dengar; deretan huruf itu yang selalu ia baca?
"Raja, ayo keluar! Makan malam udah siap. Baunya udah kecium nih."
Friden menolakkan kakinya pada meja sehingga kursi berodanya terdorong mendekati ranjang, tempat dimana Deven duduk bersila di atasnya.
"Mager ah, kalian aja."
"Nah loh, aku seneng dong. Jatahmu buat aku ya Dev?" Gogo mengedipkan matanya bergantian.
Deven tersenyum dan sejurus kemudian menganggukkan kepala. Tanpa berterimakasih, Gogo melompat keluar sambil bersorak ria. Lagi-lagi Deven tersenyum sementara Friden menunjukkan raut tak suka.
"Raja, jangan gara-gara cewek jadi males makan ah!"
"Aku males ketemu Anneth."
Friden menghela napas. Jika Deven sudah berkemauan, ia bisa apa? "Ya udah, aku keluar. Kalau aku sih perlu makan. Mikirin Joa butuh tenaga."
Di tempat lain, Anneth tak henti-hentinya melirik pintu kamar Deven. Gogo sudah keluar, kemudian disusul Friden. Tapi mata Anneth yang terlalu berharap itu tak kunjung menemukan sosok Deven. Bermenit-menit waktu makannya ia tunda untuk sekadar menggerak-gerakkan sendal bulunya sambil sesekali melirik kamar Deven.
"Nethii, ngapain di situ? Ruang makan di sono noh!"
Charisa berteriak dari ujung koridor. Anneth mengangguk lalu melakukan langkah riang yang palsu menyusul Charisa.
Tak banyak yang makan malam di ruang makan malam ini. Seakan sesuatu di kamar-kamar mereka sudah jauh membuat kenyang daripada makan. Bahkan Joa yang suka makan itu pun tak keluar. Situasi yang melegakan bagi Friden. Meski terkesan bodo amat, sebenarnya ia juga tak beda dengan Deven.
"Neth, barusan Deven chat aku."
Denting-denting sendok yang beradu seketika diam. Mata Anneth dan berpasang mata lain tertuju pada Nashwa yang baru saja berucap. Bahkan ada satu waktu dimana Alde mengernyit dan cepat-cepat menyembunyikannya.
"Dia minta kamu bawain nasi ke kamarnya," lanjut Nashwa.
"Nggak mungkin. Deven kan lagi..."
Friden yang tidak percaya seolah menampik. Namun urung setelah Nashwa yang kalem itu ternyata bisa memelototi.
"Emang Deven kenapa, sih? Dia sakit?" respon Anneth sembari mengambilkan nasi untuk Deven, "kenapa nggak keluar coba?"
Sulit bagi Anneth untuk berpura-pura. Seolah ia tak mengetahui apa pun padahal ia persis paham bahwa alasan Deven begitu karena dirinya.
Sama halnya bagi yang lain. Mereka membiarkan Anneth bersandiwara. Sebab dengan begitu Anneth akan lebih leluasa menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Nggak tau. Coba deh sekalian kami tanyain."
Deven sedang sibuk dengan ponselnya tatkala Anneth mendorong pintu kamarnya tanpa permisi. Deven yang kaget sampai melempar ponselnya hingga jatuh ke ubin.
"Hapeku!" pekik Deven.
Namun kecemasan itu cepat berganti dengan dentuman piring yang setengah Anneth banting di atas meja.
"Kamu berapa tahun, sih?"
Deven tak jadi meratapi ponselnya yang teronggok di lantai. Perhatiannya tertuju pada Anneth yang kini sedang berkacak pinggang.
"Jangan cuma gara-gara masalah internal di antara kita kamu sampai melibatkan semuanya. Karir kamu, temen-temen kamu, dan sekarang kesehatan kamu. Mau kamu apa? Kamu nggak mau ketemu aku? Ya udah, bilang aja! Aku nggak akan nongol di depan mukamu lagi."
"Bukan gitu, Neth."
