Seperti hari minggu sebelum-sebelumnya, Deven tak pernah absen mengunjungi rumah Anneth untuk sekadar bermain dengan Alvaro. Hari minggu ini Deven kembali datang, tetapi bukan untuk bermain, melainkan untuk mengajak Anneth mencari keperluan berlatih. Ya, jika tidak ada halangan, lusa mereka akan melakukan tur ke beberapa daerah untuk mengenalkan Bahasa Inggris kepada anak-anak berpendidikan rendah. Salah satu program dari even One Month to Shine atau yang sudah akrab mereka sebut OMTS.
"Good morning, Anneth..." teriak Deven begitu melihat Anneth sedang bermalas-malasan di depan TV.
"Morning," jawab Anneth lesu.
"Yok pergi ke mall!" ajak Deven setelah berhasil duduk di sebelah Anneth, meski sebelumnya harus berjuang menyingkirkan kaki gadis itu dari sofa.
"Kemana?" tanya Anneth masih tanpa tenaga.
Deven menghembuskan napas kasar. Berteman dengan Anneth yang suasana hatinya mudah berubah memang sedikit sulit.
"Kenapa, sih, Neth? Badmood lagi?" Anneth mengangguk karena kondisinya memang begitu saat ini.
"Emang kamu gak mau beli sesuatu buat tur kita? Ayo dong Neth, kita bakal ketemu temen-temen dari luar kota, lho. Paling gak kamu beli bando kek, supaya rambutmu gak acak-acakan kayak gini. Atau kamu beli parfum baru. Parfum lamamu udah habis, kan?" bujuk Deven dengan mengoceh panjang lebar. Ia tak tahu jika mengritik fisik perempuan hanya akan membuat perempuan itu semakin kesal.
"Kamu malu punya temen bau?" balas Anneth dengan tatapan siap menerkam, namun masih saja terkesan mager(males gerak).
"Lho, siapa bilang kamu bau?"
"Iya, maksud kamu aku bau, kan?"
"Enggak, Anneth. Ah, kok jadi nyalahin aku, sih?" keluh Deven sambil mengacak rambutnya.
"Siapa yang salahin kamu?" tanya Anneth dingin. Deven jadi merasa serba salah.
"Kamu lah."
"Aku gak bilang kamu salah."
"Ya udah, maaf..." serah Deven sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa dengan frustasi.
Anneth bangkit dari sofa dan pergi ke lantai atas. Deven memutar bola matanya jengah. Selalu saja begitu jika Anneth sedang dalam mood buruk. Bermula dari kesalahpahaman, berujung pertengkaran, dan berakhir dengan kepergian Anneth.
"Neth, aku tunggu sampai jam satu siang!!!" teriak Deven. Ia tak peduli dengan keluarga Anneth yang mungkin tengah bersantai di lantai atas. Keluarga Anneth sudah seperti keluarganya sendiri. Mereka juga pasti maklum dengan tingkah Deven dan Anneth yang mirip Tom&Jery itu.
"Kalau mau ikut, WA!" lanjut Deven.
🎵🎵🎵
Pukul setengah satu siang. Deven masih berguling-guling di kasurnya sambil memainkan ponsel. Ia sedang serius berkirim pesan dengan sahabatnya di Lombok, Charisa atau yang lebih akrab disapa Ucha. Sebelum pindah ke Jakarta, kampung halaman Deven memang Lombok. Ia sekeluarga harus berdomisli di Jakarta karena sang ayah dipindahtugaskan kemari.
Charisa tidak berubah. Masih heboh seperti dulu. Deven sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas chat. Pria remaja itu hanya bisa tertawa merespon teks dari Charisa yang tiada hentinya. Di saat yang bersamaan, muncul notif dari Anneth.
Anet
Aku otw ke rmh muTanpa banyak wacingcong, Deven bergegas menukar bajunya dan bersiap-siap. Ia telah selesai memakai sepatu ketika pintu kamarnya diketuk keras. Deven lantas membuka pintu dan mendapati Anneth yang berdiri dengan ekspresi seperti pagi tadi, datar dan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Month to Shine [End]
Fanfiction"Kita seperti dua waktu di muka bumi. Harus ada yang menjadi malam selagi yang lain menjadi siang. Waktu bukan masalah serius. Meski tak terang bersama, semua akan mendapat giliran." Biarlah laki-laki itu berkata bijak sebagai seorang pemimpi dan pe...