Deven berusaha meraih tangan Anneth, tapi elakan Anneth jauh lebih cepat. Deven membuang pandangan sejenak, seolah sedang mengambil sebuah keputusan.
"Entah aku yang terlalu pandai menyembunyikan perasaan atau kamu yang nggak peka, Neth. Tapi aku rasa kemungkinan pertama terlalu mustahil. Selama ini tanpa sadar aku selalu ngasih perhatian lebih ke kamu. Bener, kan?"
Anneth mengangguk.
"Jadi, kesimpulannya?" tanya Deven.
"Aku yang nggak peka," timpal Anneth lirih.
Sepertinya kekecewaan Deven telah sampai di titik tertinggi. Tanpa berkata-kata lagi pria itu keluar kamar dengan jengkel. Anneth menunduk sayu. Hatinya sakit. Ia juga menyukai Deven, tapi ia terlalu takut untuk mengiyakan perasaannya sendiri. Alhasil Anneth hanya bisa duduk termenung mengambil alih tempat Deven.
"Neth, kok masih di situ?"
Nashwa dengan kerudung putih menjuntainya mengejutkan Anneth.
Karena masih diam saja, Nashwa kembali bersuara. "Anneth...buruan keluar! Deven, Neth, Deven!"
Tergopoh-gopoh Anneth keluar mengikuti langkah Nashwa yang dipercepat. Anneth belum tau apa yang terjadi. Ia harap tidak terjadi apa pun dengan Deven.
Suasana sudah ramai setibanya Nashwa dan Anneth di teras. Kerumunan teman-temannya menghalangi pintu dan pandangan. Belum lagi sorak-sorai yang mereka teriakan membuat halaman semakin riuh.
Anneth lekas menyibak kerumunan temannya sendiri. Menukar posisinya dengan Nashwa yang kini sudah berada jauh di belakang. Tulisan itu samar-samar di lihatnya. Sebuah kalimat di atas kertas yang ujung-ujungnya dicengkeram mantap oleh Deven.
Will you be my best part, Princess Delliecia?
Anneth membeliak. Desir aneh di dadanya kembali menyerang dengan lebih membabi buta. Cepat-cepat ia menutup mulutnya yang sejak beberapa detik lalu terbuka lebar.
"Dev..." gumamnya.
Sementara itu, Deven yang sebetulnya gemetar tetap mempertahankan senyum lebarnya. Inilah yang telah ia putuskan. Menjadikan Anneth miliknya.
Rencananya mengejutkan Anneth sepertinya berhasil. Beberapa meter di depannya Anneth tampak terkesima. Semoga saja Deven tak salah membaca ekspresi.
Namun semoga itu tampaknya tak terlaksana. Bukannya mendekat, Anneth justru berbalik arah dan lari masuk. Mata Deven yang semula berbinar-binar perlahan redup. Kertas yang sedari tadi ia cengkram erat dengan tangan gemetar nan basah perlahan ia turunkan. Anneth tak pernah menyukainya.
Bersamaan dengan itu, Friden dan Gogo mendekat. Merangkul Deven. Mengerahkan semua energi positif yang mereka punya.
"Tidak apa, Raja. Akan hamba carikan putri lain yang lebih baik untuk Paduka," hibur Friden. Deven hanya tersenyum getir. Ia tak yakin akan ada yang lebih baik dari putri pujaan hatinya, Putri Delliecia.
"Udah lah. Aku mau masuk."
Selain alasan dingin, tatapan iba teman-temannya membuat Deven merasa bersalah.
"Hei Raja! Segampang itukah Anda menyerah?"
Sebuah suara terdengar dari lantai atas. Sontak semua kepala terdongak. Begitu juga dengan Deven.
Yes, I will. Tapi jangan kasih tau yang lain. Gak ada dana buat PJ.
Senyum Deven berganti kekehan ketika kalimat terakhir dari tulisan yang dibawa Anneth selesai ia baca.
"Tenang Putri, di sini nggak ada tempat makan. Kantongmu aman."
🎵🎵🎵
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...